Boys Don't Cry

Brahma Hemera
Chapter #2

Chapter 2 - Rendezvous

Tepat pukul 7 pagi hari, aku sudah bangun dari tidurku. Aku duduk diantara bangku-bangku yang diam dan tenang mengikuti sikapku. Pandanganku seperti kosong menatap ke sebuah cangkir untuk memikirkan apa yang ingin aku persiapkan dan lakukan. Tak mudah memulai segala sesuatunya kembali dengan suasana baru, sendiri dan asing seperti catatan kehidupan putih yang tak bernyawa. Teh hangat yang terdapat dihadapanku menemaniku dalam mencari sebuah inspirasi. Aku memang lebih menyukai teh ketimbang kopi, namun terkadang untuk membunuh rasa ngantuk ketika sedang mengerjakan sesuatu, aku tidak punya pilihan lain selain minum kopi. Dengan perlahan aku meminum teh, tiba-tiba inspirasi pun datang dan terbesit sebuah ide.

“Mengapa aku tidak membuat kafe sederhana bertemakan modern minimalis dengan menu utama teh dan kopi, serta ada tambahan beberapa snack dan makanan untuk melengkapi kafe tersebut?!” tanyaku sendiri di dalam hati sembari menatap cangkir tehku. Setelah itu aku menurunkan tanganku yang memegang cangkir teh, aku melihat dapur dan seketika aku pun mendapatkan namanya. Nama kafeku, Mr. Kitchen & Cafe.

Tak lama kemudian dan mumpung masih pagi aku beranjak untuk berolahraga yang seperti biasa aku lakukan di sore hari. Aku ingin menemukan pola aktivitasku yang baru. Aku berlari tanpa lelah, sekujur tubuhku pun berkeringat. Setelahnya aku beristirahat sejenak sembari menghirup udara segar dibangku taman. Sepertinya ini akan menjadi pola aktivitasku yang baru secara rutin di pagi hari.

Tiba-tiba terdengar suara merdu mendekat ke arahku.

“Tamannya indah ya!” kata sosok wanita itu.

Aku mencari-cari suaranya dan melihat ke sosok pemilik suara merdu itu. Sosoknya terlihat cantik berambut panjang hitam terurai dan memakai kursi roda menatap hamparan taman yang sangat indah dan luas berselimut bunga matahari.

“Seindah senyum kamu jika menyambut kembali hadirnya mimpi-mimpi kamu yang menakjubkan” lanjut wanita itu melihat ke arahku dengan senyum.

Aku terdiam merasa aneh dan bertanya “Kamu siapa?”

“Aku bayangan dan tulang rusuk kamu” jawab wanita itu singkat sembari berlalu pergi.

Aku yang masih merasa aneh pun tidak lepas melihat sosoknya yang tersenyum dan berlalu pergi. Tidak lama kemudian aku beranjak kembali ke rumah dan mandi setelah berolahraga.

Menjelang siang, seperti biasa aku bergegas untuk makan siang di kafe klasik. Yang dalam aktivitas makan siangku aku selalu menyambinya dengan membaca berita dan menelurusi beberapa email baru yang masuk. Meskipun aku kenal dengan beberapa karyawan dalam kafe klasik, tetapi masih seperti biasa, aku tak banyak bicara dan diam dalam heningku sendiri.

Lagi dan lagi, sore hari tiba. Semua terlihat sama, hanya saja aktivitasku yang kini berbeda meskipun di langit yang sama. Aku merenung meratapi diriku di bangku taman. Sesaat pandanganku tertuju kepada sosok laki-laki dengan perawakan agak gemuk dan memakai kacamata terlihat sedang berdagang es krim. Yang menjadi perhatianku adalah tulisan yang berada di gerobak es krim laki-laki itu. Bertuliskan “Ice Cream Tempo Doeloe”. Terlintas dalam pikiranku, laki-laki itu orang Indonesia dan bagaimana jika aku mengajaknya jadi partner di kafe, karena aku pasti membutuhkan seseorang yang dapat membantuku mempersiapkan segala keperluan dan perlengkapan kafe hingga ketika operasional sudah jalan nanti.

