BRAD

KH_Marpa
Chapter #6

"ADI Membawa Mereka"

Ada empat pelantar di sepanjang sisi laut yang berhadapan dengan Pulau Apung dan aku belum pernah mendatangi Pelantar Tiga dan Pelantar Empat. Si-Juni-lah yang membuatku datang ke Pelantar Satu dan berkenalan dengan keluarga Pak Juntak yang ramah dan bersahabat itu.           

Sampan berwarna coklat tua sedang merapat ke pelantar waktu kami mau bertolak ke Pulau Apung. Pendayungnya seperti kukenal.           

"Adi!" seruku saat memutar haluan. Anak muda itu berhenti mendayung.           

"Kau Adi, ‘kan?" tanyaku sambil menyejajarkan sampan. Dia tampak bingung melihatku dan masih diam.           

"Abang ini, Dik!" sambungku sambil menurunkan masker.           

"Alaaa, kupikir tadi siapa, Bang!" serunya senang, "mau pulang ya, Bang?"           

"Iya. Ada urusan tadi sebentar." Si-Juni mulai menyalak ke arah Adi.           

"Anjing Abang ini?" Dia tertarik melihat si-Juni yang kecil, namun agresif.           

"Iyalah, makanya di sampan Abang," sahutku tertawa, “dari mana? siang bolong kok melaut?”

“Dari rumah kawan di Pelantar Tiga. Boleh ikut ke rumah Abang, kah?" tanyanya berharap, "sudah lama aku tak ke Pulau Apung, Bang!"           

Aku masih tertawa. Sepertinya ingin sekali dia mengikutiku.           

"Terserah, Di. Kau tak dicari nanti?" ujarku mengingatkannya.          

"Tidaklah, Bang. Anak muda kok dicari!"           

"Ayolah kalau begitu," ajakku sambil mendayung.           

“Siap, Bang!” serunya dengan senang hati mengikutiku.

--000--           

Adi masih berendam di air Telaga Sunyi waktu aku memanggil si-Juni. Dari tadi ia kulepaskan agar bebas menjelajahi area ini dan itu menyenangkannya. Pengalaman pertama kali mandi di sini tadi pagi, tampaknya belum memuaskannya.           

"Sini, jangan jauh-jauh!" seruku sambil berdiri dan menyalakan rokok. Si-Juni malah berlari menjauhiku sambil menyalak, dikiranya kuajak bermain.           

"Enak sekali mandi di sini, Bang!" seru Adi dari belakangku.           

"Puaskan kalau begitu. Masih banyak waktu, Di!" sahutku sambil menyusul si-Juni.        

"Juni, ke sini kau! Ngapain di sana?" teriakku karena mulai bosan menunggunya.           

"Namanya Juni, Bang?" tanya Adi yang berada di sampingku. Dia sudah selesai mandi ternyata.

"Iya!" sahutku sambil menoleh.           

"Kayak nama orang," katanya seperti keberatan.           

"Semua nama piaraan, asalnya dari nama orang, Di!"           

"Juni itu siapa, Bang?" tanyanya lugu.           

"Ya, nama dia ini!" seruku sambil mengangkat si-Juni yang baru kembali.           

Adi tertawa seperti ada sesuatu yang tak mengena.

"Kakakku namanya Juni juga lo, Bang?" ujarnya lebih lugu lagi, "jadi aku panggil dia kakak-lah, kan?" sambungnya tertawa-tawa.           

"Tak usah. Panggil Mopi saja!" jawabku tertawa juga.

"Dia pasti sedang bercanda," pikirku sambil mengajaknya ke rumah panggung.           

Kami berjalan bersisian sambil bercerita, sedangkan si-Juni sering meronta di pelukanku. Sepertinya ia tidak suka diperlakukan seperti ‘anak kecil’!           

“Nah, bermainlah!” ujarku sambil menurunkannya.           

Segera si-Juni berlari mondar-mandir di dekat kami sambil menyalak-nyalak. Barangkali ia sedang ‘menggambar’ lokasi kami ini dalam memorinya. Ia lincah, periang dan mulai mengerti apa yang kukatakan kepadanya, membuatku mulai terhibur perlahan-lahan.           

"Jadi, Abang yang mengerjakan semuanya ini?" tanya Adi seakan tak percaya, saat kami sampai di depan rumah.           

