Rasa lapar mulai menyerang waktu aku melewati toko kelontong langganan.
Empat bungkus mi goreng ayam–baru kali ini kutenteng–seperti menyuruhku menepi untuk menikmatinya di kedai kopi Langganan yang berada di pinggir jalan raya sana. Itu kedai kopi terbesar di Desa Damai.
"Waduh! Tutup pula," aku bergumam, "beli air mineral sajalah."
Di bawah pohon akasia aku menyantap dua bungkus mi goreng ayam tanpa jeda, mulut masih mengunyah, tapi tangan sudah sibuk membuka bungkusan yang berikutnya. Nikmat sekali, mungkin karena belum pernah kulakukan. Dua bungkus lagi kusediakan untuk Wak Luta.
"Ke rumah Wak Luta dulu," batinku dengan semangat. Tenagaku sudah terisi kembali.
Keluarga Wak Luta sudah seperti keluarga-ku sendiri, mereka pun demikian terhadapku, biarpun sahabatku Sam sudah pindah tugas ke Kota Tujuh sejak akhir tahun lalu, namun kekeluargaan kami tidak berubah. Anak Wak Luta cuma satu–laki-laki–namanya Jum.
Rumah Wak Luta tidak jauh dari Pasar Selasa, namun demikian tidak setiap ke pekan aku singgahkan ke rumahnya karena aku kurang suka mendengar nasehatnya supaya kembali ke Kota Dua dan menjalani hidup yang normal. Terlalu sering berargumentasi membuatku jadi risi, akhirnya lebih baik aku menghindar.
Suatu ketika, kami pernah berbincang-bincang dari pagi sampai sore di rumah panggung–pada hari kedua aku tinggal di Pulau Apung–tentang alasan yang membawaku menyendiri. Menurutnya, aku terlalu terbawa perasaan sehingga tidak melihat jalan keluar yang lainnya terhadap masalah yang kuhadapi. Aku tidak membantahnya, hanya mendengarkan saja.
Pada hari kedua itu, Wak Luta memberikan si-Jabrik dan si-Nyonya kepadaku untuk kuternakkan. Betapa senang dan terharunya aku menerima pemberiannya. Kedua ayam itu-lah yang membuat aku punya kesibukan baru, selain daripada membersihkan area di sekeliling rumah.
"Wak tak sangka kau sanggup di sini, Brad!" ujarnya nya pagi itu, "kalau Wak masih muda pun, tak mau macam kau ini. Apa sebab sebenarnya, Brad? coba kasih tau Wak mu ini," bujuknya pelan.
Aku tak langsung menjawabnya. Perlahan kuraih rokok dan menyulutnya.
"Sudahlah Wak, tolong jangan tanyakan hal itu lagi. Aku tak bisa menjelaskannya," sahutku menyerah.
Orang tua itu tertawa mendengarnya, seperti perpaduan antara rasa kasihan dan kelucuan.
"Baiklah. Bagaimana kau bisa tahan hidup di tempat seperti ini?"
"Aku suka kesendirian, Wak."
"Tak takut sama sekali?" Wak Luta membelalak ke arahku. Guratan di dahinya tampak jelas.
"Kan dulu Wak yang bilang Pulau Apung ini aman dari hewan buas." Aku tersenyum meliriknya.
"Memang benar itu, tapi ‘kan Wak tak tahu akan niat gilamu ini. Kalau Wak tahu, takkan begitu Wak bilang ke kau, Brad!" seru Wak Luta sambil menonjok lengan kananku. Kami berdua tertawa-tawa.
"Makanya Sam Wak salahkan juga. Dia yang tanya sama Wak: apa boleh tinggal di sini tanpa membeli tanahnya? Wak jawab: boleh saja asal tak merusak alamnya dan tak berniat memilikinya."
"Selain itu Wak, aku lama ikut Pramuka dulunya, ada 6 tahun-an, terus ikut pencinta alam waktu mahasiswa, jadi sudah terbiasa di alam bebas, Wak," jelasku sambil menghembuskan asap rokok.
"Patut-lah!" timpal Wak Luta, "kenapa tak jadi tentara saja, Brad?"
Sekarang, aku yang tertawa lepas melihat ekspresinya.
"Itulah cita-citaku, Wak. Tak kesampaian … orang tua tak setuju."
"Patuh rupanya kau sama orang tua, ya?" katanya seperti menyindirku.
Aku membuang muka dan tidak berani menjawabnya!