Aku pun memberanikan diri menghampirinya.

Hello!” sapaku.

Yes, Sir! Wanna try my delicious ice cream?” tanya laki-laki itu sembari senyum sumringah.

Are you Indonesian?” tanyaku balik, tak menjawab pertanyaannya.

Sure! Lho? Orang Indonesia juga toh, Mas?” kata laki-laki itu.

“Iya” jawabku singkat dengan ekspresi wajah tersenyum kaku. karena aku merasa sepertinya aku belum mampu kembali tersenyum bahkan tertawa dengan lepas jika pun ada hal yang lucu, entah sampai kapan dan berapa lama aku dapat menemukan hati dan pikiranku normal kembali.

“Oalah, Mas...Mas! Aku yo orang Indonesia. Arek Suroboyo aku, Mas.” kata laki-laki itu lagi penuh semangat.

“Saya dari Jakarta” kataku.

“Kenalin, kenalin, Mas. Namaku Anton” kata Anton memperkenalkan diri sembari menjulurkan tangan.

“Saya Seven, Mas.” kataku yang jadi ikut-ikutan memanggil Mas. Aku dan Anton pun bersalaman. Kami pun lanjut ngobrol panjang lebar.

“Wah, keren amat namanya, Mas?! Pitu, anak ke tujuh ya?” tanya Anton dengan ekspresi wajah masih saja sumringah.

“Bukan...Saya beli es rasa alpukatnya, Mas.” jawabku sembari geleng kepala dan memesan es krimnya.

“Oh boleh, boleh. Siap. Ini mas monggo dicoba es krim buatan saya. Legit! Hehehe...” kata Anton meringis sembari mengambil es krim alpukat di box es dan menyodorkan es krimnya.

“Iya, makasih” sahutku.

Aku pun langsung segera membuka dan mencoba es krimnya.

“Enak rasanya” kataku

“Wah, ini sungguhan enak atau pura-pura enak, Mas? Kalo bilang gak enak takut saya panggilkan orang-orang perumahan sini untuk gebukin mas ya?” canda Anton.

“Kamu ada-ada saja, serius ini enak.” kataku tersenyum kecil.

“Hehehe...Thanks mas kalo beneran enak es krim buatan saya.” kata Anton yang selalu meringis.

“Mas Anton, gini mas...Sebenarnya saya ingin ngajak mas Anton untuk buka kafe kecil-kecilan. Nanti di sana mas Anton monggo aja tetap bisa jualan es krimnya. Kira-kira berminat gak ya?” ajakku ke Anton.

“...” Anton sama sekali tidak menjawab ajakanku, malahan memasang wajah melongo. “Apa mungkin dia kaget dan takut dengan modalnya?!” pikirku sembari menebak-nebak.

“Halo, Mas. Tenang, modalnya dari saya kok.” kataku seraya tanganku melambai-lambai ke arah wajahnya, berupaya membuyarkan ekspresi wajahnya yang terlihat kaget.

“Ini...serius...mas?” tanya Anton terbata-bata.

“Iya...serius” jawabku.

“Minat, mas. Saya mau, mau, mau.” kata Anton sangat sumringah lebih dari awal tadi ketemu sembari menjabat tanganku.

“Ok, mas. Terimakasih.” kataku tersenyum.

“Besok kita coba cari-cari lokasi kafenya ya dan ini nomor telepon saya, Mas.” lanjutku dengan menunjukan layar handphone berisi nomor teleponku agar mudah dalam komunikasi.

“Ok, mas Seven, siap. Saya catat nomornya ya.” Anton pun mengambil handphone di saku celananya dan mencatat nomor teleponku.

“Ok, sip.” kataku singkat.

“O iya, Mas. Kan kita udah kenal nih? Gimana kalo kita lebih santai aja dengan manggil nama masing-masing? Plus manggil elo, gue. Kayaknya kita seumuran deh dan biar orang gak ngira kita...” kata Anton menggerakan jari telunjuknya ke arahku dan ke arahnya secara bergantian.

