BRAD

KH_Marpa
Chapter #5

"Namanya JUNI"

Kerumunan orang bermasker di Balai Desa Damai sangat menarik perhatianku. Mereka membentuk kelompok yang menyebar di sekitar pendopo dan pengeras suara sesekali terdengar memberikan pengumuman.           

"Ada apa? kenapa ramai sekali, Pak?" tanyaku kepada penunggu kios ini.           

"Vaksinasi Covid-19, Mas," sahutnya sambil mengambilkan rokok pesananku, "situ sudah vaksin?"           

"Oh, belum, Pak!" seruku sambil merapikan rambut dan menyembunyikannya di balik kerah kemeja.           

"Ikut saja sekalian. Masih buka kok pendaftarannya. Bawa KTP, ‘kan?" Dia menyerahkan uang kembalian.           

"Ada," sahutku gugup, "masih bisa daftar, ‘kan, Pak?"           

"Bisa! cepatlah ke sana," katanya seperti mendesakku.           

"Terima kasih ya, Pak!" Aku berpamitan dan bergegas ke Balai Desa.           

"Bapak, Ibu, tolong prokes tetap dijaga demi keselamatan kita bersama. Jangan berkumpul seperti itu, Pak, Bu. Tolong dijaga jaraknya dan maskernya dipakai dengan benar."           

Pemberitahuan dari pengeras suara di sana terdengar memelas. Aku yakin itu sudah pemberitahuan yang ke sekian belas kalinya. Wajar Bapak itu jadi putus asa karena orang banyak ini seperti tidak memedulikannya. Mereka masih juga tidak memisahkan diri dan banyak pula yang merokok sambil menurunkan maskernya ke dagu.       

"Hebaaat kalian!" cibirku dalam hati.         

Aku memasuki pendopo yang tampak seperti sedang ada pertemuan warga. Orang-orang yang duduk di kursi sebelah sana, kelihatan lebih tertib dibandingkan dengan mereka yang ada di sekitarku ini–ceritanya tak putus-putus–ada yang berdiri dan ada yang duduk pada kursi dengan jarak yang sesuka hatinya.           

“Maaf, Pak. Kalau mau mendaftar bagaimana?” tanyaku pada bapak di sebelah kanan ini. 

“Di sana, Mas. Ambil nomor antrean dulu. Sudah ada fotokopi KTP-nya, ‘kan?”           

“Belum. Di mana fotokopi terdekat dari sini, Pak?           

“Di sebelah Langganan … fotokopi saja 5 lembar, biar aman,” sarannya dengan ramah.    

Setelah berterima kasih, aku segera ke Kedai Kopi Langganan. Keraguan terbersit di benakku mengingat kondisi yang kepepet ini. Dengan berlari kecil akhirnya aku tiba di toko buku–pas di samping Langganan–dan memesan sepuluh lembar fotokopi KTP biar benar-benar aman lalu dengan berlari kecil juga, aku kembali ke Balai Desa.           

Di sana ada empat meja–terpisah cukup jauh–yang ditempati oleh petugas kesehatan yang memakai APD[1]. Sepertinya, meja yang paling ujung adalah tempat pendaftaran. Dengan hati-hati aku melangkah di antara punggung-punggung ini untuk menuju ke sana.           

"Siang, Bu. Mau mendaftar," sapaku dengan ragu.           

Perempuan berperawakan sedang ini mendongak.           

"Siang kali datangnya, Mas," sindirnya lembut, "sudah mau tutup, lo," sambungnya sambil menyentuh pelindung wajahnya.           

"Ada kerjaan tadi, Bu, maklumlah. Masih bisa, ‘kan?" pintaku nyaris memelas.           

Dia tertawa pelan, "Ya sudah, kebetulan Mas peserta yang terakhir–”           

“Uh, untunglah!” batinku senang.           

“Silahkan duduk. Bawa KTP asli sama fotokopi-annya, ‘kan?" ujarnya jadi ramah.           

"Ini, Bu." Aku menyerahkan KTP dan satu lembar copy-annya dengan se-sopan mungkin.

"Mas isi formulir ini dulu. Dengan benar dan lengkap diisi, ya!"           

"Siap, Bu.” Aku menerima kertas ini dengan senang hati, tapi aku sudah lama kali tidak menulis.           

"Maaf, Bu, boleh saya pinjam pulpennya?" Aku mulai gugup.           

"Lo! tidak bawa pulpen, ya?"           

"Tak punya, Bu, maklumkan lah, maaf," sahutku pelan.           

"Mas ini lucu," katanya seperti berbisik, "ini, pakailah."           

Saking gugupnya, tak sengaja aku menyentuh telapak tangan kanannya yang dibungkus sarung tangan karet, membuat aku jadi merasa sangat bersalah.           

"Ma–af … maaf sekali, Bu," kataku terbata-bata.           

"Cepatlah isi ya, Mas," balasnya mengabaikan kata maaf-ku. Entah kenapa, aku yakin dia tersenyum di balik maskernya itu.           

"Terima kasih, Bu!"           

Aku berusaha secepatnya mengisi formulir ini, sebelum ibu yang di depanku ini habis kesabarannya. Bagaimanapun, dia adalah manusia biasa sepertiku.           

