BRAD

KH_Marpa
Chapter #10

"Patah Tanpa Terluka"

Juni melangkah dengan anggunnya di sampingku. Rona wajahnya begitu tenang, membuat hati selalu ingin menatapnya, biarpun terpaksa dengan cara sembunyi-sembunyi.           

"Abang yang tentukan tempatnya, ya?" ujarnya sambil memberikan kunci sepeda motor, "kalau boleh dekat pelantar saja, biar Abang tidak repot."           

"Tempat yang mana? masa di kedai kopi yang waktu sama Jodi?" pikirku bingung.           

"Baik, Dik," sahutku seolah-olah sudah tahu tempatnya.           

Maka berkendaralah kami di sore yang cerah ini. Pikiranku terus berputar-putar selama menyetir–membuatku terdiam–lalu akhirnya ide itu datang juga.          

Kami berhenti di depan kedai kopi tanpa nama ini. Aku memarkirkan sepeda motor dengan sedikit kerisauan seandainya Juni menolak tempat yang kumaksudkan.          

"Ayo, Dik," ajakku dengan ramah sambil menunggunya. Sekarang kami berjalan bersisian menyusuri pelantar, di antara semilir angin sore menjelang senja.          

"Kita naik sampanku, ya, Dik," ujarku ragu-ragu. Juni mengangguk pelan sambil memandangku.           

"Dia tidak sangsi sedikit pun?" batinku tersentuh.          

Dengan sangat hati-hati, aku menerima genggamannya, menariknya selembut mungkin untuk naik ke atas sampan.         

"Dingin, Juni?" tanyaku agak khawatir di depannya.         

"Tidak, Bang," jawabnya yakin sambil melepaskan masker, "yang penting saya jangan Abang culik saja."        

Aku tertawa renyah dan pikiranku jadi diam karenanya.         

"Kita ke Pelantar Tiga, ya? belum pernah aku ke sana, Dik."         

"Siap, Bang," jawabnya tersenyum, "lepaskan saja masker Abang itu, biar tak bengek," sambungnya membuatku tertawa.         

"Soal penting apa, Juni?" tanyaku hati-hati sambil mengayuh pelan.         

"Pertama, saya mau Abang jujur menjawabnya, bisa Bang?" Dia menatapku seperti dirinya.  

"Baik, teruskanlah," jawabku ramah. Aku siap menjawab apapun yang ditanyakannya.    

"Nama si-Juni ada kaitannya denganku tidak, Bang Brad?" tanyanya sambil menunduk.  

“Alamak! … terpaksa berterus terang ini         

"Ada. Maaf, kalau itu membuatmu tersinggung," sahutku tenang, "tak sengaja aku melihat name tag-mu waktu pertemuan kita yang pertama dahulu."         

Aku bertahan untuk terus memandangnya.         

"Sikapmu saat itu membuatku sangat terkesan karena menusukku dengan kata-kata yang sangat tajam. Aku tahu dirimu tak bermaksud menghina-ku, Dik, tapi kau telah membongkar kepahitan yang selama ini kusembunyikan dengan gaya hidup primitif-ku ini."         

Juni masih diam, matanya terus menghindar dariku.         

"Kau masih mau mendengarnya?" tanyaku pelan.         

"Teruskan, Bang," sahutnya seperti menantangku.          

"Kupakai namamu itu agar aku selalu mengingatmu." Aku terdiam sejenak, "karena kukira takkan bertemu denganmu lagi–kalau pun bertemu, belum tentu aku tahu karena waktu itu dirimu bermasker, ‘kan?"         

Kudengar dia menggumam lalu katanya, "Sekarang yang ke dua ya, Bang."          

"Siap! puaskan saja duluan karena nanti aku pun akan menghajarmu juga, biar adil."       

Dia tersenyum penuh misteri!         

"Pertanyaanku cuma tiga, Bang Brad," katanya berusaha mencegah niatku tadi.         

"Yang ke dua, kenapa Abang menyendiri di Pulau Apung sana?" Dia menatapku malu-malu.        

"Dirimu yakin mau mendengar jawabannya?"         

Tersentak dia jadinya, wajahnya pun merona.          

"Aku yakin kau sudah mendengarnya dari Sam atau Jodi–"          

"Sudah, Bang … tapi aku mau mendengarnya langsung dari Abang."          

Sekarang aku yang menghela napas panjang. Kayuhanku nyaris berhenti dan aku membutuhkan sesuatu.           

"Aku butuh merokok untuk menjelaskannya."          

"Silahkan saja, Bang."           

"Orang seperti apa menurutmu yang mau tinggal menyendiri di Pulau Apung sana?"       

"Nanti giliran Abang bertanya," tangkisnya sambil tersenyum, "sekarang, jawablah aku dulu, Bang."          

