BRAD

KH_Marpa
Chapter #3

"Baru kutahu ada Pandemi"

Hujan memanggilku di akhir senja ini, tapi aku berpura-pura tak mendengarnya sekalipun bahana terasa menyapu padang ilalang yang setinggi pinggang di halaman depan rumah. Ia lebih sering datang akhir-akhir ini dan aku memang menginginkannya demi tanaman-tanaman di kebun, tapi takkan mau berbicara dengannya.

"Teruskanlah sampai kau bosan, sesukamu sampai kau lelah, tapi aku takkan menyahutmu!" batinku berusaha mengusirnya.           

Jingga masih terlihat memeluk awan yang berkejaran dengan angin. Entah siapa yang mengejar, entah siapa yang dikejar, tak jelas polanya. Biar sajalah begitu, asal mereka tak mengusik guntur, tak apalah.           

"Aku memanggil-mu dari tadi, kenapa kau diam?" tanyanya tidak tahu malu.

Aku bersikukuh diam, namun mataku tertuju kepadanya. Memang tidak tajam, tapi bisa membuatnya terdiam. Di antara rintiknya yang melemah, kuraih selendang coklat tua berjumbai benang warna keemasan. Sekali sentakan lalu bergetarlah lantai papan rumah panggung ini.           

"Ayolah, kenapa kau ini?" Masih juga ia merasa berkuasa.           

Sambil berdiri, melilitlah selendang di leherku, jumbainya jatuh di dada. Aku lewati pintu, menapak di anak tangga ke-7 lalu ia sekarang tepat di depan hidungku.           

"Kau pikir bisa pergi begitu saja?" Ia mulai bergemuruh sekarang.           

“Sahut dulu panggilanku, baru kau bisa pergi!" teriaknya semakin kesal.        

Tak kuhiraukan dalam diamku. Aku melangkah perlahan, membiarkannya menyentuhku berlapis-lapis dan terus maju di jalan setapak yang licin ini.           

"Baiklah, kau boleh pergi sekarang," katanya untuk yang terakhir kali.           

Ia menyerah karena diamku!           

Menyusuri jalan setapak bertanah kecoklatan yang licin ini, terasa seperti memanggil masa lalu yang sebenarnya tak pernah berlalu. Ia terus ada menemani masa kini, sampai pada waktunya masa depan datang dan membawa mereka pulang ke ‘rumah’ kala.

Sebentar lagi gelap mau turun, sedangkan hujan semakin pergi menjauh dariku. Aku suka rasa sejuk yang seperti ini; yang tak sampai membuatku ‘bergetar’. Barisan bukit hijau yang memanjang di sebelah kanan sana masih terus memandangku sedari tadi. Sebenarnya ia tidak begitu tinggi, tapi ia-lah yang tertinggi di tempat ini.          

"Naiklah ke sini, ada yang perlu kau lihat nun jauh di sana," ucapnya bergema.           

"Ada apa? tapi ini sudah mau gelap" sahutku mengingatkannya.           

"Cepatlah ke sini!" perintahnya kepadaku.

Kedengarannya begitu penting dan mendesak, sehingga aku berlari mencapai punggung-nya. Masih terengah-engah, kudengar ia berkata, "Kau lihat lampu warna merah yang berkelip-kelip di sana?"           

"Banyak sekali, ada apa di sana? itu ’kan Kota Dua?" tanyaku heran.           

"Kalian sedang berjuang menghadapi pandemi, wabah yang melanda seluruh muka bumi saat ini. Itu lampu mobil ambulans," katanya datar.           

"Seluruh muka bumi? mengerikan sekali!" bergidik aku mendengarnya.            

“Kasihan sekali mereka," sambung-nya lagi.           

"Kau yakin menimpa seluruh muka bumi?" tanyaku seakan tak percaya.           

"Ya, Angin Empat Penjuru yang mengabarkannya. Bermula dari Belahan Utara sebelah timur, yang manusianya terbanyak di muka bumi lalu menyebar dengan cepat melalui darat, laut, dan udara karena wabah itu hanya perlu keluar dari si-sakit untuk menjelajahi muka bumi," tuturnya dengan suara yang ditekan.           

Merinding aku mendengarnya. Semudah itu-kah maut berkelana menjalankan tugasnya?  

"Wabah apa itu?" tanyaku sambil terus memandang ke sana.           

"Novel Coronavirus, nCovid-19, menyerang saluran pernapasan hingga ke paru-paru kalian, bisa berakhir dengan maut karena membuat kalian gagal bernapas," jelasnya dengan dingin.           

Kelap-kelip lampu ambulans nun jauh di sana semakin banyak terlihat. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya menurut ingatanku.          

"Apa obatnya sudah ditemukan?" tanyaku sambil memegang batang pohon miliknya ini.  

"Kalian masih berusaha menemukannya, tapi untungnya dengan obat-obatan yang ada, jauh lebih banyak yang bisa disembuhkan daripada yang kehilangan nyawa."           

"Oh, syukurlah!" seruku sedikit lega.           

Gelap sudah semakin tebal, tapi ada cahaya rembulan yang cukup terang untuk menuntunku pulang ke rumah panggung.           

"Aku pulang dulu. Beritahu aku kalau ada kabar tentang wabah itu, ya!" kataku berpamitan.

"Pulanglah! perhatikan langkahmu, jalan itu masih licin, Brad!" jawabnya mengguruiku. Tertawa aku mendengarnya, dikiranya baru kemarin aku ada di sini!           

Kemudian aku turun melalui jalan yang lain sambil sesekali memegang pohonnya untuk menjaga keseimbanganku. Jarak ke rumah masih beberapa langkah lagi, namun kupilih untuk berlari ke padanya sebab Hujan sepertinya hendak menerorku lagi. Cara ini membuatku lebih cepat sampai ke rumah panggung mendahuluinya.

Uh! aman!” seruku begitu menaiki tangga, tapi apa yang baru kusaksikan tadi mulai mengganggu pikiranku.

--000--           

Aku tak pernah bosan memandangi nyala api yang menjilat kayu bakar, bau asapnya pun aku suka, bahkan bisa menidurkanku. Ini sebabnya aku menempatkan perapian di samping tempatku tidur. Perapian ini letaknya selangkah saja dari Jendela Ayun Timur, bersandar di pojok sebelah kiri, tempatku mengisi waktu selama di rumah dengan merenung, menyanyi, dan memasak.           

"Besok panen cabai … terus ke Pasar Selasa, belanja keperluan seminggu dan makan mi di Warung Pojok," aku tersenyum membayangkannya.           

Selalu ada gairah tersendiri menjelang hari pekan karena aku akan bertemu dengan banyak orang yang tak kukenal di sana. Bagaimanapun sendirinya, aku masih butuh bertemu dengan sesama walaupun hanya sekadar memandang.           

Lihat selengkapnya