--000--
Berkali-kali ke rumah ini saat hari pekan, belum pernah se-sepi ini. Pintu kayu bercat coklat tua ini pun biasanya selalu terbuka, tapi–.
"Ada perlu apa, Bang?" Suara dari jendela rumah sebelah mengejutkanku. Seorang laki-laki bermasker sedang memandang curiga.
"Mau bertemu Wak Luta. Ke mana orang rumah ini, Dik?"
"Mereka semua baru dijemput orang puskesmas, Bang. Positif katanya."
"Positif?" tanyaku sambil menghampirinya.
"Kena Covid orang ini semua."
"Haa?" aku terkejut setengah mati, "terus dibawa ke mana, Dik?"
"Kata orang ke rumah sakit, Bang. Rumah sakit kecamatan."
"Jauh sekali, itu sudah dekat ke Kota Dua," pikirku.
"Tapi tak boleh dijenguk, Bang, diisolasi orang itu," sambungnya kemudian.
Aku terdiam sejenak. "Baiklah, Dik. Terima kasih ya!" ujarku berpamitan.
"Tidak boleh dijenguk? bahaya sekali si Covid itu?" pikirku tak berterima.
Aku kembali ke Pasar Selasa untuk belanja keperluan sehari-hari, namun pikiran masih tertuju kepada Wak Luta sekeluarga. Kalau saja tidak diberitahu oleh tetangga Wak Luta tadi, aku mungkin sudah di rumah sakit kecamatan menjenguk mereka bertiga.
Matahari sore yang cerah menyuruhku pulang ke rumah panggung, tapi aku tak bisa bersenandung lagi. Terbayang kebaikan Wak Luta sekeluarga yang banyak kuterima selama ini.
"Semoga mereka baik-baik saja," doaku saat turun dari pelantar menuju ke sampan.
"Lindungilah mereka semuanya," gumamku sebelum mengayuh sampan dengan setengah hati.
Waktu terasa begitu lambat selama aku di laut ini hingga aku turun ke dalam air berpasir warna abu-abu di pantai Pulau Apung. Biasanya dengan 90 sampai 100 kayuhan dari pelantar, aku sudah tiba di sini, namun tadi pasti lebih dari itu, biarpun aku tidak menghitungnya.
--000--
Berjalan sendirian di antara pepohonan perdu sering membuatku berhalusinasi, seakan-akan ada seseorang yang sedang menungguku di ujung jalan, atau ada seseorang yang mengawasiku dari belakang. Memang tidak sampai membuatku ketakutan, tapi mengganggu rasanya.
Aku membungkuk untuk mengambil ranting kering yang lumayan panjang ini dan melanjutkan perjalanan sambil mengibaskan ranting itu ke kiri dan ke kanan pada jalan yang akan kulalui. Tanpa terasa, aku telah melihat rumah panggung yang menungguku.
“Ada kejadian apa, Brad?” sambut Bukit Hijau ingin tahu.
“Tidak ada, aman terkendali, Kawan!” sahutku saat menaiki tangga.
Aku merasa letih dan malas, tapi tidak mengeluhkannya. Aku hanya perlu mandi agar pikiranku lebih tenang memikirkan keadaan Wak Luta sekeluarga.
--000--
"Kenapa wajahmu murung, Brad?" tanya Bukit Hijau kepadaku.
"Wak Luta sekeluarga terkena Covid-19, sudah diisolasi di rumah sakit kecamatan, tapi aku tak bisa menjenguknya."
"Dia beruntung bisa dirawat di rumah sakit, masih ada tempat," Bukit Hijau melanjutkan, "tadi Angin Empat Penjuru bilang mereka kewalahan menyiapkan tempat perawatan, saking banyaknya pasien yang datang dalam waktu hampir bersamaan, lagi pula tenaga kesehatan pun terbatas jumlahnya dan sudah sangat lelah."
" … yang tak dapat tempat dikemanakan?” aku menerawang gelisah.
"Di rumahnya masing-masing, isolasi mandiri dengan pengawasan puskesmas dan masyarakat di lingkungannya."
"Yakin bisa diawasi oleh mereka?" tanyaku sinis.
Bukit Hijau tertawa. Sama sepertiku, ia tahu betapa susahnya kami diatur untuk kebaikan. Terlalu banyak orang yang ingin bebas sebebas-bebasnya tanpa memedulikan keselamatan orang lain dan merasa tahu tentang sesuatu yang sebenarnya dia tidak tahu.
"Karena itulah semakin banyak yang tertular, Brad!"
"Benar-benar gila!" gerutu-ku.
"Kau sudah lihat mereka bermasker, ‘kan?"