"Tak bisa kulanjutkan sebelum dirimu–"          

"Baik, baik, baik," selanya dengan mengangkat kedua tangan, "menurutku itu orang yang sakit jiwa, Bang."          

“Tuh, benar, ‘kan?”         

"Sakit jiwa atau gila?" Aku sengaja memberinya pilihan lain.         

"Sakit jiwa!"          

"Bukan gila?"          

"Bukan-lah, Bang Brad!" suaranya agak meninggi. "Kalau gila itu, tak tertolong lagi–"      

"Sakit jiwa?" tanyaku sambil mengulangi pernyataanya barusan.          

"Sakit jiwa masih bisa ditolong, masih bisa sembuh," katanya dengan penuh semangat.     

"Oke, sakit jiwa," kataku menerima pendapatnya, "jadi, dirimu siap mendengarnya, Juni?"

Dia terdiam sejenak, seperti sedang mengukur kekuatannya sendiri.           

"Kalau nanti tiba-tiba hujan turun karena mendengar cerita ini, jangan salahkan Abang, ya!" gurauku menenangkannya.        

 Juni masih berpikir, belum berani menjawabnya.         

"Itu Pelantar Tiga, Bang!" katanya tiba-tiba sambil menunjuk ke sebelah kiriku.           

"Oh, ini rupanya! … lebih besar dari Pelantar Dua, ya?" jawabku menghentikan kayuhan.

"Itu Desa Indah, lumayan jauh dari Desa Damai kalau lewat darat, Bang."           

"Oya? ... terus bagaimana kelanjutan yang tadi? mau berputar balik ini," ucapku kembali mengayuh sampan.           

"Baiklah, saya ganti saja pertanyaannya, Bang," ujarnya mengalah.           

Aku tahu dia takkan sanggup mendengarnya dariku! Tentulah lebih dramatis dibandingkan dengan yang sudah diketahuinya.

"Berarti pertanyaan ke tiga, yang terakhir, ‘kan?"         

"Tetap pertanyaan kedua lah, Bang."         

"Oke, lanjutkan, Dik, yang mana baiknya saja," kataku tersenyum.         

"Pertanyaan kedua: Bang Sam, Mas Jodi dan Abang ‘kan Tiga Serangkai dan Setandan nih–“

"Mantap sekali julukan-mu itu," selaku tertawa geli.          

"Terus … setahu Abang, Mas Jodi itu orangnya seperti apa, Bang?"         

Terkejut lahir dan batin aku mendengarnya! Bagiku ini bukan pertanyaan, tapi pernyataan hati yang sedang dilanda kebimbangan besar. Terngiang di telingaku belum A1-nya kata si Jodi waktu di Pulau Apung.        

"Ini yang kutahu, ya, Juni–" seperti tak mampu aku melanjutkannya.         

"Dia orang yang bertanggung jawab, solider kualitas premium, fokus pada tujuan, rasional, easy going, dan tidak sombong," ucapku dengan satu napas.       

Juni tersenyum dengan manisnya, membuat senja jadi merasa minder melihatnya.          

"Kekurangannya?" tanyanya sambil mendelik lucu.          

"Pertama … dia tidak sadar akan kegantengannya–"         

“Dia yang ter-ganteng di antara kami!”         

Juni terbahak-bahak jadinya.         

"Ke dua … dia terlalu baik sama orang, sehingga rentan tertipu–"          

"Oya, Bang?"          

"Ke tiga … terakhir … dia susah sekali marah, sehingga rentan makan hati."          

Kami tertawa bersama dengan riangnya, seakan semuanya sedang baik-baik saja. Padahal?

"Pertanyaan terakhir, ya, Bang."         

"Silahkan, Juni yang lucu,"          

"Janji tidak tersinggung, ya, Bang!" Dia sungguh berharap.           

"Janji, Dik. Siksalah aku sepuas hatimu kalau itu–"           

Dia terpingkal-pingkal sampai membuat sampan ini oleng.           

Sekarang mulai tenang, lalu katanya, "Apakah saya ini mengingatkan Abang pada seseorang?"

“Kau mau menjebakku, Dik?”          

Dengan sedaya upaya aku menjawabnya.          

"Benar, Juni. Entah apa maksud Hidup ini membuatku bertemu denganmu."          

Aku melihatnya seperti trenyuh. Pernyataan tadi membuatnya seketika berubah.         

"Wajahmu mirip sekali dengannya. Namanya Citra … teman SMA-nya Sam. Dia adalah kekasih yang kuminta … bahkan akhirnya kupaksa untuk meninggalkanku!"         

"Mengapa Abang lakukan itu?" Dia sangat ingin mengetahui alasannya.         

Lama aku terdiam mengenangkannya. Perlahan aku menyalakan rokok lagi, masih seperti tadi, harus berjuang melawan angin laut ini.      

"Demi menyenangkan hati almarhumah Ibuku–"         

Lihat selengkapnya