Pagi itu, desa kecil di tepi Danau Toba terasa lebih sunyi dari biasanya. Hari ini adalah hari di mana Boraspati, anak kebanggaan desa, akan berangkat ke kota untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi seni ukir. Meskipun semangatnya menyala, hatinya terasa berat meninggalkan kampung halaman, terutama orang tuanya yang begitu ia cintai. Ia akan merantau jauh, yang baginya itu adalah sebuah dunia yang baru dan berbeda.
Boraspati berdiri di halaman rumah, menatap Among-nya yang sedang bekerja di bengkel ukir. Inong-nya, dengan mata berkaca-kaca, sudah menyiapkan bekal dan pakaian yang rapi di dalam tasnya. Mereka semua tahu bahwa ini adalah langkah besar bagi Boraspati, tapi tidak mudah untuk merelakan kepergiannya.
"Among, Inong, aku akan berangkat sekarang," kata Boraspati dengan suara yang bergetar.
Inongnya tidak bisa menahan air mata lagi. "Boraspati, kau harus ingat untuk selalu menjaga diri. Jangan lupa makan kau dan ingat istirahat yang cukup. Among dan inong hanya bisa mengiringi perjalananmu dengan doa."
Among-nya, meskipun terlihat tegar, tidak bisa menyembunyikan rasa harunya. "Nak, ingatlah, di mana pun kau berada, jangan pernah lupakan asal usulmu, budaya dan jati diri. Among berharap suatu hari kamu akan kembali dan lebih baik dari among kau ini."