"Iya, selama setahun ini."           

"Siapa itu, Brad?" tanya Bukit Hijau.           

"Kenalan baru, anak Desa Damai," bisikku, "dia minta ikut tadi."           

"Indah sekali ini, Bang!" sambung Adi kagum, "aku belum pernah sampai ke sini, paling cuma sampai ke Telaga, mandi-mandi terus pulang." Dia berjalan ke sisi timur dan berdecak sendiri sambil memandang kebun kecilku.           

"Kau mau naik ke rumah?" ajakku ramah.           

"Boleh, Bang!" Dia segera mengikutiku.           

Adi sungguh menikmati apa yang dilihatnya tadi, sampai-sampai dia masih menoleh ke belakang waktu kami menaiki tangga rumah.           

"Mau minum kopi?" tawarku sambil menurunkan si-Juni.           

"Mau, Bang," sahutnya mantap.           

"Tolong buka semua jendela itu, Di," pintaku sambil menyalakan api.           

"Abang ingat waktu kita bertemu dulu?" tanyanya setelah Jendela Ayun Barat terbuka, "yang Abang bilang tinggal di Pulau Apung. Kukira Abang bercanda lo?" sambungnya.           

Aku tersenyum, "Boleh lepas masker, kan?"           

"Abang saja, tak boleh dua-duanya, Bang. Tak aman!" sahutnya yakin.           

Salut aku melihat disiplin prokes-nya anak muda ini.           

"Dari dulu, pulau kecil ini tak berpenghuni, Bang. Kalau bukan karena telaga itu, mungkin tak ada orang yang mau berkunjung ke sini," kata Adi lagi.           

"Brad .... " Bukit Hijau memanggilku, "aku berani bertaruh denganmu, setelah anak muda ini, akan ada lagi orang yang berkunjung ke tempatmu ini." 

"Tentu saja, Bukit Hijau," batinku membenarkan. Wajah Sam, Jum, Mal, Zi terlintas di benakku.           

"Bukan di antara mereka, Kawan!" serunya keras, "orang yang akan datang itu bisa membuatmu keluar dari Pulau Apung ini."           

Aku terdiam sambil menunduk.           

"Kenapa, Bang?" tanya Adi menatapku. Lumayan bagus perhatiannya.          

"Tak ada, Di," jawabku cepat, "cuma tak sabar mau mengopi saja," lanjutku menenangkannya.

Kami menyeruput kopi yang masih ber-'asap' ini dan sama-sama berdecak karena panasnya.  

"Sebelum ke sini, Abang tinggal di mana?"           

"Di Kota Dua. Abang teman baiknya keponakan almarhum Wak Luta."           

"Iya, kami terkejut mendengar berita Wak Luta itu, Bang," katanya pelan, "kakak bilang, terlambat dibawa ke rumah sakit."           

"Kakak?" pikirku tertarik.           

“Kenapa kau buka pintu Pulau Apung ini, Brad? jadi ada jalannya bagi mereka–”          

“Kau menakut-nakutiku saja, ‘kan?” Aku berharap Bukit Hijau meng-iya-kan.           

“Kita lihat saja nanti … harusnya kau berhati-hati soal–”           

"Teman Abang itu, keponakan Wak Luta yang mana?" sambung Adi sambil menyentuh si-Juni yang melintas di depannya.           

"Sam namanya."           

"Oh, laki-laki rupanya. Kukira perempuan, Bang. Kak Ita pun keponakan Wak Luta, teman sekantor Kak Juni. Sering juga dia main ke rumah kami," tuturnya panjang.           

Glek! "Apa memang dia?" batinku berdebar-debar. Aku berusaha tidak membatin panjang karena Bukit Hijau pasti sedang mengawasiku.           

"Kupastikan apa tidak, ya?" pikirku ragu-ragu.           

"Pastikan saja, Brad, biar kau puas," bisik Bukit Hijau.           

"Berani juga Abang sendirian di sini, ya!" kata Adi mengagumi.           

"Namanya petualang, Di!" seruku lalu menyeruput lagi, "kau masih sekolah, kah?"           

"Baru tamat SMA, Bang. Rencananya mau lanjut kuliah." Dia memandang perapian.       

