BRAD

KH_Marpa
Chapter #2

"Menemani Telaga Sunyi di Pulau Apung"

Sam masih terus menunjukkan rasa jengkel terhadap kegigihanku meminta bantuannya.           

Wajahnya tidak bersahabat, persis seperti saat aku menyampaikan niat untuk menjauhi Citra–perempuan pertama yang kusayangi setelah Ibuku–dalam hubungan kami yang baru berjalan sekitar lima bulan. Saat itu dia menyebutku pengecut, tidak menghargai persahabatan, dan sinting! Aku menerima semuanya tanpa membela diri.           

“Cuma kau yang bisa membantuku, Sam,” ujarku menatapnya, “jangan salahkan aku jika terpaksa mengambil opsi kedua–”          

“Apa? orang sepertimu mana mungkin bunuh diri, Kawan! terus kau mau ke mana? ke Mars?” suaranya meninggi, untung saja kami berada di selasar yang sedang sepi saat makan siang itu.           

“Ke mana saja … pokoknya jauh, tak terlacak. Kau kira aku bercanda, Kawan? sudah muak habis aku ini. Ibu sudah pergi, apalagi yang kuharapkan? bisa cepat gila aku kalau sendirian terus di rumah–”      

“Kau masih bisa pindah ke tempat yang lain, atau ke tempatku juga boleh, yang penting–”           

“Dengar, Kawan. Ini urusan pribadi, aku tak mau merepotkan siapa pun. Kalau semua informasi yang kuperlukan sudah kau tanyakan pada Wak Luta, kenapa kau tak mau membantuku untuk bisa tinggal di Pulau Apung? itu tempat yang kau ketahui, Sam … atau kau ingin memaksaku pergi ke tempat yang tak kau ketahui?”           

Aku menarik tubuh menjauhinya dan menyalakan rokok.           

“Aku tak terima kau jadi Tarzan[1] di sana, Kawan–”          

“Siapa yang mau jadi Tarzan? hei, Indiana Jones[2], Sam. Apalah kau ini!” sergahku mendelik.

Dia tertawa mengipas angin. Rona wajahnya berubah normal meskipun tampak sedang berpikir keras. Tanda-tanda persetujuannya sudah semakin jelas.          

“Ada banyak jalan menuju ke Roma, Sam … bantulah aku untuk sampai ke sana melalui jalan Pulau Apung. Aku sudah siap lahir batin menjelajahinya … ingat, kita ini pasukan komando, siap tempur–”           

“Kau memang degil, Batu Akik! … kapan rencanamu mau tour of area?” tanyanya pelan, ada nada prihatin di dalamnya.           

“Sabtu minggu depan on board, tapi kalau waktumu kosong. Sabtu ini kita survei ke sana, bisakah?” Aku memandangnya dengan serius.           

“Bisa rupanya aku menolak, heh? ternyata sudah mantap kau rencanakan semua, ya, Brad,” ujarnya miris melihat kesungguhanku.           

“Aku tinggal menunggu disposisimu, Kawan. Kalau Wak Luta … aku yakin tidak ada masalah. Beliau pasti bisa memahami kondisiku.”           

“Kita ajak Jodi biar–”           

“Janganlah … terpaksa harus kita rahasiakan, Sam. Nanti pun, hanya kau yang tahu cerita ini, ya! sebenarnya ini aib, kuharap kau mengerti, Kawan. Pihak keluarga pun tidak kuberitahu. Rumah serta isinya dan aset yang lainnya akan kubereskan sebelum on board–”           

“Kontrakkan saja rumah, jangan dijual, Brad.”           

“Rencanaku begitu, Kawan. Nanti bantu aku soal rumah, tidak terkejar tampaknya–”      

“Jangan dipikirkan, aman itu. Persiapkan saja dirimu sebaik-baiknya.” Sam menerawang ke langit. Dia tampak ragu pada keputusannya.           

“Aku mau ‘hilang ditelan bumi’, tapi hanya kau yang tahu. Nanti tidak ada alat komunikasi apapun di sana, tidak ada jam, tidak ada kalender–”

“Kau serius?” tanyanya sangat terkejut.           

“Sangat, Kawan! aku menginginkannya begitu. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Sam … aku tak bisa membalasnya–”

“Ah, macam betul saja kau ini! Rileks, Brad. Kita berkawan dunia akhirat, lo.”           

Aku menyodorkan kepalan tangan kanan kepadanya dan Sam langsung menyambut dengan gagahnya. Perkataannya yang barusan terngiang-ngiang di telinga dan mustahil aku bisa melupakannya.           

Ketika kami kembali ke kantor, Telaga Sunyi terbayang di benakku. Masih satu minggu lebih ke depan, tapi rasanya seperti besok saja. Aku begitu bergairah karena petualangan ter-aneh sedang menantiku di Pulau Apung sana, petualangan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya!

                      --000--           

Hari itu Sabtu, 20 Juni 2020 pada pagi hari yang cerah.           

