Kami sudah di pantai waktu pagi masih remang-remang.
Angin cukup kencang memainkan rambutku, sampai aku agak repot karena bolak-balik menjauhkannya dari wajah yang sudah lama tak terurus ini, kecuali soal kumis dan jenggot. Klimis membuatku lebih nyaman.
"Aku cuma sebentar, Jun! Kau jaga punya kita, ya!" kataku sedikit terharu saat ia merengek. Biasanya aku selalu membawanya, biarpun nanti kutitipkan di rumah Pak Juntak.
Aku urungkan naik ke atas sampan demi mendengar gonggongan yang tak biasanya.
"Janji, sebentaaar saja. Syal ini harus secepatnya kembali pada pemiliknya, Jun," ujarku sambil berjongkok mengelusnya.
"Kau pulang dulu ke rumah." Si-Juni terus menerus menjilati pipiku sambil merengek.
"Kalau kau tak pulang sekarang, tak bisa aku pergi," bujukku geli. Seperti love story saja.
Ia mulai berpindah saat ekornya kutepuk pelan.
"Ayo, pulanglah!"
Ia menjauh sambil sesekali menolehku yang mengawasinya.
"Pulang, Jun," kataku lagi.
Si-Juni mengibaskan ekornya dan berlari ke bawah pohon kelapa yang banyak buahnya itu. Aku pun menuju ke sampan. Saat aku menoleh ke belakang–setelah duduk di sampan–kulihat ia berdiri dengan gagah memandangku dari jauh.
"Sudah, pulanglah!" teriakku sambil memberi isyarat tangan, membuatnya langsung berlari ke dalam.
"Hebat kali kau, si-Jantan Berbelang Dua!" kataku sambil mulai mengayuh.
--000--
Gerimis baru saja turun waktu aku meninggalkan Pelantar Dua. Kulihat mendung semakin menyebar di langit, pertanda hujan bisa saja turun seharian. Hembusan angin yang cukup kencang memaksaku bergegas melewati Pasar Selasa yang sepi agar secepatnya bisa tiba di rumah Wak Luta yang tampak dari sini.
Tas selempang kudekap erat, menjaganya dari rintik gerimis yang semakin rapat. Memang ini terbuat dari bahan kulit sintetis yang tahan air, tapi isi di dalamnya membuatku tak mau ambil risiko, barang berharga soalnya.
"Semoga Jum ada di rumah," harapku ragu.
Baru saja aku berlari, terdengar suara memanggilku dari sebelah kanan.
"Bang Brad!" Sosok laki-laki melambaikan tangan kepadaku di depan kedai kopi.
Aku berhenti sejenak. "Jum?" pikirku sambil memutar arah, "siapa lagi yang mengenalku di sini selain dia?"
"Sini, Bang," kata Jum mengajakku masuk.
"Ah, benar, kan?" pikirku lagi.
"Untung kau melihat Abang, Dik–" kataku senang sambil menyusulnya ke dalam.
"Cuma Abang yang berambut seperti ini," sahutnya tertawa. Dia mengibaskan masker.
"Bisa saja kau, Jum!" ujarku sambil duduk memandang hujan.
"Hampir saja," batinku lega. Aku pun melepaskan masker yang sudah basah ini, lalu mengusap tas selempangku dengan telapak tangan.
Baru pertama kali aku mampir ke kedai kopi yang sederhana ini. Tempatnya tampak bersih, ketiga meja panjangnya dilapisi dengan plastik transparan.
"Kopi susunya dua, Ri!" teriak Jum.
"Cangkir apa gelas, Bang?" tanya anak muda yang tak bermasker itu.
"Gelas lah. Kalau boleh pakai ember, ya ember sekalian. Panjang kayaknya hujan ini, Ri!" katanya bercanda.
Aku pun ikut tertawa bersama anak muda itu.
"Mau ke rumah tadi, ya, Bang?"
"Iya! mau minta tolong menghubungi Ita, Dik," ujarku sambil menyalakan rokok, agak dingin kurasa.
"Kak Ita? kenal Abang, ya?" tanyanya heran.
"Kemarin mereka ke Pulau Apung dibawa si Adi," jelasku perlahan-lahan.
"Adi kak Juni maksud Abang?" Dia semakin heran dengan pergaulanku yang ‘luas tak terduga’.
"Iya! Adi temanmu itu," ujarku sambil membuka tas.
Kopi susu pesanan kami sudah datang. Aromanya terasa sekali.
"Wah! mantap aroma kopi ini, Jum!" pujiku sambil mengaduknya.
"Oh, memang iya, Bang," dukung Jum, "langganan-ku ini," sambungnya dengan bangga.
