Pagi yang cerah mengelilingiku di kebun baru yang menjanjikan harapan ini. Bibit jagung manis sudah berkecambah, berbaris rapi membentuk petak pohon 10x7 di bagian ujung sana, sedangkan di bagian sini sudah kusiapkan untuk kebun kacang tanah.
"Mantap!" kataku puas memandangi hasil karya selama seminggu–kuketahui dari susunan korek api penanda hari. Aku membuatnya sejak hari pertama di sini, tersusun dari kiri ke kanan pada celah dinding papan perapian, yang diawali oleh Sabtu dan diakhiri oleh Jumat.
"Hidup itu sederhana, Juni," ujarku berbisik, "kalau yang kau inginkan hanya untuk bertahan hidup saja."
Ia menyalak berkali-kali pertanda sangat setuju. Si-Jantan Berbelang Dua ini tampak semakin berwibawa dan layak untuk ditakuti karena ototnya yang semakin padat.
"Tak usah pikirkan, Jun! santai saja, ya!" ujarku sambil mengelus kepalanya, "bukan cuma kau yang jomblo … aku juga!"
Kudengar Bukit Hijau tertawa dari sana, "Lebih enak di sini saja, ‘kan?"
"Sekali-sekali memang enak, Kawan!" Aku tertawa juga.
Sudah seminggu aku tidak ke Desa Damai dan ini membuatku sangat kesepian. Terbayang keceriaan mereka bertiga–sang Trio Kakap Merah–yang dengan mudahnya bisa membuatku tertawa senang.
"Berhasilkah kau, Jod?" pikirku mengingatnya.
"Siapa Jod, Brad?" Bukit Hijau memulai investigasinya.
"Sahabatku, sahabat Sam juga," sahutku pelan, "dulu dia pernah ke sini, ke telaga sana."
"Oh! Berhasil apa maksudmu tadi?"
"Dia menyukai mereka berdua, Kawan–"
"Mereka kan tiga orang, yang mana?"
"Ita dan Juni."
"Kira-kira jadinya sama siapa menurutmu, Brad?"
"Kok aku pula yang kau tanya?" bentakku, "tanya si Jodi-lah!"
Dia tertawa senang dan tahu aku tidak suka membicarakannya.
"Tapi menurutku mereka lebih menyukaimu, Kawan."
Aku tak menggubrisnya, anggap angin lalu saja!
Sampai di kebun tomat, aku memanggil si-Juni dan memintanya untuk mengambil kayu untuk penyangga yang sudah kami siapkan kemarin.
"Pintar kau, Jun!" pujiku waktu dia kembali, "bawa semuanya ke sini, ya!"
Setelah selesai memasang dua belas penyangga baru, kami pergi mencari kayu bakar ke arah barat. Aku harus terus sibuk demi melawan rasa rindu kepada mereka, terutama dia!
--000--
Perahu pompong bercat hitam itu, sedang menuju ke pantai ini. Di atasnya ada tiga laki-laki. Aku segera turun dari pohon kelapa, padahal buah incaranku tinggal kutebas saja sebenarnya.
"Sam? Jodi?" pikirku sambil berlari secepat mungkin ke air. Si-Juni jadi terkejut, sambil menyalak ia mengikutiku.
"Braaaaad!" Sam melambai-lambai kegirangan.
"Asem! Betul rupanya," pikirku senang melihat aksi mereka di pompong.
"Hoiii!" Aku berteriak bebas merdeka. Sungguh seperti mimpi!
"Tenang, Jun! Ini keluarga kita," kataku membuat mereka tertawa saat kami menyongsong.
"Apa kabar, Batu Akik?" kata Sam tertawa riang sambil memelukku, "boleh juga anjingmu ini," lanjutnya menghindari.
"Aman. Bos kali kau sekarang, ya!" kataku sambil menepuk punggungnya, "enak di Kota Tujuh?"
"Kayaknya lebih enak di Pulau Apung," balasnya menyindirku.
Aku tertawa dan menarik Jodi turun dari pompong.
"Siapa namanya, Brad?" tanya Sam yang sudah berani memegang kepala si-Juni.
"Juni!" seruku bangga.
"Ah, kau ini, Kawan! Masa namanya Juni?" Jodi keberatan dan menepuk tanganku.
"Dari dulu namanya memang itu, Jod!" balasku sambil mengajaknya jalan, "sudah ada laporan intelijen?"
"Belum A1[1]," katanya menggeleng lalu kami tertawa.
"Ibu sehat, Jum?"
"Sehat, Bang. Ada salam dari Ibu."
"Salam kembali … maaf, sudah lama aku tak main ke rumah, Jum," ujarku merasa bersalah.