"Ke mana?" tanyaku sambil menyalakan rokok.           

"Ke Kota Tujuh saja, biar dekat sama keluarga," sahutnya meyakinkan.           

"Baguslah!" Aku terkesan dengan alasannya tadi.           

"Baiklah, Bang. Pulanglah aku dulu, ya!" pintanya sambil bangkit.           

"Ayo, Abang antar," ujarku tulus seraya ke perapian.           

"Ah, tidak usahlah, Bang. Dekat saja kok ke pantai."           

"Tak apa, Abang pun sekalian mau ke pantai juga," kataku beralasan, “mau ambil kayu bakar," sambungku sambil mengambil golok yang terselip di celah dinding perapian.           

Si-Juni pun mengikuti kami dengan menyalak gembira. Ia mulai bisa melewati tangga rumah yang terbuat dari kayu bulat ini.           

"Hebat, Jun!" pujiku sambil menutup pintu.           

Kemudian kami berjalan santai menuju ke pantai, berpisah dengan banyak lambaian tangan dan teriakan. Sikap Adi membuatku terkesan untuk yang kedua kalinya. Dia tampak begitu dewasa dan ‘berani’ begitu akrabnya denganku, padahal kami baru dua kali bertemu.           

“Kenapa Bukit Hijau menyalahkanku untuk orang baik seperti si Adi?” pikirku.           

Di tengah jalan pulang, aku teringat pada secuil cerita tentang kakaknya–bernama Juni juga–yang tadi sempat membuatku ingin tahu lebih jauh, tapi sesuatu di dalam hati melarangku. Dia tidak mau aku mencari. Dia hanya mau aku menunggu sampai saatnya tiba dengan sendirinya!

--000--           

"Apa yang menyusahkanmu, Kawan?" tanya Hujan yang datang pelan-pelan malam ini.

Aku sedang berbaring sambil memandang atap rumbia dalam keremangan, sedangkan si-Juni sudah dari tadi terdiam di tempatnya.           

"Baiklah, aku mengaku salah," katanya lagi.           

"Kau mendiamkannya karena berita itukah, Brad?"           

"Benar, Bukit Hijau," sahutku bangkit, "aku menyesal telah bercerita kepadanya."           

"Tapi maksudku baik–"           

"Hush! Diam kau dulu!" bentak Bukit Hijau, "yang menentukan bukanlah maksud, tapi isi kesepakatan kalian."           

Hujan menjadi deras dan rasa dingin yang dibawanya berlarian menembus celah dinding papan. Gerakanku menuju ke perapian, membuat si-Juni membuka matanya.

"Tak apa, tidur saja," ujarku membujuknya.           

"Kau maafkanlah ia, biar selesai masalah kalian, Brad," pinta Bukit Hijau.           

"Ya sudah," bisikku sambil menghembus bara merah ini. Asap seketika mengepul dan aku menikmati aromanya.           

Ketika api mulai membesar, kudengar ia berkata, “Takkan terjadi lagi, Kawan. Terima kasih!”

Aku mendiamkannya dan berharap Hujan memegang kata-katanya yang barusan tadi.

--000--           

Saat itu masih pagi dan aku tengah memeriksa tanaman Cabai Rawit Setan yang putik buahnya sudah bermunculan. Aku sudah tahu kalau dia akan datang karena langit memang terlihat berawan abu-abu gelap, tapi tanaman itu terus menahanku di kebun.           

Aku menikmati berinteraksi dengan mereka dan di dalam hati merasa senang, bangga sebab sebelumnya aku tidak pernah bercocok tanam dan ternyata tanamanku tumbuh subur, bahkan akan berbuah. Indah dipandang mata.           

Pada awalnya di sini, aku membawa setangkup kesedihan, namun hatiku mulai terhibur ketika bibit-bibit cabai tumbuh dengan 'sehat'nya di samping kamar mandi sana, padahal aku cuma sekadar menabur biji dari dua buah cabai rawit setan yang tersisa di para-para. Tak ada perhatian, apalagi perawatan khusus!           

"Bisa tumbuh ternyata", kataku sambil memerhatikannya satu per satu.   