“Ngira kenapa?” tanyaku heran

“Takutnya ngira kita jeruk makan jeruk gitu...” canda Anton sambil meringis.

“Oh...kirain kenapa, ada-ada aja, Lo!” kataku tersenyum tipis.

“Sepertinya Anton sosok pribadi yang humoris dan cukup baik jika dijadikan partner. Semoga saja...” lanjutku dalam hati.

Anton masih terlihat meringis.

“Well, gue balik dulu ya, Ton. Rumah gue di situ.” kataku sambil menunjuk ke arah rumahku yang terlihat cukup jelas dari depan taman.

“Ok, ok, Mas...Eh, Seven. Rumah gue juga nggak jauh dari sini kok” kata Anton seraya pandangannya mengikuti arah telunjukku yang mengarah ke rumahku.

“Oh ya? Ok, sampai ketemu besok ya. Gue tunggu di rmh.” kataku seraya menjulurkan tangan.

“Siap, Ven. Sampai jumpa besok.” kata Anton mengangguk seraya menjabat tanganku.

Setelah itu aku kembali ke rumah, bergegas mandi dan setelahnya merebahkan tubuhku di kamar peredam lelahku. Aku merasa ingin istirahat lebih awal agar besok dapat mempersiapkan segalanya.

***

Semakin hari terbangun, aku berusaha untuk lebih menyibukkan diriku dengan berbagai hal. Aku berharap dengan berdagang, perlahan dapat meredam hati serta pikiranku yang selalu menguasai dan berbagi tentang kenangan indah dan kelam, hitam dan putih, serta baik dan buruk.

Baru saja aku selesai mandi, aku seperti mendengar suara Anton berada di depan rumah.

“Permisi...Selamat pagi, permisi...” sahut Anton sembari mengetuk-ngetuk pintu rumahku.

“Iya, sebentar...” sahutku dengan bergegas berpakaian.

Setelah selesai berpakaian, aku menuju pintu depan rumah dan membukanya.

“Hi, Ven!” sapa Anton dengan penuh semangat.

“Hi, Ton! Semangat sekali?!” jawabku.

“Iya dong, gimana gue nggak semangat?! Nih, gue dapet temen baru, baik pula kayak elo dan yang terpenting gue punya peluang meninggalkan kehidupan gue yang menyedihkan ini.” kata Anton panjang lebar.

“Hah? Maksudnya?” tanyaku heran.

“Jadi gue ini kan ke Melbourne karena dapet beasiswa. Nah, uang saku bulanan yang gue dapet terbatas. Bayangin aja, tuh uang saku cuma bisa gue buat makan palingan tahu gejrot. Paling enak gue makan Burger, itu pun sebulan sekali.” jawab Anton panjang lebar.

“Emang di sini ada tahu gejrot, Ton?” tanyaku bingung.

“Mmm...emang nggak ada sih, Ven...tadi gue cuma kasih gambaran aja ke elo seberapa tersudutnya kehidupan gue di sini. That’s why gue butuh tambahan. Jadilah gue dagang es krim.” canda Anton.

Seven pun hanya tersenyum tipis.

“So, kita mau sarapan dulu apa langsung cabut keliling-keliling?” tanyaku.

“Mmm...gimana kalo kita sarapan dulu. Biar irit dikit. Elo modal bahan, gue yang masakin. Gimana?” jawab Anton dengan ngocolnya seperti biasa.

“Baiklah...” kataku singkat sembari tersenyum melihat sosok teman baru dengan tingkahnya yang konyol.

“Harap maklumin ya, Bro. Anak rantau...” sambung Anton sembari bergegas ke Dapur untuk mengambil beberapa peralatan dan bahan-bahan untuk masak.

Aku hanya tersenyum sembari mengangguk dengan sangat memaklumi keberadaannya. Entah kenapa, meskipun baru kenal dengan Anton kemarin, aku merasa telah mengenalnya sangat lama.

“Ven, gue masak nasi goreng aja ya?! Simple, is it ok?” tanya Anton.

Sure, why not?! Gue suka nasi goreng kok” jawabku.

