Di luar hujan masih deras.
Sementara dalam warung, tampak lampu petromaks menerangi tempat itu. Kini, cewek yang dikejar kedua preman tadi, sudah memakai jaket. Warnanya hitam belel. Boy yang meminjami. Kini, biarpun roknya basah, ia sudah tak terlalu kedinginan. Lumayan.
“Teh manis ini dibikin langung hangat,” kata Boy sambil menaruh segelas teh hangat di atas meja di hadapan cewek itu.
“Hatur nuhun, Kang,” kata cewek itu dengan logat Sunda yang kental. Ia lalu meminum teh dalam gelas itu. Glek-glek! Sampai habis. Lalu, perlahan wajahnya yang tadi agak pucat, kini mulai memerah. Sudah jadi hangat lagi tubuhnya.
“Sama-sama. Tapi, manggilnya Boy aja,” kata Boy ramah. Diam-diam Boy suka dengan gaya minumnya. Cuwek. Mirip Milan,
“Oh, gitu. Iya… hatur nuhun, Boy!” kata cewek itu gugup. Rupanya ia terlihat masih malu-malu atau canggung. Ya, iyalah. Berhadapan sama orang yang baru dikenal, sendirian, malam-malam, di Jakarta pula. Terlebih lagi sisa rasa takutnya masih ada karena dikejar dua preman tadi.
“Jangan takut. Mereka itu bukan orang jahat. Mereka teman-teman sekolah gue. Yang pakai topi itu Juki. Satunya lagi, yang serem, yang pakai ikat kepala Axl Rose, itu Mattew,” jelas Boy.
“Anak sekolah, kok, dandanannya gitu? Kayak preman…!” kata cewek itu heran.
Boy tertawa. Kang Jaka mengantar semangkok mie instan rebus. “Nih silakan makan, Neng. Biar badannya hangat dan kuat lagi,” katanya sambil menaruh di depan cewek itu.
Cewek itu celingukan tak enak hati. Ada yang mengganjal hatinya. “E, eh, éta, aku… aku tak bawa uang… dompetku… dicopet di bus…!”
Kang Jaka jadi iba. “Aduh, kasihan bener lu. Udah, makan aja. Gratis. Hayo. Mumpung masih panas!” katanya.
Cewek itu ragu sebentar. Ia melirik Boy.
“Makan aja. Itu rejeki. Lagian, indomie rebus Kang Jaka ini enak bener. Soalnya, dicampur telor ayam kampung, sawi, daun bawang dan bubuk lada. Pokoknya, lo bakalan ketagihan kayak gue. Coba deh!” kata Boy bersahabat.
Melihat sikap ramah Kang Jaka dan Boy, cewek itu jadi percaya. Ia langsung melahapnya.
Beberapa menit kemudian.
Dua orang preman yang ternyata adalah teman sekolah Boy yang bernama Juki dan Mattew, itu datang. Mereka sudah ganti pakian, dan membawa payung juga sebuah celana pendek. Kini, dandanan mereka tak seperti preman lagi. Biasa saja. Kayak anak-anak gaul sekarang. Celana Baggy dan kaos berkerah.
“Lo bawa celana pendek gue, Juk?” tanya Boy.
“Bawa, nih,” kata Juki sambil menyerahkan sebuah celana pendek sedengkul milik Boy. Boy menerima.
Kemudian mereka memperhatikan cewek itu makan. Wah, lahap sekali. Di mata mereka, kalau dilihat dari gaya makannya, cewek itu bertipe tak pemalu dan cuwek. Santai saja, tak sedikit-sedikit saat menyendok mie atau kuah, langsung banyak sehingga saat mengunyah mulutnya tampak penuh. Setelah selesai, sisa kuahnya, langsung ia uyup, minum kuah dari mangkoknya. Lalu, “Eeegghh…!”, ia bertahak.
Mereka terpukau.
“Eh, Neng, maapin gue, ye,” kata Juki kepada cewek itu. “Orang gue mau ngajak kenalan, lu malah kabur…!”
“Tahu, kamu… gimana, sih?” sambung Mattew.
“Hahaha… gimana dia gak kabur. Orang tampang lo berdua serem-serem gitu. Lagian, lo berdua ngapain sih, pake dandan kayak preman segala?” kata Boy.
“Yahhh… yang namanye anak murid Bang Sabeni,” sahut Juki.
“Biasa, mau ikut jagain lapak-lapak di sini,” kata Mattew.
“Gak usah. Udah ada yang pegang. Kita gak usah ikut-ikutan mereka,” sahut Boy. Lalu ia berkata kepada cewek itu yang sudah selesai makan. “Nih, pake dulu. Ganti rok lo. Biar gak sakit gara-gara masuk angin,” lanjutnya sambil menyodorkan celana.
