Pukul 6:30.
Setiap anak kelas satu yang baru masuk SMA wajib mengikuti MOS (masa orientasi siswa) di sekolah.
Kini, walaupun belum mulai acara pembukaannya, sudah tampak nyaris seluruh anak kelas satu berdiri di lapangan basket dengan memakai pakaian petani. Yang cewek memakai baju kebaya bu tani lengkap dengan selendang digelung di kepala, dan yang cowok memakai baju pak tani lengkap dengan caping di kepala.
Dari barisan depan anak-anak cewek, tampak seorang anak cewek cantik bermata agak sipit tapi hidungnya kecil mancung. Di depan dadanya terpampang papan nama: “MILAN”. Ia terlihat suka sekali tersenyum, tapi kalau dilihat dari bentuk bibirnya, ia seperti anak yang suka memandang rendah orang lain.
Tapi, walaupun berdandan seperti orang desa, tetap saja ia, Milan, terlihat cantik. Ya, cantik tapi sarat keangkuhan. Itu kesan—orang yang polos saat—pertama kali melihatnya.
“Hei, pakai selendangmu dengar benar,” tegur seorang senior kepada Milan. Ia memang tak memakai selendangnya di kepala tapi digantung saja di leher.
Milan mencibir. Ia masa bodo saja.
“He, malah cengengesan. Push-up,” bentak si senior lagi.
Milan bukannya push-up malah menatap berani si senior itu. Ditatap begitu rupa oleh juniornya, si senior naik pitam, ia ingin memaksa dengan menekan pundak Milan agar turun push-up, tapi tahu-tahu senior yang lain mencegahnya.
“Udah… udah… biarin aja…!”
“Tapi dia…!” protes si senior itu.
Lalu temannya berbisik kepadanya, “Dia itu titipan Kak John. Ketua OSIS kita. Jangan ganggu. Lagian, lu gak lihat jidatnya yang masih diperban? Biarin aja…!”
Tiba-tiba si senior itu berubah jadi baik lalu mengatakan bahwa tak apa-apa kalau mau begitu saja cara memakainya. Milan tersenyum penuh kemenangan.
Terdengar suara toa berdenging, lalu terdengar suara berat seorang siswa senior.
“Woi, para petani…!” katanya bergema ke seantero lapangan.
“SIAAPPP…!” sambut anak-anak kelas satu.
“Kalian berbaris menurut urutan kelas kalian. Setiap kelas adalah kelompok desa petani yang di pimpin oleh seorang kakak kelas kalian yang menjadi kepala desa kalian. Karena kalian ada delapan kelas, berarti ada delapan desa dan delapan kepala desa. Apakah kalian sudah tahu kelas kalian masing-masing?”
“SUDAH…!!!” kata anak-anak kelas satu kompak.
“Bagus. Sekarang, kalian baris menurut urutan kelas kalian. Mulai dari paling kanan lapangan, atau sebelah kiri saya adalah kelas 1-1, begitu seterusnya,” katanya lagi.
Mereka segera berbaris menurut kelas masing-masing.
Pukul 07:00. Acara dimulai.