“Tapi elo punya nasi, telor sama bumbu rempah kan?” tanya Anton lagi.

“Punya. Ini nasinya, terus telor sama bumbu rempahnya di kulkas. Elo ambil aja ya.” jawabku sembari menunjukkan tempat nasi dan kulkas.

“Ok, siap” kata Anton.

“Elo nggak mau gue bantu?” tanyaku.

“Oops, nggak perlu. Seperti yang gue bilang tadi, elo udah modal bahannya, gua modal tenaganya buat masak.” kata Anton sumringah.

“Ok, gue duduk aja ya berarti.” kataku.

“Monggo duduk sambil menunggu nasi goreng spesial gue mateng” kata Anton.

Aku pun duduk di meja makan.

“Ngomong-ngomong, elo sendiri kenapa bisa di Melbourne, Ven? Orang tua elo mana? Elo tinggal sendirian di sini?” tanya Anton.

Aku melamun, hanya sedikit mendengar apa yang dikatakan Anton mempertanyakan keberadaan orang tuaku. Lagi-lagi lamunanku berkisah tentang bagaimana proses yang dialami kedua orang tuaku hingga membuat mereka meninggal dunia. Aku tidak melihatnya, tetapi aku merasakan sakit, pasti terasa amat sakit.

“Ven...Seven...Halo, Ven!” panggil Anton membuyarkan lamunanku dengan tangannya dilambaikan tepat di depan wajahku.

“Eh, iya, Ton...sorry-sorry, gimana-gimana? Kenapa?” tanyaku kaget.

“Nggak apa-apa, ini nasi gorengnya udah jadi. Ayo, kita sarapan dulu.” jawab Anton mencoba memahami lamunanku sembari meletakkan dua piring nasi goreng di atas meja makan.

“Mari sarapan...” kataku dengan wajah datar.

“Elo nggak apa-apa, Ven?” tanya Anton.

Sure. I’m okay!” jawabku singkat.

 “Ok, good. Cobain nih nasi goreng spesial ala chef Anton. Selamat makan...” kata Anton menyombongkan diri.

Aku pun hanya tersenyum dan kami segera melahap nasi goreng.

“Ton, elo masih kuliah semester berapa sekarang?” tanyaku disela-sela makan.

“Udah semester akhir...Gue lagi nunggu sidang nih. Mudah-mudahan akhir tahun udah kelar kuliah.” jawab Anton.

“Oh ya? Great! Semoga lancar...” kataku.

“Amin” kata Anton.

“Amin” kataku juga.

By the way, nasi goreng elo enak. Seriusan. Thanks ya Ton udah buatin sarapan.” kataku memuji masakan Anton.

Aku mengangguk sembari memberikan jempol.

“Enak kan?! Sip, sama-sama, Bro.” balas Anton.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Aku pun merasa sudah waktunya beranjak pergi.

“Udah agak siangan nih, gimana kalo kita cabut sekarang?!” ajakku sembari melihat ke arah jam tanganku.

“Oh iya...ayo deh. Gue bareng elo, jadi sepeda gue titip rumah elo ya.” sahut Anton.

“Sepeda?” tanyaku agak bingung dan heran.

“Iya, biar sekalian gue olahraga gitu jadi agak kurus kayak elo.” canda Anton

“...” Aku hanya tersenyum tipis sembari menggeleng-gelengkan kepala.

 Setelah selesai makan dan membersihkan piring dan gelas kotor, kami pun beranjak keluar rumah dan segera bergegas mengelilingi kota Melbourne yang menakjubkan.

***

Perlahan namun pasti, cahaya matahari menghangatkan seluruh kota Melbourne, begitu pun dengan jalan yang aku lalui bersama Anton untuk berkeliling mencari tempat usaha.

Beberapa kali tempat berbentuk kios dengan ukuran kecil bertuliskan “for Rent” telah coba aku dan Anton singgahi, namun belum ada juga lokasi yang cukup strategis dan harga yang sesuai.

Berjam-jam telah dilalui dan tanpa terasa sore pun tiba.

