Si-Juni membangunkanku pagi ini. Suaranya berisik sekali memenuhi rumah. Aku menggeliat dan meregangkan badan sejauh-jauhnya.
"Kesiangan kita, Jun," kataku dengan malas.
Ia masih menyalak di dekat kepalaku.
"Hei, kau kenapa?" tanyaku sambil bangkit meraihnya. Badannya terasa berat sekarang membuatku tak kuat lagi membopongnya lama-lama.
"Oh, ini," kataku mulai paham yang dimaksudkannya, "biar tak dikenal orang, Jun! Mulai sekarang aku pun tak memakai topi lagi kalau ke sana."
Juni jadi merengek sekarang, membuatku sadar bahwa ia sungguh memerhatikan diriku.
"Ayo! ke Telaga Sunyi, Jun," kataku waktu membuka jendela ayun, "sudah lama kita tidak berenang di sana, kan?" Si-Juni menyalak satu kali sambil melompat-lompat.
Kemudian kami ke Telaga Sunyi dengan riangnya. Pagi yang cerah ini membuatku merasa nyaman sekali, seperti waktu pertama kali jatuh cinta dulu, ditambah pula dengan kicauan burung yang menyapa kami dengan riang di jalan ini.
Kami berenang sepuasnya, bermain kejar-kejaran sambil berteriak lepas sekeras-kerasnya! Aku yakin, seisi Pulau Apung sedang melongo menyaksikannya karena yang seperti ini memang belum pernah terjadi.
“Wow! apa yang terjadi, Brad? perayaan rambut baru, kah? Tawanya menggema.
“Ya, Bukit Hijau! sayang, kau tak bisa bergabung bersama kami!”
--000--
Alangkah puasnya hatiku menyaksikan kebun sawi yang menghijau ini, tertata rapi dengan tiga bedengan yang bertanah gembur.
"Cantik kalian semua," kataku saat menyiraminya dengan gembor plastik 10 liter ini.
"Cepatlah besar, biar panen kita, ya!" ujarku lagi.
Kalau sedang penyiraman dan penyiangan, waktu tak terasa berlalu dan aku menikmati perjalanan bolak-balik untuk mengambil air sumur yang tak jauh dari kebun ini. Asyik rasanya mondar-mandir di antara ayam-ayam yang berkeliaran ke sana-kemari seperti ini.
"Jun, jangan jauh-jauh!" teriakku, "sebentar lagi kita mau nyari kayu bakar." Dia menyalak satu kali dari arah lahan depan sana.
"Banyak kegiatan hari ini," pikirku bersemangat, apalagi kepala sudah terasa ringan sejak berambut pendek.
"Kau mau tempatku, ya?" Suara Bukit Hijau menyapaku.
"Ya, Kawan. Persediaan kayu sudah mau habis," sahutku ramah.
"Nanti ke utara saja, banyak kayu kering di sana."
"Boleh. Kami belum pernah sampai ke sana," kataku sambil meletakkan gembor di sebelah kandang ayam.
"Sudah perlu ditambah kandang ini," pikirku sambil memeriksanya.
"Hasil karya pertama-ku," sambungku geli melihat kandang ber-kayu bulat yang tak ber-paku ini. Semua pengikatnya terbuat dari tali rafia ala pramuka. Berhari-hari lamanya baru bisa kuselesaikan waktu itu.
"Juuun! ayo!" panggilku setelah mengambil golok dari dalam rumah. Ia berlari-lari dengan senangnya.
"Kita bertualang ke utara, ya, Jun!" kataku dengan menyentuh wajah belang dua-nya dan ia menyalak berkali-kali.
--000--
Aku sedang menyusun kayu bakar di para-para ketika ia berkata, "Boleh kutanyakan sesuatu, Brad?"
"Soal apa, Kawan?" balasku pelan.
"Tapi kau jangan marah, bisakah?" tanyanya ragu.
Aku tersenyum, "Tergantung yang kau tanyakan."