Setelah aku memindahkannya ke halaman di sebelah timur, perhatian semakin kucurahkan. Bibit tambahannya kusiapkan untuk mencapai jumlah tujuh puluh pohon. Bersamaan dengan itu, bibit tomat kusemai juga untuk mendapatkan tujuh puluh pohon. Dengan senang hati aku merawatnya berkali-kali dalam sehari, yang membuat waktu tak terasa cepat berlalu.           

Waktu Wak Luta berkunjung pada hari ke sepuluh aku di sini–dengan membawa peralatan berkebun yang kupesan, seperti yang disarankan beliau–barulah aku tahu memotong pucuk tanaman cabai agar kelak pohonnya rimbun dan berbuah lebat; menggunakan air bekas cucian beras; menggunakan pupuk daun dan buah; serta menggunakan pestisida.           

Lalu ide gila itu muncul: aku menanam ulang tanaman cabai dan tomat-ku dengan formasi diagonal. Kesibukan pun bertambah dan hari-hari pun terasa semakin cepat berlalu. Sementara suasana hati menjadi lebih cerah dalam kesendirian yang semakin menyenangkan.  

"Pagi sekali kau datang, Kawan!" sapaku kepada Hujan.           

"Jangan bertanya padaku, Brad," sahutnya sambil berlari, "tanyalah awan-awan di sana."  

Aku menyingkir dari hamburannya, berjalan cepat memasuki rumah.           

"Aku sudah melihatnya, Kawan," ujarnya bangga tanpa ditanya.           

"Siapa?" tanyaku sambil mengganti air panas dari termos.           

"Dia yang kau ceritakan waktu itu."           

"Dia siapa?" suaraku mulai keras, “aku tidak suka berteka-teki, langsung saja sebut nama!"

"Citra, Kawan!" serunya menang, "aku dengar dia menyebut namamu sambil menangis–"    

"Lancang kau!" Amarahku lepas tak tertahankan. Untung saja dia hujan, kalau manusia, entah sudah jadi apa kubuat!           

Dia terdiam, barangkali sangat ketakutan mendengar suaraku lalu pergi begitu saja.         

"Siapa yang lancang, Brad?" Bukit Hijau mengejutkanku.           

"Hujan si-Kurang Ajar itu!" seruku masih panas.           

"Apa yang dibuatnya, Kawan?" ujarnya dengan hati-hati.           

Lalu aku diam–terus diam–mulai dari memasuki malam, sampai pagi datang menenangkanku. Hari itu baru kurasakan, betapa menderitanya dalam kesendirian dan kebisuan yang kita ciptakan sendiri!

--000--           

Sudah dua kali hari pekan kulewatkan sejak kepergian Wak Luta. Tak ada lagi yang harus kutemui di sana, ditambah pula adanya ancaman virus yang membuatku semakin malas ke luar pulau. Selama persediaan kebutuhan masih aman, kupilih di sini saja untuk mengejar target mencapai patok pembatas yang sudah lama kupancangkan di halaman.           

Bagian yang terberat adalah hamparan ilalang ini. Pernah aku menyalakan api supaya lebih cepat meratakannya, tapi Bukit Hijau menegurku waktu itu.           

"Jangan bakar, Brad! Nanti kau tak bisa mengendalikan api-nya," teriak Bukit Hijau di pagi itu.           

Di antara hamparan ilalang ini tumbuh juga semak dan perdu, memang sedikit saja yang ada di dalam patok pembatas itu, tapi yang lainnya bisa tersapu api, jika angin berlari ke arah mereka.           

"Memang pas sekali Wak Luta menentukan lokasi rumah ini," pikirku baru menyadarinya.

Kontur tanah ini melandai cenderung datar dan bisa ditanami sayur-sayuran dengan suburnya walaupun lapisan tanah hitamnya baru terlihat saat satu kali dicangkul penuh.           

"Mau lanjut lagi, Brad?" sapa Bukit Hijau di pagi ini.           

"Ya, di bagian depan ini," sahutku sambil menuruni tangga rumah. Suara si-Juni terdengar dari arah kandang ayam, tempat teman sepermainannya. Sering aku tertawa melihat tingkah mereka saat bermain.           

"Bagian yang paling menantang, ya?" katanya seperti menantangku.           

"Siapa takut!" seruku cepat.           

"Juuuun!" teriakku sambil melangkah ke arah patok kayu.           