“Waktu...oh...waktu, mengapa berputar sangat cepat dan hanya tersedia 24 jam dalam sehari?!” pikirku dalam hati.

Aku dan Anton bukan merasa putus asa, hanya saja cukup melelahkan dengan berharap dan bernegosiasi. Itu lah hidup selalu terdapat beberapa pilihan, namun ditentukan oleh beberapa aspek.

“Fyuh...belum ketemu juga nih tempat yang match.” kata Anton menghela nafas dan memejamkan mata. Aku hanya diam sembari tetap fokus menyetir mobilku.

Oh my gosh, why don't I ask my girlfriend?” sahut Anton seketika membuka matanya lebar-lebar.

What do you mean?” tanyaku heran.

“Iya, baru kepikiran nih. Jadi gue punya pacar, siapa tau dia punya rekomendasi tempat buat dagang. Soalnya dia punya kakak jualan roti gitu.” kata Anton antusias

Ow, great!” kataku dengan perasaan antusias yang sama namun tetap dingin. Hanya itu yang membedakan aku dengan kebanyakan orang-orang di sekelilingku. Begitulah aku dengan gambaran emosiku yang sepertinya sulit untuk menjadikannya seperti sedia kala. Dahulu ketika tertawa mengartikan kebahagiaan sedang lekat dalam perasaanku dan ketika menangis mengartikan kesedihan sedang tenggelam bersama perasaanku.

“Gue call dulu ya.” kata Anton.

“Ok!” balasku

Anton mengambil handphone di saku celana dan menelpon pacarnya.

“Halo, Stel! Kamu lagi di mana? Nah kebetulan, share location alamat toko roti kakak kamu ya. Sekarang aku ke sana. Ok, thank you, see you then.” kata Anton.

Begitu lah apa yang dikatakan Anton dalam percakapan dengan pacarnya melalui telepon yang aku dengar.

“Nih lokasinya udah dishare sama cewek gue, Stella.” kata Anton sembari cek lokasi yang dishare Stella.

“Lho? Ini kan deket kampus gue” tambah Anton.

“Oh ya? Ok, good!” kataku.

“Yoha! Gue arahin elo ya...” kata Anton dan aku pun mengiyakan dengan mengangguk.

***

Tidak berapa lama, aku dan Anton tiba di sebuah toko roti kakaknya Stella yang bertuliskan “Mendez Bakery”. Aku turun dari mobil dengan membawa laptop, sedangkan Anton membawa tas ransel. Aku menikmati pemandangan suasana toko roti tersebut dengan pagar putih, rumput dan bebatuan minimalis serta bunga-bunga indah menghiasi sisi halaman luar. Aku dan Anton pun bergegas masuk ke dalamnya.

“Hi, Dear...” sapa Anton ketika bertemu Stella sembari memeluknya.

“Hi...” sapa Stella sembari tersenyum.

“Stel, kenalin ini teman baru aku yang semalam aku ceritain ke kamu mau ngajak aku bikin kafe. Orangnya baik banget.” kata Anton kepada Stella.

“Seven ini Stella, Stella ini Seven...” lanjut Anton.

“Oh iya...Halo, Stella...” kata Stella sembari menjulurkan tangan.

“Halo, Seven...” kataku sembari menjabat tangannya.

“Yuk duduk, Ton, Ven...Santai-santai...” kata Stella mempersilahkan aku dan Anton duduk.

Aku, Anton dan Stella duduk di sudut sisi kanan kafe dekat pintu masuk kafe.

“Sebelum ngobrol-ngobrol, lebih baik pesen roti dan minuman dulu ya. Untuk Seven karena belum pernah nyobain, harus cobain roti bikinan kakak gue. Really delicious in this town!” lanjut Stella yang terlihat periang, mirip sekali dengan pribadi Anton.

“Bener banget! Rotinya Ka Cathy emang paling the best, Ven. Meskipun gue baru pertama kali nih dateng ke sini. Maklum lagi persiapan sidang. Tapi gua sering dibawain rotinya sama Stella.” kata Anton kepadaku.

“Dimaklumi kok dimaklumi...” kata Stella.

Lihat selengkapnya