"Kemarin kau bilang dia fotokopi nya Citra,"
"Benar, lalu kenapa?" Rada aneh pertanyaannya barusan.
"Kau tertarik kepadanya, Brad?" tanyanya mulai mencampuri.
"Ya!" sahutku ketus.
"Karena seperti Citra?" selidiknya semakin dalam.
"Tentu bukan, Kawan," jawabku dengan mantap, "aku mulai tertarik padanya waktu dia masih bermasker."
"Pasti kau bercanda–"
"Dengar baik-baik, Kawan," kataku mengancamnya, "kalau aku bercanda, anjingku ini bukan Juni namanya, tapi Belang Dua."
Dia tertawa dan langsung terdiam.
"Sebab itu aku takut," jelasku seraya menyusun tumpukan kayu yang terakhir di para-para, "tapi bukan berarti aku jatuh hati, ya!" sambungku menegaskan.
Bukit Hijau tertawa, "Apa yang kau takutkan?"
"Kau ini bagaimana?" suaraku agak meninggi, "takut dia yang jadi jatuh hati-lah!" sambungku datar.
Ia tertawa dengan panjangnya, tidak menduga jawabanku se-arogan ini.
"Kau tahu alasan sebenarnya aku ke sini, Kawan?" lanjutku memancingnya.
"Manalah mungkin aku tahu, Brad!"
"Dugaan saja, boleh kok," kataku sambil menuangkan air dari ceret berkerak hitam tebal yang tak pernah dicuci.
"Dugaanku–" Ia terdiam sebentar, sepertinya bukan karena tidak tahu, tapi mungkin ia takut menyinggungku, "karena kau patah hati, Brad."
Tersedak aku mendengar kepolosan-nya yang lebih seperti sebuah fitnahan daripada dugaan.
"Salah total, kawanku Bukit Hijau. Aku ke sini karena menghindar dijatuhi hati," kataku sedingin es.
"Maksudmu?"
"Aku tak mau ada lagi perempuan yang menyukai-ku."
"Itu hak asasi perempuan, Brad! kau tak berhak melarangnya," protesnya dengan sengit.
"Benar katamu, sebab itu aku ke sini. Daripada aku mengecewakan, lebih baik aku mengasingkan diri. Apa kau pikir aku tak tersiksa tinggal di sini, Kawan?" tanyaku sambil menyalakan rokok.
"Ya, tapi aku yakin kau sudah mengatasinya, Brad!"
"Tiga hari pertama yang dulu, aku tersiksa, sangat! setelah itu, hambar. Setelah hambar, baru kurasakan manisnya."
Bukit Hijau tertawa riang.
"Kami semuanya menyukai-mu, Brad!"
"Terima kasih, Kawanku!"
"Kegilaanmu sungguh mencengangkan," sambungnya terbahak-bahak.
Aku pun jadi tertawa lepas dengan kerasnya, sampai-sampai si-Juni berlari masuk ke rumah sambil menyalak seperti kesetanan.
"Aman terkendali, Jun! santailah!" kataku sambil mendekapnya.
Ada rasa lega yang begitu dalam menembus jiwaku pada siang ini, membuatku begitu bergairah untuk mewujudkan rencana terbaru terhadap lahan di depan sana.
--000--
Ayunan cangkul menghujam ke tanah kuning yang membentang ini, mengangkat tanah hitam yang bersembunyi di bawahnya. Waktu sudah memasuki senja, tapi tidak menyurutkan semangatku untuk menyelesaikan target yang kusepakati bersama si-Juni tadi siang.
"Sedikit lagi, Jun," kataku memberi laporan terkini.
Dia asyik bermain-main bersama si-Lurik, ayam jago-ku yang tak pernah bertarung. Kehadiran ayam-ayam di lahan ini menyemarakkan suasana karena kami terlihat seperti bergotong-royong. Ada kalanya aku berteriak mengusir mereka karena berada di area cangkulan, atau si-Juni yang turun tangan mengamankannya.