Si-Juni berlari kencang menyusulku lalu melompat-lompat hendak meraih tanganku.      

"Kau bantu dulu aku, ya!" ujarku sambil menyalakan rokok.           

Dia menyalak senang sambil mengibaskan ekornya. Tubuhnya sudah berkembang lebih cepat dari yang kusangka, membuatnya tampak gagah dan berwibawa, si-Jantan Berbelang Dua! Jelas sekali si-Juni bahagia di sini bersama kami.           

"Kau jalan dari sini ke patok sana. Periksa dulu di situ, ya!" pintaku dengan mengarahkan tangan ke tanah. Segera Juni melakukan yang kupinta.           

"Pintar, kau Jun!" bisikku bangga.           

"Mau ‘ngapain’, Brad?" Bukit Hijau kepo lagi.           

"Kubuat saja pembatas dengan semak-semak di sana, terus kubakar nanti yang sebelah sini," kataku mantap.           

Bukit Hijau tertawa, "Kenapa tidak begitu dari dulu?"           

"Habis, waktu kau larang dulu, tak sempat lagi aku berpikir!" Aku membela diri meskipun salah.           

"Baik, mainkanlah!" katanya lalu diam.           

Aku menyabit lalang dengan semangatnya, membentuk pembatas selebar tongkat kayu yang kujadikan sebagai mal. Sisi ke arah Telaga Sunyi ini mulai membentuk lajur, memang agak mencong, tapi cukuplah begitu.           

"Sedikit lagi," pikirku sambil memandang patok di depanku. Si-Juni masih terus mengawalku dengan hebohnya: menyalak, melompat-lompat, berlari-lari, dan mengibaskan ekornya.           

"Wuw, siap satu," pikirku sambil mengibaskan lalang yang menempel di lengan kanan.    

"Kita selesaikan dulu semua sisi, ya, Jun!" kataku, "baru habis itu kita sarapan." Si-Juni setuju lalu berlari ke patok berikutnya sambil menyalak.           

"Untung ada kau, Jun," pikirku, "kalau sendirian, ‘bengkok’ juga kurasa membereskan ini!"

Ternyata banyak daun dan rumput kering yang tersembunyi di antara lalang itu, membuat api terus membesar dan menghanguskan dengan cepat, dibantu oleh angin yang sedikit kencang.           

Matahari belum sampai di atas kepalaku dan sinarnya terhalang oleh mendung yang berpindah-pindah sejak tadi pagi. Aku sedang berdiri di ujung lajur yang kubuat tadi, mengikuti ke mana api yang membesar dibawa angin. Si-Juni terus menyalak sambil mengawalku. Kali ini aku ragu, apakah dia sedang senang atau sedang takut karena api yang berkeritik itu.           

"Baaaang!" Sayup-sayup terdengar suara mengejutkanku dari arah Telaga Sunyi.           

"Oi, Bang!" Terdengar lagi semakin jelas.           

"Siapa itu?" pikirku sambil berpindah ke sebelah kanan. Kepulan asap ini menghalangi pandanganku. Si-Juni menyalak semakin keras dan berlari ke arah datangnya suara tadi.           

"Bang, Brad!" Suaranya semakin mendekat.           

"Adi?" pikirku mengenali suaranya, "untuk apa dia ke sini?"           

Sambil membawa tongkat kayu ini, aku mempercepat langkah.           

"Ha? Ramai sekali?" batinku saat melihat ada empat orang di sana.           

"Apa kubilang, Brad!" Bukit Hijau sungguh membuatku melompat.           

"Tenang kau dulu, Kawan!" sergahku, "bersiap saja membantuku!"           

Kulihat si-Juni sudah bersama mereka dan tidak lagi menyalak seheboh tadi.           

Di sana ada tiga perempuan bersama Adi. Empat orang itu semuanya bermasker, yang berbaju biru tua lebih tinggi dari yang lainnya, si-Baju Kuning dan si-Baju Biru Muda.           

"Tunggu di rumah saja, Di!" teriakku dengan melangkah semakin cepat.           

"Kau tak perlu bantuanku, Brad," sahut Bukit Hijau yakin, "kau bisa menghadapinya."    

"Stand by saja, Kawan!" sahutku mulai merasa gugup.           

Lihat selengkapnya