“Pakai celana ieu… aduh ieu teh untuk cowok. Masa aku yang pakai?” kata cewek itu bingung.
“Pake aje. Darurat! Gak apa-apa. Jangan malu! Ketimbang ntar lo sakit,” tegas Boy.
Hati cewek itu membenarkan. Akhirnya cewek itu ke belakang lagi. Tadi, sudah ganti baju, kini, ganti rok pakai celana cowok! Eleh-eleh, deg-degan juga ia. Maklumlah, namanya juga anak cewek pakai celana anak cowok. Duh, rasanya gimana, gitu!
Setelah selesai, cewek itu balik lagi ke tempat semula. Saat berjalan ia agak kikuk juga. Terlebih lagi, kaki kirinya sedikit pincang karena terkilir tadi.
“Nah, sambil nunggu hujan reda. Ngomong-ngomong, dari mana mau kemana? Sampai kecopetan segala?” tanya Boy.
“Dari sekolah mau pulang ke rumah, terus naik bus. Terus kecopetan,” jelas si cewek polos.
“Sekolahmu ing ngendi?” tanya Mattew. Logat Jawanya langsung keluar setelah mendengar nada bicara cewek itu kedaerahan. Ia jadi terpancing suasana sehingga menggunakan bahasa daerahnya sendiri.
“Di Bandung.”
“Di Bandung…? Terus pulang ke mari…?” Kang Jaka kontan langsung tertarik bertanya. Bagaimana tidak? Di sini ini Jakarta, Bandung itu ‘kan, jauh. Masa orang tinggal di Jakarta sekolahnya di Bandung?
Yang lain juga jadi tertarik. Mereka meriungi cewek itu.
“Iya.”
“Lu tinggal di sini, sekolah di Bandung, gitu?” tanya Juki.
“Iya.”
“Bujuk… kagak ribet, tuh? Kagak berat diongkos, waktu, tenaga?” kata Juki terkagum-kagum.
“Hehehe… guyon iki… guyon iki…! Ojo guyon kayak ngono, Mbak. Opo ndak klenger setiap hari bolak-balik Jakarta-Bandung?” sahut Mattew.
“Kayaknya ada yang gak beres, nih.” Kata Boy sambil menempel punggung tangan ke dahi cewek itu seperti memeriksa orang sakit. Cewek itu, diperlakukan Boy seperti orang sakit, jadi geli sendiri. Dan ia senang dengan sikap keakraban yang diberikan oleh orang-orang yang baru dikenalnya ini.
“Lo abis kecopetan, kehujanan, terus dikejar-jekar mahluk serem-serem ini,” kata Boy sambil menunjuk Juki dan Mattew. “Pasti sudah terguncang pikirannya lo, Ya? Waduh, kasihan…! Coba lo inget-inget lagi. Sekolah lo bukan di Bandung, kali?” lanjutnya mengingatkan.
Cewek itu bukannya menjawab, malah tertawa geli. Tertawanya bebas tanpa ditutupi mulutnya. Cuwek saja. Ia merasa lucu karena menyangka dirinya berbohong. Kini, tampak bahwa cewek ini adalah anak cewek yang ceria dan menyenangkan. Boy dan yang lain saling pandang bingung. Dengan sikap seperti itu, mereka menduga lain. Tadi makannya begitu? Tertawanya begitu? Jangan-jangan ia memang stres?
“Henteu, leres, atuh… aku sekolah di Bandung dan tinggal di sini. Di Jakarta,” jelas cewek itu.
“Waduh, cakep-cakep gokil!” kata hati mereka kompak sekali.
Mendadak Kang Jaka khawatir. Khawatir cewek yang ia kira gila ini ngamuk-ngamuk di warungnya. Kebetulan, hujan sudah reda. “Eh, Neng, hujan udah reda, tuh? Mau pulang? Punya ongkos, gak? Kalau enggak biar gue ongkosin, ya? Mau?” katanya mengharap si cewek itu buru-buru pergi dari warungnya.
“Oh, iya,” kata cewek itu sambil melangak-longok keluar warung. “Gak usah, Kang. Rumahku, ya, jauhnya sih sedikit, tapi tak begitu jauh, kok, dari sini. Di belakang sana! Jalan kaki juga sampai. Ya, jauh-jauh dikitlah!” katanya agak ngaco.
Oh, mereka manggut-manggut. Dugaan mereka jadi makin kuat.
Cewek itu langsung berdiri. “Hatur nuhun, Kang. Aku sudah di kasih mie dan teh manis…!” katanya kepada Kang Jaka. “Boy, Juki, Matewu… aku permisi dulu,” katanya kemudian.