"Ayo, semua pulang ke markas masing-masing!" Teriakku begitu target sudah tercapai. Maklumlah, selama hampir 10 tahun bekerja dulu, aku sudah terbiasa sistematis begini, ada "to do list', ada 'actual action and progress review'.
Ada rasa senang dengan mengakhiri senja seperti ini. Membereskan peralatan, mengarahkan ayam masuk ke kandang dan sekilas memeriksa kebun cabai, tomat dan sawi hijau, baru setelah itu giliranku membersihkan diri. Sungguh aku bersyukur karena ada mereka yang menemani hari-hariku di sini.
--000--
Tiba-tiba aku teringat kepadanya, sahabatku Sam–orang kaya yang baik hati–dia yang mengetahui persis kisah perjalananku hingga sampai di sini. Terngiang percakapan kami yang terakhir waktu aku ke rumah Wak Luta. Tak sedikit-pun kuragukan kepeduliannya kepadaku, walaupun caranya menyampaikan sering kali membuatku jadi menahan napas.
Sam-lah yang membuatku jadi mengenal Citra, temannya sewaktu di SMA. Semula aku menduga Sam tertarik kepadanya karena sering kali aku melihat mereka berduaan di saat waktu luang sepulang dari kantor, padahal Citra bekerja di tempat lain, di sebuah bank swasta terkemuka di Kota Dua.
Ketika hal ‘maha penting’ itu kutanyakan kepada Sam, dia malah terbahak-bahak di depanku dan berterus terang bahwa yang sedang diincarnya adalah Nani, sepupu Citra yang masih kuliah di luar negeri.
Tentu saja aku lega mendengar pengakuannya lalu mengaku kepada Sam akan ketertarikanku kepada Citra. Dia senang mendengarnya, tapi dengan tegas menyatakan tidak bersedia menjadi match maker[1], giliranku yang terbahak-bahak di depannya waktu itu. Singkat cerita, Citra menjadi kekasih-ku dan Sam berkata–.
"Apa yang kau lamunkan, Brad?" tanya Bukit Hijau mengejutkanku.
"Nostalgia, Kawan," sahutku sambil tak berkedip memandang nyala api di hadapanku.
"Oh, maaf kalau begitu."
"Tak apa. Ada berita baru, kah?" tanyaku mulai berkedip.
"Empat Penjuru memintamu supaya ikut vaksinasi," ujarnya datar.
"Lupakan saja itu, Kawan!" sahutku ketus.
"Ikuti saja, Brad, demi kebaikanmu," bujuknya penuh harap.
Aku berpindah ke pembaringan sambil diawasi oleh si-Juni. Sepertinya ia tahu sedang ada pembicaraan rahasia saat ini.
"Kau ada penyakit penyerta?"
"Ada, kenapa?" tanyaku selagi berbaring.
"Aduh, Kawan. Harus cepatlah kau ikuti vaksinasi itu!"
"Tak bisa, Bukit Hijau. Biar imunitas-ku saja yang menghadapinya," kataku pasrah.
"Tolong jangan kau keraskan kepalamu sekali ini, Kawan."
"Bukannya kondisi sekarang sudah aman?"
"Belum aman, masih ter-monitor saja, Brad," katanya meyakinkanku, "jangan sampai kau menyesalinya di kemudian hari."
"Doakan saja supaya aku sehat-sehat, ya!" sahutku pelan, "aku mau istirahat dulu, Kawan."
"Baiklah, Brad. Selamat malam."
"Selamat malam juga, Bukit Hijau yang baik!" sahutku sambil memicingkan mata.
--000--
Matahari sudah tinggi waktu aku tiba di Puskesmas Desa Damai ini. Dari jarak yang lumayan jauh, aku melihat seorang perempuan bermasker sedang menaiki sepeda motor matic, seperti hendak berangkat dari tempat parkir.
