Aku sedang sibuk di mejaku ketika Astri, teman sekerjaku, tiba-tiba menghampiriku.
"Mbak Rania dipanggil Mas Raka ya, di ruangannya."
"Raka?" ucapku seraya meletakkan pensil. "Sekarang?"
"Ya, katanya ada yang mau dibicarain sama Mbak Rania."
Aku berdiri dari kursiku. Lalu, dengan dada berdebar keras aku langsung melangkah menuju ruangan Raka.
***
Raka menyuruhku duduk ketika aku tiba di ruangannya.
"Sudah tahu kalau lima hari lagi majalah kita akan dicetak? Untuk beberapa ilustrasi sudah dibikin?"
"Sedang akan dibikin, Pak," ujarku.
"Sedang?"
"Maksudnya sedang dibuat, Pak.”
"Oke, sebelum rapat Dewan Redaksi besok, hasil ilustrasimu kamu kasih ke aku ya abis makan siang nanti."
"Hari ini, Pak?"
"Iya, pasti sudah buat beberapa contohnya?"
Hmmm …. Aku mendesah ragu. Aku bahkan belum bisa berkata fix untuk ilustrasi yang aku bikin. Belum lagi apakah akan sesuai dengan permintaan redaksi, karena bagaimanapun aku orang baru di majalah ini.
"Jadi bagaimana, bisa?"
"Saya usahakan, Pak."
"Diusahakan, ya?"
Mampus, deh! Baru dua hari kerja sudah harus patuh pada deadline. Kenapa pula semalam malah begadang karena teleponan sama Bara? Bara juga sih hampir tiap malam neleponin terus. Takut pacarnya hilang apa?
"Nanti siang, rencana makan siang di mana?" Tiba-tiba Raka Arya Dewa berkata demikian.
"Maksudnya, Pak?"
"Rania nanti siang rencana makan siang di mana?" ulang Raka sekali lagi. Dan aku baru mudeng akan kata-katanya.
"Belum tahu, Pak."
"Lho, kok belum tahu? Mikirin ilustrasi yang saya minta tadi?”
Nggak mungkin aku menjawab iya. Raka bosku ini pasti akan tertawa.
"Nggak kok, Pak. Kayaknya nggak makan siang," cetusku asal saja.
"Jangan begitu. Nanti siang saya ajak makan siang, ya? Ke warung soto langganan saya di Jalan Veteran sana."
"Ta tapi, Pak."
Lho, karyawan baru, kepergok makan siang sama bos, apalah jadinya. Nggak! Harus ditolak, nih.