"Maaf, tanggal berapa sekarang ya, Bu?" tanyaku malu-malu.           

"Tanggal tiga puluh," jawabnya pelan tanpa melihatku.           

"Bulan, Bu?" tanyaku menahan napas. Wajahku pasti sudah berubah warna, "untung ada masker," pikirku.

Perempuan ini tertegun memandangku.           

"Mas tidak tahu bulan berapa sekarang?" Kedua alis matanya terangkat.           

Aku menggeleng tiga kali, "Memang tidak tahu, Bu, maaf," jawabku lirih, malu didengar oleh orang lain.           

Dia berpikir sejenak sambil terus memandangku seperti sedang mencari bukti.           

"Mas tinggal di mana?" tanyanya berusaha sabar.           

"Di Pulau Apung, sendirian, Bu," jawabku polos. Aku berusaha meyakinkannya bahwa aku memang tidak tahu bulan berapa.          

"Tapi KTP ini bilang di Kota Dua," ujarnya sambil memandang KTP-ku yang di meja ini.

"Dulu iya, Bu,"sahutku bergetar, "tapi sekarang di Pulau Apung …. "           

Kami berdua sama-sama terdiam sejenak.           

"Sekarang bulan Juli tahun 2021 ya, Mas," katanya mengalah, entah apa dalam pikirannya terhadapku.           

"Makasih, Bu," jawabku risau.           

Keinginanku jadi melemah karena formulir ini, tapi aku mengisinya juga.           

"Nomor telepon/’hand phone’?" Aku membacanya sambil berkeringat dingin.           

"Mati lalat ijo!" batinku lemas, "habislah!"           

"Kalau tidak diisi nomor telepon, boleh, Bu? tanyaku ragu-ragu menahan malu yang berikutnya.

Dia berhenti menulis lalu katanya, "Isi saja, Mas. Itu penting untuk pendataan di sistem on line dan untuk berkomunikasi dengan Mas."           

Tak sengaja, sekilas mata kami bertemu. Barangkali sama-sama sedang bertanya dalam hati.           

"Tenang saja, tidak akan disalahgunakan kok," sambungnya lalu kembali menulis.           

"Bukan begitu, Bu–"           

"Jadi?" Dia terus menulis dengan menunduk.           

"Ng … saya memang tak punya ‘hand phone’, Bu," kataku pasrah dan jadi lega.           

Dia menatapku dengan kaget.

"Serius?"           

"Sumpah, Bu!" jawabku sambil mengangkat tangan kanan.           

Dia meletakkan pulpennya sambil berkata, "Ya sudah, Mas. Pakai nomor telepon orang terdekat saja." Suaranya terdengar sumbang.           

Perlahan aku berdiri, berpikir sejenak lalu kataku, "Maaf, Bu, tolong KTP saya."           

Dia mengambilnya dengan cepat, "Ini," ujarnya sambil menatapku.           

"Terima kasih," kataku menerimanya dengan sangat hati-hati dan tak berani memandangnya, "saya mundur saja, Bu," sambungku lirih.           

"Lo, kenapa, Mas?" tanyanya kaget.           

"Saya tak punya siapa-siapa di sini, jadi tak ada yang bisa dihubungi. Terima kasih ya, Bu," ujarku sedikit ketus.           

Wanita ini benar-benar menatapku sekarang dan aku memberanikan diri membalasnya. Sepertinya dia masih muda, tersirat dari model rambutnya yang ke-kini-an.           

"Maaf, saya sudah mengganggu waktu Ibu," sambungku pelan lalu berbalik.           

"Mas–" Suaranya menahanku.           

"Ya, Bu," aku menatapnya dalam-dalam, menyelami tatapannya.           

"Lengkapi saja dulu semuanya, ya!" Lalu dia terdiam sebentar. Suara hembusan napasnya bisa kudengar, “supaya bisa ikut gelombang berikutnya." Akhirnya dia bicara.           

"Baik, Bu. Terima kasih banyak."           

Sebelum beranjak, aku sempatkan membaca name tag wanita ini.          

"Juni. S," batinku.           

"Juni?" bisikku sambil berlalu tanpa menoleh ke belakang lagi.           

Namanya langsung ‘tertancap’ dalam ingatanku.

--000--           

Betapa senangnya hatiku melewati jalan menurun dari Telaga Sunyi senja ini. Aku membopongnya sambil bersiul menirukan suara burung yang kulihat tadi pagi.           

"Cepatlah sampai," batinku.           

Ia bersuara waktu aku membuka pintu rumah, memaksaku agar menurunkannya ke lantai papan dan sekarang ia sedang berlari-lari kecil.           

"Bagaimana vaksinasi tadi, Kawan?" Penjuru Barat langsung menyapa saat aku membuka Jendela Ayun Barat.           

"Batal. Aku tak punya nomor telepon," sahutku.           

"Kau masih punya uang untuk beli ponsel, ‘kan?"           

"Masih, tapi aku takkan mau membelinya!"           

Aku menangkapnya pelan-pelan, "Lucu kau", suaraku membuatnya melompat.           

Lihat selengkapnya