Ketika aku hampir berpapasan dengannya, dia memandangku, tapi aku tak begitu memerhatikannya. Setelah beberapa langkah melewatinya, kudengar suara yang kukenal.
"Bang!"
Aku segera berhenti dan berbalik ke arahnya.
"Juni?" batinku kaget.
"Juni?" tanyaku di depannya.
"Ya, Bang," sahutnya tertawa, "mau ketemu sama Ita, Ciku atau sama saya?" sambungnya sambil mematikan sepeda motor lalu menghampiriku.
"Ah, kau ini!" batinku gugup.
"Sama dirimu," sahutku dengan senang hati.
Pandangannya beralih ke bungkusan yang di tangan kananku, refleks aku menyembunyikannya.
"Ita sama Ciku lagi vaksinasi di Balai Desa, Bang–" katanya gugup.
"Aku mencarimu, Jun. Bukan mereka," batinku cepat.
"Oh, Abang ke sini untuk mengembalikan–"
"Kita bicarakan di Warung Pojok saja, boleh, Bang?" katanya ragu-ragu.
"Aneh! sudah mulai berani dia menyelaku bicara," batinku heran.
"Ini saya mau ke sana, istirahat makan siang, Bang."
"Boleh, Dik. Ayolah!" jawabku mengalah.
"Abang yang nyetir, ya!" katanya sambil menyerahkan kunci.
Aku menerimanya sambil tersenyum di balik masker ini. Perasaanku jadi tak menentu sejak dia duduk di belakangku. Sepanjang perjalanan kami diam saja, tapi aku merasakan pikiran kami masing-masing terus menerus bicara.
"Jangan salah paham, Juni," batinku saat teringat pada syal yang dulu, "harusnya kutolak ini," sambungku merasa bersalah.
--000--
Selama menyantap mi goreng ayam, pikiranku terus berputar mencari kata-kata yang pas untuk menyampaikan maksud kedatanganku ini–agar Juni tidak tersinggung. Sesekali aku melirik perempuan istimewa yang duduk di hadapanku ini, berharap agar dia juga melirikku sebagai jalan buat kami untuk bicara, tapi sayangnya tak terjadi!
Suasana warung sedang sepi, hanya kami berdua yang sedang makan di pojokan ini. Aku yang duluan selesai jadi semakin bingung.
"Kalau mau merokok, silahkan saja, Bang." Dia membuka jalan.
"Oh, sebentar, ya, Dik," jawabku sambil beranjak ke luar.
"Di sini saja, Bang," cegahnya sambil tersenyum, "’kan ada masker."
Aku pun tersenyum–lupa sedang tidak bermasker–membuatnya jadi salah tingkah.
"Aduuh!" batinku resah.
"Sebentar saja, ya!" kataku terus melangkah. Sesampainya di luar, segera aku merokok dan menghisapnya terburu-buru.
"Harus tuntas!" pikirku lebih tenang dan kembali masuk menemuinya.
"Cepat sekali, Bang?" Dia sudah selesai makan, tapi belum bermasker.
Sedetik, benar-benar aku menatapnya dan batinku berkata, “Sayang sekali!”
"Tak apa, Dik. Sudah cukup kok … tolong maskernya dipakai, ya, Bu!" sambungku bercanda sambil duduk.
"Ya, Mas. Terima kasih sudah diingatkan," sahutnya menahan senyum.
Aku teringat pada kejadian itu, tapi dengan berat hati berpura-pura tidak tahu.
"Mulai-lah sekarang!" batinku.
"Juni–"
"Ya, Mas," sahutnya bergetar seakan tahu apa yang akan kubicarakan. Aku jadi kasihan melihatnya begini.
"Abang minta maaf sebesar-besarnya–"
Dia menungguku dengan pasrah dan membuatku semakin kasihan.
Aku mengambil bungkusan di atas bangku ini.
"Aku tidak bisa menerimanya," lanjutku sambil menyerahkan bungkusan.
