Jakarta, September 1986.
Pukul 20:09.
Tepi jalan raya yang sebenarnya trotoar jalan, untuk para pejalan kaki, yang letaknya tak jauh dari bawah jembatan penyeberangan, itu sudah berubah fungsinya. Kini, sudah jadi tempat para pedagang kaki lima berjualan. Jalan raya itu terbagi dua: satu menuju Cililitan dan satu lagi mengarah ke pintu Tol Jagorawi. Di seberangnya, yang dapat dicapai melalui jembatan, itu ada rumah sakit umum yang di sebelahnya ada sebuah kampus.
Sekitar 30 meter sepanjang trotoar jalan itu, berbaris para pedagang kaki lima. Di belakangnya, sekitar 100 meter, yang dapat dicapai melalui ruas jalan kecil yang hanya muat sebuah mobil melintas, itu ada perkampungan rumah warga setempat.
Kini, di sana, yang tadinya cerah, mendadak hujan. Musim hujan memang tak kenal kompromi. Datang dan pergi begitu saja tanpa permisi. Seluruh pedagang kaki lima jadi kewalahan menarik atap-atap terpal mereka yang tadinya mereka gulung.
Tak jauh dari jembatan penyeberangan, turun seorang gadis sambil berlari kecil karena takut kehujanan. Sambil memayungi kepalanya dengan tas selempang, ia bergegas menuju halte di bawah jembatan untuk berteduh.
Di halte, sudah ada beberapa orang yang juga lagi berteduh. Setelah menyelinap di bawah atap halte, gadis itu menghela napas lega. Lumayan. Kini, baju seragam SMA-nya jadi tak terlalu basah sekali. Namun, walaupun begitu, tetap saja mencetak bentuk tubuh seorang gadis remaja yang sedang mekar-mekarnya. Pada tubuh yang bak gitar spanyol itu, tampak lekuk-lekuk indah tubuh seorang cewek.
Hal ini, tentu saja jadi menarik perhatian para lelaki yang iseng. Terlebih lagi, gadis itu terlihat… wah, cantik sekali. Rambut hitam sebahu, wajah halus mulus, ditambah kemeja putih yang mencetak kulit mulus di dalamnya, keadaan gadis itu jadi amat menggiurkan bagi mata-mata nakal lelaki.
Termasuk dua cowok berpakaian preman yang berdiri tepat di belakang gadis itu. Mereka tampak seram-seram dengan memakai anting, kalung rantai, dan wajah kasar karena jarang mencukur kumisnya.
Dengan sikap kurang ajar sekali, dari belakang, salah seorang preman yang memakai topi “NY”, membaui pundak si gadis.
“Mmmm… ahhhh… sedappp…!” gumamnya penuh nikmat. Ia seperti mencium aroma masakan yang baru matang. Seleranya langsung bangkit. Ia menjilat bibir tebalnya sendiri.
Yang seorang lagi cekikikan geli.
Karena ada suara tawa orang, otomatis si gadis menoleh. Weh, kaget juga ia melihat wajah hitam jelek di belakang pundaknya.
Si preman yang tertawa geli tadi, yang memakai ikat kepala bergaya Axl Rose vokalisnya Guns ‘N Roses, yang berdiri di sebelah preman yang memakai topi, itu menyapa manis. “Hai, cantik…! Kenalan, dong…!” sapanya. Tapi karena wajahnya jelek, suara itu tak terasa manis justru kurang ajar kedengarannya.
Otomatis si gadis menjauh keluar halte. Ia kehujanan lagi. Buru-buru ia pindah mencari tempat yang teduh dan jauh dari dua orang preman itu.
Dua preman itu perlahan mengikuti sambil cengar-cengir. Sementara orang-orang yang lain, yang ada di halte, mulai bergeser menjauhi cewek itu karena tak ingin ikut campur. Siapa yang ingin cari penyakit mencampuri urusan preman? Nenek-nenek yang jarang keluar rumah pun tahu siapa biang rusuh di era 86-an ini.