Jejak kabut masih terlihat di Pelantar Dua Desa Damai ketika kami turun menuju ke perahu pompong Wak Luta. Dua tas ransel gunung ukuran jumbo kuberikan pada Wak Luta yang lebih dulu sampai di perahu lalu aku menyusulnya dengan satu tas ransel yang lebih kecil di punggungku. Aku memandang ‘armada’ yang dikomandoi oleh Wak Luta, terdiri dari satu sampan–milikku–dan dua perahu pompong yang penuh dengan bahan dan peralatan untuk tinggal menetap di Pulau Apung.        

Aku dan Sam berada di perahu pompong Wak Luta bersama Jum–anak sulung Wak Luta–dan di perahu pompong yang lebih besar dinakhodai oleh Pak Wan–teman Wak Luta dari Pelantar Tiga, yang berotot dan tinggi–dengan kru: Zam dari Pelantar Dua, Mal dan Zi–anak Pak Wan–serta Im, menantu Pak Wan. Dua keluarga besar bersiap mengantarku ke Pulau Apung.           

Persiapan kami menjadi tontonan bagi penghuni pelantar yang berdiri di depan rumahnya masing-masing. Terjadi sedikit ‘kehebohan’ karena semua orang yang tinggal di pelantar, mengenal dan menghormati Wak Luta. Tentu saja mereka heran, kenapa kami menuju ke Pulau Apung dengan bawaan sebanyak itu.           

“Mau ke mana bawa benda sebanyak itu, Bang? macam mau bangun rumah tampaknya,” tanya seorang bapak yang sibuk membetulkan letak sarungnya.           

"Ke seberang mengantar Keponakanku, Din. Dia mau tinggal di sana," sahut Wak Luta dengan memegang bahuku. Aku mengangguk pada bapak itu dengan ramah.           

"Betulkah? berani dia sendirian di Pulau Apung sana?" Bapak itu melongo dan mendekati kami.           

"Tak masalah katanya, ‘kan untuk kerja sementara saja. Maklumlah anak muda zaman sekarang ini, tak terikuti kita lagi jalan pikirannya," jawab Wak Luta seperti yang kami sepakati sebelumnya jika ada pertanyaan dari penduduk setempat.           

“Kami bertolak dulu, Din. Banyak lagi yang mau ‘dikejar’ di sana ni,” kata Wak Luta sambil memberi isyarat pada Jum untuk menghidupkan mesin pompong.           

“Iyalah, Bang. Hati-hati!” balas Pak Udin dengan raut muka penuh tanda tanya. Tampaknya dia ingin ikut bersama kami, tapi segan mengutarakannya.           

Semuanya sudah siap. Wak Luta seperti sedang berdoa, sesaat sebelum perahu pompong kami meninggalkan pelantar. Petualanganku segera dimulai dan Sam dari tadi sibuk merekam momen ini dengan smartphone-nya. Aku bisa merasakan bahwa sampai sekarang dia tetap keberatan dengan keputusan kontroversial-ku ini, namun the show must go on, whatever it takes!           

“Aku datang, Telaga Sunyi! Kau tidak sendirian lagi,” bisikku di antara teriakan cempreng mesin pompong dan desir angin pagi.

--000--           

Mereka bekerja dengan koordinasi yang mencengangkan dibawah komando Wak Luta. Sungguh berpengalaman! Teriakan, tawa, dan bunyi perkakas terdengar ‘lain’ di telingaku, seolah-olah aku sedang menyaksikan semuanya dari jauh, padahal aku berada di tengah-tengah mereka, terlibat dengan penuh semangat demi duniaku yang baru.           

Sam juga tampak bergairah dalam gotong-royong itu, bahkan dia ikut menjelajah ke dalam hutan kecil di sana untuk mencari kayu bulat sebagai tambahan tiang penyangga Rumah Panggung, sesuai dengan gambar yang kubuat di rumah Kota Dua. Kegiatan kami saat itu semakin meneguhkan pendapatku tentang Sam, sahabat sejati yang tidak ada duanya bagiku di dunia ini!           

Menjelang senja, rumah panggung-ku sudah berdiri dengan gagah dalam kesederhanaannya. Inilah tempatku mengisi hari-hari ke depan. Rumah berukuran 4x4 m, dengan satu pintu, tujuh anak tangga, dua jendela masing-masing berukuran 50x50 cm: Jendela Ayun Timur di sisi sebelah timur dan Jendela Ayun Barat di sisi sebelah barat, ber-atap rumbia, dan dilengkapi dengan sumur galian dasar seadanya yang ternyata airnya lumayan jernih.          

Wak Luta baru saja menyalakan api unggun di halaman depan saat aku menghampirinya, sedangkan yang lain sedang berkemas-kemas. Orang tua ini–entah kenapa–memperlakukanku seperti keponakannya sendiri, padahal kami baru tiga kali bertemu, termasuk saat ini, dan lima kali bertelepon.

“Sudah siap semua?” tanya Wak Luta sambil menyalakan rokok, “biar kita pulang.”          

“Beres, Bang!” sahut Pak Wan yang datang bersama tim-nya. Mereka berpeluh semua.      

Lihat selengkapnya