Dia terlihat tenang ketika berkata, "Sudah saatnya Abang memilikinya. Tolong jangan dikembalikan," katanya menatapku sambil mendorong bungkusan kembali kepadaku.
"Alamak!" batinku galau.
"Aku tak membutuhkannya, sumpah, Dik!" kataku sepenuh hati.
"Bang, ini bukan soal butuh atau tidak butuh … ini soal keselamatan, Abang. Soal nyawa, Bang!" Suaranya pelan tapi tegas.
Seketika aku terkesiap.
"Siapa kau, peduli pada nyawaku?" batinku meronta.
"Tak usahlah kita berdebat di sini, Juni," kataku setengah memohon.
"Terus, berdebat di mana, Bang? di Pulau Apung?" balasnya tersenyum lebar, manis sekali!
"Pergi kau!" batinku marah.
"Tak ada hubungannya ponsel ini dengan nyawaku," kataku mulai tidak sabar.
Dia tertawa pelan, "Ada, Bang. Tanpa ponsel ini, Abang tidak bisa ikut vaksinasi–"
"Oh, ke situ rupanya?"
"Aku tak butuh divaksinasi!" sahutku cepat memonyongkan bibir.
"Kalau tak butuh, kenapa Abang datang ke Balai Desa sore itu?" tanyanya dengan santai.
"Itu kesalahan, Dik. Bukan keinginan." Jawabanku membuatnya terdiam.
"Saya lo yang menerima Abang di pendaftaran itu,” ujarnya berharap aku terkejut.
"Aku tahu," sahutku menatapnya, "sudah lama Abang tahu, Dik."
Dia tersentak, matanya berkaca-kaca, entah karena apa.
"Kapan Abang tahu?" Dia berani membalas tatapanku.
"Ah, tak usahlah diperpanjang, Juni!" batinku kesal.
"Waktu aku melihatmu di rumah Jum," jawabku perlahan-lahan.
Dia masih bertahan membalas tatapanku.
"Hentikan, Brad!" batinku berteriak. Segera aku menunduk dan tidak berani lagi menatapnya.
"Oh!" Dia menunduk juga.
Sejenak kami terdiam dan aku mulai memandang ke luar.
"Jangan terganggu kerjamu karena ini, Dik," kataku mengingatkannya. Sepertinya sudah lama kami di warung ini.
"Telat sedikit tak apa, Bang," jawabnya sambil memakai masker dan membuatku segera beranjak ke kasir.
"Ini saja, Bang!" Dia berusaha mencegahku.
"Sudah, lain kali saja, Juni! aku baru panen cabai tadi," kataku berbohong. Syukurlah dia mengalah.
"Ini … terima kasih, ya, Dik," kataku memaksanya harus menerima bungkusan.
"Janganlah, Bang. Apa susahnya Abang mengalah sih?" katanya mulai sinis.
"Waduh?!" batinku.
"Baiklah, aku mengalah … yang penting dirimu senang."
"Begitulah, Bang. Biar kami senang," sahutnya kembali riang.
"Kami? siapa kami?" batinku curiga sambil keluar bersamanya ke tempat parkir.
"Jangan salahkan Abang kalau tidak menggunakannya, ya!"
"Tak apa, Mas, yang penting Mas harus ikut vaksinasi, ya!" katanya waktu kami sudah menaiki sepeda motor.
"Vaksinasi juga tidak," kataku membalasnya.
"Awas kalau tidak, Bang!" teriaknya dari bahuku.
"Pokoknya tidak. Ponsel ini cuma kusimpan sebagai kenang-kenangan saja."
"Jangan sampai, Bang Brad. Nanti Bang Sam bisa marah besar lo?" sahutnya sambil tertawa.
"Sam?" tanyaku berdebar-debar.
"Iya. Ponsel itu dari bang Sam, Bang," katanya dekat telingaku.
"Oh!" seruku berlagak santai.
