Setelah kejadian itu, aku menutup keberadaanku ketika pagi mencariku. Aku pun selalu bersembunyi dibalik seribu wajah ketakutan yang nyata. Meninggalkan seluruh energi dan melumpuhkan kekuatan yang saat ini sangat sulit aku dapatkan kembali. Tidak berdaya dan aku berpikir lebih baik seperti ini. Aku hanya ingin mengingat segalanya tentang orang tuaku. Bersimpuh sujud memohon kepada Tuhan, agar di kehidupan mendatang dapat dipertemukan kembali dengan mereka. Dalam setiap doa aku dapat mengucapkan permintaan maaf kepada orang tuaku. Maaf tentang hidup layak, kasih sayang utuh serta seluruh kebahagiaan yang telah diberikan, namun sampai dengan saat kelam itu pun tiba aku masih tetap saja belum mampu membalasnya. Lebih banyak luka yang aku berikan sejak pertama kali aku bernafas di dunia ini.
Kejadian kelam yang menimpa orang tuaku bulan lalu sering menyapa dalam mimpi, sehingga aku selalu terjaga dalam tidurku. Seakan-akan aku juga sedang berada di sana, melihat seluruh peristiwa itu dan bahkan terasa seperti mengalaminya. Aku merasakan bahwa aku tidak menemukan rasa sakit ketika aku terlelap dalam tidurku, tetapi aku temukan banyak perbedaan ketika aku terjaga. Ya memang, faktanya adalah aku telah kehilangan kedua orangtuaku. Yang aku sadari saat ini adalah aku bukan lagi sosok penopang, bukan lagi sebagai seorang peredam, tetapi aku adalah luka.
Waktu menunjukkan pukul 12 siang seperti biasanya aku baru bangun dari tidurku. Seakan-akan aku merupakan salah satu contoh generasi muda yang pemalas dan tidak mempunyai sebuah harapan lagi. Padahal bulan lalu, aku masih menjadi pemain terbaik sepakbola di negaraku, Indonesia. Karena sejak detik pertama orangtuaku meninggalkanku untuk selamanya, sejak itu pula aku telah memutuskan meninggalkan segalanya. Kehidupan yang mempesona, karir yang menakjubkan, saudara, teman maupun sahabat yang tidak pernah lepas dari kebersamaan.
Aku beranjak mandi, selesainya aku berpakaian kasual, jeans dan kaos berkerah. Tak lupa aku berdoa sejenak untuk kedua orangtuaku di dalam kamar peredam lelahku, menghadap jendela serta menatap birunya langit, doaku sangat sederhana. “Tuhan...Berilah kedua orangtuaku tempat terbaik di sisimu dan temukan aku dengan mereka ketika waktunya telah tiba nanti.” begitulah doaku dalam hati, setiap hari, setiap waktu. Lalu aku pergi mencari makan siang menuju sebuah kafe yang tidak terlalu jauh dengan rumah yang aku sewa di Melbourne, Australia. Negara di mana tempat aku berlabuh, bersembunyi dan menghilang, sehingga aku tidak lagi bertemu dengan orang-orang yang aku kenal. Entah berapa lama aku akan tinggal di sini, aku harap selamanya. Sesudah berdoa, aku pun melaju dengan mobil Range Rover Evoqueku berwarna two-tone hitam & putih.
Pepohonan kembar yang rindang menyejukkan mataku ditengah teriknya matahari dan musik jazz dari radio mobil menemani perjalananku menuju Classic Cafe. Ya, namanya kafe klasik. Sebuah tempat di mana aku sering menghabiskan waktu makan siang di dalamnya. Dan tentu saja kafe ini berisi barang-barang antik dan unik. Terasa seperti pada zaman tempo dulu. Terkesan kuno namun design interiornya dikemas sangat bagus, sehingga terlihat elok dan menakjubkan.
Sesampainya di kafe, aku mengambil sofa yang memang menjadi langgananku bersinggah untuk makan siang dan seperti biasa pelayan kafe mendatangiku untuk menanyakan menu apa yang ingin aku pesan. “Good afternoon, Mr. Seven!” sapa pelayan yang memang telah sangat mengenalku. Bagaimana tidak mengenalku? Setiap hari, disepanjang siang aku menghabiskan waktuku di tempat ini. “Good afternoon” sapaku kembali. “What do you want to order for lunch today, Sir?” tanyanya. “I want Lasagna and also lemon tea to drink” jawabku. “Yes, Sir. Please wait a moment” katanya. “Thank you” jawabku singkat. Ia mengangguk sembari tersenyum dan bergegas pergi menyiapkan pesananku.