Juli 1985.
Pukul 22:00. Pinggir jalan raya, dekat pintu tol.
Malam ini mendung. Bintang di langit tak tampak sedikit pun. Mungkin sebentar lagi hujan turun.
Dari sekian banyak tukang jajanan malam di pinggir jalan raya itu, yang paling ujung dekat tikungan menuju pintu tol Jagorawi, tampak warung dadakan indomie rebus yang diterangi sebuah lampu petromaks. Di atas etalasenya ngejogrok sebuah radio. Rupanya, si pemilik warung itu sedang menikmati sebuah hit Twisted Sister, yaitu We’re not Gonna Take It dari salah satu stasiun radio FM swasta.
Si pemilik, Kang Jaka, usia 28 tahun, sedang siap-siap untuk tutup. Lima menit kemudian, datang seorang anak muda memakai kaos oblong putih polos dan celana hitam pendek sedengkul. Usia sekitar 16 tahun. Wajahnya menggambarkan senja di pantai, tenang dan memiliki kedamaian yang tersirat di matanya. Namanya Boy. Tubuhnya tak kurus dan terlihat berotot.
“Kok, udah mau tutup?” tanya si anak muda itu ketika duduk.
“Eh, elu, Boy. Baru balik dari latihan?” sapa Kang Jaka yang sepertinya sudah kenal baik dengan anak muda itu.
“Yoi. Indomie-nya satu, Kang. Biasa, pake telor, daun bawang, sama sawinya banyakin,” pinta anak muda yang bernama Boy itu.
“Sebenernya, gue udah mau tutup, nih,” katanya sambil duduk di sebelah Boy. Lalu ia menunjuk ke langit. “Lu liat, noh! Langit gelap bener. Bentar lagi pasti hujan deres. Gue rasa mau musim hujan. Sekarang, ‘kan, pertengahan Juli. Ntar, kalo udah masuk bulan ber-ber, pasti musim hujan,” jelas Kang Jaka sok tahu benar. Padahal, semua orang juga tahu bahwa memang sudah begitu dari sononya.
“Abis Juli, Agustus, Kang. Baru September. Masih lama.”
“Hehe… tapi, yang namanya hujan ‘kan, bikinan Allah. Jadi bisa kapan aja hujannya. Iye, ‘kan?”
“Iya. Sekarang bikinin gue mi, deh. Tutupnya ntaran aja.”
Kang Jaka menatap wajah anak muda itu, ia menghela napas. “Gue, heran sama lu, Boy. Babe sama enyak lu ‘kan, orang berduit. Masa makannya di mari? Kagak takut keiket lidah lu makan mi melulu?”
“Hehe, kalau bukan gue yang bikin laku dagangan Kang Jaka? Siapa lagi, Kang?” katanya bercanda.
“Hehehe… bisa aja, lu. Ya, udah, gue bikinin dulu. Abis itu, gue mau tutup. Takut hujan deres. Repot. Atap tendanya belum pada bener. Bisa pada tampias ke mari…!”
“Oke. Makasih, Kang,” kata Boy senang.
“Besok lu udah masuk SMA, Boy? SMA mana?” tanya Kang Jaka sambil menghidupkan kompor minyak dengan korek api.
“Yoi, Kang. 48. Mulai besok udah pakai celana panjang abu-abu!”
Di jalan raya. Sebuah BMW melaju cukup kencang menuju jalur ke arah pintu tol. Tapi, tahu-tahu, laju mobil itu oleng kiri kanan, sepertinya pengemudinya mabok, dan arahnya menyerong jadi menuju ke arah kios dadakan mi rebus Kang Jaka.
Kang Jaka dan Boy kaget sekali. Wah, bisa menabrak kalau dibiarkan…?! Kontan, Kang Jaka langsung berlari menghadang sambil berteriak agar si pengendara menghentikan mobilnya.
“Woiii… setop… brentiii… brentiii…!”