"Iya! kalau tidak pakai katanya bisa diamankan petugas."
Kembali dia tertawa, entah apa yang dirasanya lucu.
"Empat Penjuru bilang, orang yang sedang sakit dengan gejala-gejala Covid-19 saja yang sebenarnya harus bermasker, orang yang sehat tidak harus karena virus itu berasal dari si sakit, bukan dari orang sehat."
"Terus?"
"Karena orang yang bergejala tidak patuh bermasker, tidak patuh membatasi pergerakannya, malah pergi keluyuran pula, jadinya semua orang diminta bermasker. Akibatnya–"
"Apa akibatnya?" sela-ku cepat.
"Akibatnya pedagang masker ambil kesempatan dalam kesusahan orang banyak. Mereka simpan masker itu–ditimbun istilahnya–dan saat sudah langka baru mereka jual dan harganya bisa sampai 10 kali lipat dari yang biasanya. Meraup untung sebesar-besarnya!"
"Sepuluh kali lipat? itu setan apa orang?" Emosi aku mendengarnya.
"Yang punya uang tidak masalah untuk membeli dengan harga berapapun, yang tidak cukup uangnya tentu jadi terpuruk, menderita. Bahkan, mereka jadi tidak peduli lagi dengan keselamatannya sendiri, nekat tidak bermasker. Ajaibnya, orang susah ini pula yang banyak terhindar dari virus itu. Daya tahan tubuh mereka lebih kuat dari kebanyakan orang yang ber-uang tadi."
Aku menyulut rokok yang dari tadi kumainkan dengan jemariku. Penjelasan Bukit Hijau tadi menurutku terlalu naif.
"Aku tak setuju dengan itu! Wak Luta termasuk orang susah, tapi kena juga. Kesimpulanmu mengada-ada!" sergahku.
"Kan kubilang kebanyakan, Brad, bukan semuanya. Wak Luta itu kurang beruntung saja atau mungkin mereka tidak menjalankan prokes 3M pas virusnya itu ada."
"Memangnya kami bisa tau pas virus itu ada? ‘ngawur’ saja kau ini!" Entah kenapa aku jadi kesal kepadanya.
"Kalian takkan bisa tau karena itu virus, sangat kecil ukurannya."
Sengaja aku mendiamkan Bukit Hijau biar ia tahu kekesalanku. Dalam-dalam "kutarik' rokok putih ini, menghembuskan asapnya sampai berdesis menembus kegelapan.
"Jadi Brad–"
"Apa lagi?!" bentak-ku.
"Sekarang masker jadi kebutuhan pokok, begitu juga dengan cairan ‘disinfektan’."
"Terus?" tanyaku sedikit kasihan kepadanya.
"Karena sempat langka, digenjotlah produksi masker itu, mulai dari yang berbahan kain–yang lebih ekonomis, bisa dicuci–sampai dengan yang model robot."
"Robot?" Suaraku meninggi dengan sinisnya.
"Iya, yang ‘super’ aman, yang satu buah harganya jutaan rupiah," Bukit Hijau menggebu-gebu, "tapi belakangan yang model satu lapis kain; scuba, ternyata tidak aman, padahal sudah banyak diproduksi dan terjual."
"Mereka apa-kan jadinya?"
"Tetap dipakai, tapi 2 masker. Heran, dari awal mereka sudah tahu itu virus, tapi yang diproduksi malah masker untuk debu!" ujarnya sinis.
"Konyol itu namanya. Kenapa tak ada yang berpikir soal itu, ya?"
"Banyak yang memikirkannya, tapi tak ada yang mau bertindak. Semua diam. Mereka tertipu oleh pepatah: diam itu emas!"
"Kau ini .... "
Sekonyong-konyong ia datang, langsung berlari kencang, hujan yang kemarin kudiamkan sejadi-jadinya.
"Apa yang kalian bicarakan, Kawan?"
Aku membuang muka dan terus berasap. Rasa muak masih ‘mengompori’ku.
"Tak bisa kah kau datang pelan-pelan?" tanya Bukit Hijau.
"Bisa saja, tapi bukan saat ini," dia semakin mendekati kami berdua, "cerita apa tadi?"
"Covid-19," sahut Bukit Hijau.
"Oh, soal pandemi itu rupanya." '
Kau tahu juga?"
"Tentulah, semua tempat yang kudatangi sering membicarakannya, termasuk di Kutub Utara dan di Kutub Selatan," jelasnya dengan rasa bangga.
"Sudah sampai ke Arktika dan Antartika?"