"Sam? ‘rencana jahat’ apa lagi yang kau buat padaku?" pikirku getir. Wajahnya terbayang-bayang di mataku, sedang tersenyum menang.
"Kenapa ke sini, Bang?" tanyanya saat kami berbalik putar arah, "ke pelantar saja dulu."
Aku pura-pura tidak mendengarnya sambil terus mengarahkan sepeda motor ke puskesmas.
Satu perkara yang mengganggu pikiranku sudah jelas duduk persoalannya. Ternyata inisiatornya sahabatku Sam. Aku tahu, dia berniat baik kepadaku, tapi yang tidak bisa kuterima: kenapa dia menyuruh Juni yang melakukannya? ‘Kan ada Jum atau Ita.
Perjalanan pulang ke puskesmas terasa cepat buatku, padahal tadi aku mengendarai sepeda motor seperti biasanya. Ketika kami turun dari sepeda motor, Juni langsung berdiri di hadapanku yang baru berbalik ke kiri untuk menyerahkan kunci.
"Abang tampak bagus dengan rambut pendek begini," katanya seperti berbasa-basi.
"Pujian ke-12 yang kuterima hari ini, Dik!" Aku tertawa sambil menyerahkan kunci.
"Jangan kau sakiti dia, Brad!" batinku tak terima.
"Saya bukan memuji, Bang," jawabnya setelah menerima kunci. Aku diam menunggu kelanjutannya.
"Memang begitu adanya … kalau memuji seperti ini Bang: Abang tampan dengan rambut pendek begini."
Aku tertawa senang, setidaknya dia sudah mengajarkan hal baru kepadaku: diksi.
"Aku pulang dulu, ya, Juni," ujarku kemudian. Tidak baik dipandang mata kalau kami berlama-lama di parkiran ini.
"Baik, Bang," jawabnya riang, "sekali-sekali ponsel-nya dinyalain-lah, Bang. Siapa tau ada yang penting." Dia tampak begitu yakin kalau aku sudah mau menerima pemberian Sam ini.
"Sinyalnya jelek di sana, Dik–"
"Tapi SMS[2] 'kan lancar, Bang," balasnya rada sengit.
"Baiklah," kataku sambil menghela napas panjang, "pulang dulu, ya, Juni!"
"Hati-hati, ya, Bang!"
Aku mengangkat jempol kanan untuk menjawabnya kemudian bergegas menuju ke Balai Desa!
--000--
Aku langsung cepat mengenali Ita di antara para petugas vaksinasi perempuan di Balai Desa ini. Dia duduk di meja ke dua, tempat pemeriksaan kesehatan.
"Masih lama kayaknya ini," pikirku begitu melihat banyaknya orang yang mengantre. Mereka jauh lebih tertib sekarang menjalankan prokes.
"Ke pohon ketapang di sana saja," pikirku lagi seraya berpindah dengan melangkah santai. Sesampainya, aku duduk berselonjor dengan bersandar pada batangnya.
Aku masih tak habis pikir tentang perlakuan Sam kepadaku melalui Juni.
"Dia sudah sukses sekarang, ya! baguslah! berapalah harga smartphone ini sama dia," pikirku sambil memandang bungkusan.
Lalu aku menyalakan rokok sambil mengawasi Balai Desa itu. Sekarang sudah tampak sepi, ternyata cepat juga prosesnya. Setelah dua batang kunikmati, aku kembali ke sana.
Mereka sedang berkemas waktu aku memasuki pendopo untuk menjumpai Ita.
"Ita!" panggilku ramah dari belakangnya.
Dia menoleh, mengamati sebentar lalu berkata, "Bang Brad?"
"Iyalah, Dik. Siapa lagi yang–"
"Kapan dipotong rambutnya, Bang Brad?" selanya menghampiriku.
"Siapa itu, Ta?" tanya temannya dari belakangku.
"Bang Brad, Ci!"
"Kok lain?" tanyanya memandangku, "tak percaya aku, Ta … lain yang satu ini," sambungnya.