January 01, 2018
Lisboa, Portugis.
HAPPY NEW YEAR !!!
Seruan terompet pompa atau biasa disebut Pump Horn bergema dari berbagai arah, seperti sorakan penonton yang tengah menonton babak final Euro Cup di dalam stadion. Ribuan percik cahaya membentuk kembang berwarna-warni, begitu indah menghiasi langit ibu kota.
Di sinilah aku, di atas sebuah perbukitan kecil Lisboa, mendirikan tenda dum berukuran sedang bersama adik perempuanku. Sebenarnya cuaca tengah memasuki musim dingin kali ini, tapi rengekannya sangat sulit untuk ku tolak. Ah, dia memang selalu mengambil kendali atas diriku.
Namaku Samuel Gioze, seorang mahasiswa semester 7 yang baru saja menyelesaikan kesibukan ujian dan segala laporan akhir tahun. Aku tinggal bersama adikku, kedua orang tua kami sudah meninggal saat usia kami masih cukup muda. Keduanya tewas kehabisan oksigen saat pendakian di Gunung Denali, Alaska.
Dua minggu lagi aku akan melakukan sebuah perjalanan jauh, menuju Lofoten, Norwegia. Negara dingin yang bersebrangan dengan kutub Utara.
Aku belum mengatakan informasi ini pada adikku, jika ia tahu, ia pasti akan melarangku untuk pergi. Suhu di sana akan sangat dingin, apalagi puncaknya akhir Januari ini.
Sebenarnya, Lisbon juga sama-sama negara bermusim dingin, suhu rata-rata di tempat ini berkisar 15°C dan malam menuju pagi bisa sampai 4-5°C, itu sudah cukup dingin bagi kami.
"Kita turun pukul 01.30!" ujarku pada Carly saat jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.
"Mengapa tidak menginap disini saja?" tanyanya. Aku tidak bisa menjamin pagi hari suhunya akan tetap sama seperti sekarang.
"Kakak harus pergi ke kampus, Carl. Pertemuan besok tidak bisa dilewatkan." Alibiku padanya. Padahal aku hanya tidak ingin cuaca malam memengaruhi kondisi kesehatan tubuhnya.
"Tidakkah kamu merasa dingin?" tanyaku lagi. Sendari tadi ia hanya memerhatikan langit di depan kami, padahal letupan-letupan di udara itu sudah mulai berkurang atau hampir tidak ada.
"Tidak, Kak. Ini tidak sebanding dengan apa yang dirasakan Ayah dan Ibu!" jawabnya, aku tidak suka alasan itu, sungguh. Memang baik saat seorang anak mengenang kepergian orang tua, tapi bertindak tidak memerdulikan diri seperti ini bukanlah alasan yang tepat.
"Carly, Kakak tidak akan melarang kamu melakukan apa yang kamu suka. Tapi, jika kamu seperti ini, Kakak tidak akan tinggal diam. Kakak cuma punya kamu sekarang, Kakak tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu."
Carly mengalihkan tatapannya sendunya padaku, aku dapat melihat kesedihan itu dalam matanya. Hembusan nafas panjangnya terdengar hingga ke telingaku. "Akupun hanya memilikimu, Kak. Jangan pergi kemanapun, tetaplah di samping Carly ya!" ujarnya yang kemudian memelukku.
"Kalau begitu kita turun saja sekarang!" titahku seraya bangkit, membereskan beberapa tupperware serta alat pemanggang barbeque di depan tenda. Carly tidak menolak, kurasa ia mencerna dengan baik kata-kataku.