"Tak apa, Bang, yang penting kita sehat-sehat."
Kulirik si-Juni yang sedang bermain-main dengan mereka.
"Anjing pintar ini, Brad. Dapat dari mana?" Sam berkacak pinggang memerhatikan si-Juni.
"Kubeli dari Pelantar Satu," jawabku tersenyum, "ayolah kita ke rumah," ajakku sambil berangkulan dengan keduanya. Meskipun sudah lama terpisah, ternyata persahabatan kami tidak berkurang barang se-inci pun!
"Bagaimana kau membuat semuanya ini, Brad?" tanya Sam sambil 'melemparkan' tangannya ke atas. Dia mendekat lalu menatapku dalam-dalam.
"Kau sendiri yang membuktikan kegilaan-mu, Kawan," ujarnya getir.
"Tidak masalah buat kalian, ‘kan?" Aku memandang kedua sahabatku ini secara bergantian, berharap mereka menjawabnya dengan jujur.
"Bagiku masalah, Brad," sahut Jodi, "kau menyia-nyiakan hidupmu di sini, Kawan."
Suasana berganti menjadi suram.
"Aku sungguh tidak mengerti, mengapa kau mengabaikan-ku waktu itu, padahal kita bertiga mengaku bersahabat."
Jodi berputar membelakangiku. "Sekiranya aku tahu pun, jauhlah daripadaku membocorkannya kepada orang lain."
"Aku tak mau kau terlibat dalam dusta besar yang kurancangkan, Jod," jelasku perlahan-lahan, "cukuplah Sam saja."
"… tapi di-otak orang-orang itu, aku pendusta, Brad! Mana ada yang percaya waktu kubilang: aku tidak tahu di mana Brad. Semua bilang aku berbohong, Kawan!" Dia tampak emosional.
Sam jadi salah tingkah mendengar pengakuan Jodi ini. Dia menyalakan rokok dengan wajah masam.
"Kalau bukan karena FB, kupikir kau sudah mati diculik nenek sihir," katanya serius.
Aku dan Sam tertawa.
"Kau juga, Sam. Jangan ketawa kau!" sambungnya lagi, “wajib tanggung jawab-lah!”
"Kan sudah minta maaf aku–"
"Minta maaf setelah setahun?" cecarnya pantang menyerah, “kalian anggap apa aku ini?”
Sam terdiam. Dia memandangku, "Puas hatimu, Brad?"
Aku memalingkan wajah dan menyalakan rokok.
"Sudahlah, semua kesalahanku. Aku terima dengan ikhlas–"
"Hei, jadi kayak pilem india kau buat, Kawan," kata Jodi ber-kukuruyuk.
Aku menyeringai, "Kau masih menuntut penjelasan dariku, Jod?"
"Cukup, Brad! Tidak sama sekali. Forget it!" jawabnya dengan meninju perutku dan langsung kubalas dengan mengucek rambutnya. Kami tertawa bersama setelah sekian lamanya.
“Tak usah kau masukkan ke hati, Brad … asal sudah kuledakkan, langsung kulupakan semuanya … come on, untuk apa kau sendirian di sini, Kawan?”
"Aku tidak sendirian di sini–" Sam dan Jodi terdiam seketika.
"Jangan bilang, Brad!" Bukit Hijau berteriak padaku.
"Kau diam dulu, ini urusanku!"
"Kalau aku sendirian, pastilah sudah gila. Bisa kalian bayangkan kalau malam hari seperti apa di sini, Kawan? Lampuku hanyalah perapian, yang cahayanya menari-nari dalam kegelapan, sebentar terang sebentar lagi gelap dan gelap sama sekali. Kalau ke luar rumah, senter yang menerangi jalanku, selalu kubawa sepaket dengan laser pointer-ku, atau rembulan jika ada."
Jodi termangu bersama rokok di tangannya, "Laser pointer?"
"Ya, bisa sampai ratusan meter menembus gelap," balasku cepat, "hewan mana pun langsung takut dibuatnya."
"Pernah kejadian?"
"Pernah-lah, sudah kubuktikan."
Dari arah kebun samping, terdengar suara si-Juni yang sedang bersama Jum.
"Ada kantongan di dekat perapian, Jum. Panen saja mana yang kau mau, ya!" teriakku.
"Siap, Bang!" Dia berlari ke rumah diikuti si-Juni.
"Tempat ini jadi indah di tanganmu, Brad," ucap Sam dengan kagum. Pandangannya berkeliling ke sekitarnya.
"Kalau kuingat kondisinya waktu itu … ngeri-ngeri sedap, ‘kan? Wak-ku pasti tak menyangkanya bisa jadi se-eksotis ini … so sexy! Aku yakin dia bangga padamu, Kawan!"