"Kita telepon sekarang, ya, Bang," katanya lagi sambil mengeluarkan smartphone dari saku baju. Aku mengangguk-angguk karena sedang menikmati kopi susu istimewa ini.
"Bang Brad mau bicara, Kak," ujar Jum sambil mengatur mode speaker di atas meja.
"Bang Brad? serius kau, Jum," kata Ita.
"Halo, Ita. Abang ini, Dik!" ujarku ramah sambil membungkuk ke meja.
"Eh, Bang. Ya, Bang Brad. Ada apa?" sahutnya agak gugup.
"Kemarin ada ketinggalan–"
"Iya, Bang! punya Juni itu," selanya sambil tertawa, "sampai tak bisa tidur dia memikirkan di mana syal kesayangannya itu, Bang!"
"Syal sayangnya?" batinku menduga.
"Syalnya Abang bawa sekarang ini, Ta … mau diantar ke mana, Dik?" Perasaanku jadi tidak nyaman mendengarnya.
"Sebentar, Bang. Juni ada ini … sebentar, ya!"
Sayup-sayup terdengar suara dari sana.
"Nih, Jun!"
"Siapa?"
Suaranya membuatku berdebar.
"Apalah ini!" batinku marah.
"Bicara sajalah!" Terdengar ada yang tertawa.
"Enak saja. Tak tahu siapa, kok disuruh bicara–"
"Sudah, bilang saja halo–"
"Ya, ini Juni."
"Apa kabar, Dik? ini Brad." Suaraku begitu jantannya!
"Bang Brad? sehat, Bang. Abang?" ujarnya riang menyenangkan hatiku.
Hujan semakin deras menghantam atap seng kedai ini.
"Sedang di mana ini, Bang?" sambungnya lagi.
Jum mematikan mode speaker, lalu memberikan smartphone kepadaku.
Terburu-buru kupasangkan masker, "Terima kasih, Jum!" kataku sebelum bertelepon.
"Di kedai kopi dekat rumah Jum, Dik," jelasku, "deras hujannya di sini."
"Di sini pun deras juga, Bang," sahutnya lalu tertawa.
"Syalmu ketinggalan di kebun kemarin."
"Oh! tinggal di sana rupanya, ya, Bang." Dia terdengar lega dan senang.
"Mau diantar ke mana, Juni–"
"Tak usah repot-repot, Bang." Dia menolak dengan cepat.
"Benar dugaanku," pikirku resah.
"Kalau begitu Abang titip sama Jum saja, ya!"
Dia terdiam sebentar.
"Kau membuatnya jadi serba salah, Brad!" Firasat menyalahkanku.
"Abang tidak buru-buru mau pulang, ‘kan?" tanyanya gugup.
"Tidak, Dik. Masih pagi ini …. "
"Maaf ya, Bang. Bisa tunggu di sana sampai hujan reda, Bang?"
"Tidak masalah, Juni," sahutku tertawa, dia pun jadi tertawa.
"Nanti kalau sudah reda, biar kami yang ke sana, ya, Bang!"
Aku terdiam. "Jadi, hujan ini penghalang-nya, ya?" batinku.
"Adik sedang di mana ini?" tanyaku sambil memikirkan rencana tanggap darurat.
"Di puskesmas, Bang," sahutnya pelan.
"Oh. Baiklah, biar hujannya reda dulu kalau begitu."
"Terima kasih, Bang Brad."
"Sama-sama, Dik. Sudah, ya! salam sama Ita, Ciku, dan Adi, ya!"
"Baik, Bang," sahutnya riang.
"Terima kasih banyak, Jum!" kataku sambil mengembalikan smartphone.
Hujan malah semakin deras sekarang, tempiasnya jauh terbawa angin yang kencang sampai masuk ke dalam kedai ini.
"Waduh, kalau begini terus, mana bisa aku pulang?” pikirku risau, "sabar, ya, Jun. Mungkin agak telat nanti aku pulang."
--000--
Aku sudah basah kuyup waktu memasuki halaman puskesmas ini, padahal jaraknya tidak sampai 50 meter dari bangunan ruko tempatku berteduh. Hujannya tak terduga, sebentar rintik-rintik, sebentar lagi deras.
"Permisi, selamat siang Bu," ujarku memberi salam sambil mengetuk pintu. Kurapikan masker yang sudah terasa berat di wajahku ini.
"Cari siapa, Mas?" tanya ibu itu dengan tidak beranjak.
"Saya mau ketemu sama Bu Juni. Ada, Bu?" kataku tetap di luar pintu.
"Mas siapa?" tanyanya lagi penuh selidik.
"Saya Brad, temannya, Bu."