Di kedai kopi Langganan ini, aku menenangkan diri dengan secangkir kopi kental yang pahit. Asap rokok tak putus-putusnya mengerubungiku, tapi kegalauan tak jua mereda sehingga aku memutuskan lebih baik pulang saja.
Senja masih lama datang, padahal aku ingin menikmatinya di tengah laut sana. Pelan-pelan aku melangkah ke Pelantar Dua, berharap waktu yang kuulur bisa mendatangkan senja, begitu aku berada di sampan nanti.
Suasana Desa Damai masih ramai dan sesekali aku memandang orang-orang itu, yang meskipun bermasker tapi kelihatan semuanya bergembira. Aku tak mau membandingkan diriku dengan mereka karena dulu aku pun pernah se-gembira itu.
Pelantar Dua tinggal satu belokan lagi, tapi senja masih belum datang jua dan tak mungkin lagi aku menunggunya. Aku baru membelok ke kanan memasuki Pelantar Dua dan langsung memandang lurus ke depan, melangkah di antara dinding kayu rumah-rumah nelayan.
"Bang Brad!" suaranya memanggilku dari gang di sebelah kanan. Aku berhenti di persimpangan ini, menatapnya dalam diam.
"Boleh kita bersampan lagi, Bang?" tanyanya di hadapanku dengan rambut yang berantakan dimainkan angin. Aku masih diam, menenangkan jiwaku dengan sekuat hati.
"Anginnya terlalu kencang, Juni." Tak tega aku mendiamkannya lagi.
"Itu cuma angin, Bang," katanya pelan, "takkan bisa melukaiku." sambungnya lirih sambil menatap dengan tenangnya.
"Kalau begitu, ke Pulau Apung saja kita sekalian, Dik."
"Gila kau, Brad!" batinku mengumpat.
Dia melepaskan maskernya, "Pantang berseloroh di tengah angin kencang begini, Bang Brad."
"Aku serius, Juni," ujarku melepaskan masker, "lihat … serius, ‘kan?" sambungku menunjukkan wajah.
Dia tertawa, "Kalau sudah serius, kenapa kita masih di sini, Bang Brad?"
Aku senang dia sudah tertawa, tapi jadi bingung karena ajakan tadi diterimanya.
"Dengan dua syarat, ya, Dik–"
"Cepat sebutkan, Bang," tantangnya dengan yakin.
"Pertama, minta izin dulu sama Jodi–"
"Waduh, sebelum ke Bang Jodi saya harus izin dulu sama Ita, Bang. Repot birokrasinya,"
"Ita? kenapa?" Aku mulai curiga.
"’Kan mereka sudah jadian, Bang," jelasnya dengan riang.
Aku melongo mendengarnya.
“Serius? berarti?”
"Kenapa kau menolak sahabatku itu, Juni?"
"Kami cuma berteman, Bang," ujarnya ringan, "yang saya tanyakan waktu kita bersampan dulu, itu pesanan si Ita."
"Haduhh, Juni … Juniii. Pesanan katamu, Dik? kayak bandrek saja!" Nyaris aku mencubitnya.
Juni tertawa lepas seperti puas sudah berhasil mengakali-ku. Aneh!
"Kalau begitu, minta izin sama yang memberi syal ungu–"
"Bang, oi, sudah diizinkan … 100%!" selanya cepat, "syal itu made in dewe."
"Ya, ampuuun! dua kosong kau buat Abang, Dik?”
"Makanya–ditanya langsung kepada yang bersangkutan, Bang Brad! … ini tanya sendiri, jawab sendiri. Sok cenayang!" Dia tertawa menatapku.
"Syarat terakhir sekarang, Bang," sambungnya ‘siap tempur’.
"Capek aku ketawa–"
"Berarti cuma satu syarat, ya?"
"Tidak, tetap dua, yang ke dua: kalau sampai di sana, tidak boleh minta pulang. Bagaimana?"
"Jadi harus menginap?" Ia mengerling lucu.
"Tidak, pantang itu, Dik!" Aku tertawa membayangkannya jika terjadi.
"Jadi, bolehnya minta apa? bingung saya dibuatnya."
"Ya, jangan minta pulang saja," ujarku tertawa, "jadi terserah padaku–"
"Baiklah, aye-aye, captain!" balasnya tertawa sambil bergaya hormat.
"Lebih dekat ke Pulau Apung daripada ke Pelantar Tiga, ‘kan?" kataku waktu kami menuju ke sampan.
"Padahal saya maunya yang jauh, biar benar-benar lega sekalian, Bang," ucapnya datar.
"Boleh saja, tapi mulainya pagi-pagi." Aku meliriknya.
"Makanya saya ke sini pagi itu," dia menoleh perlahan," tapi tak dianggap."
“Aku ‘kan tidak tahu!”
Aku berhenti di depan tangga pelantar, lalu duduk memandang ke laut.
"Duduk dulu kita, Juni," kataku sambil memberi tempat, "indah rupanya memandang dari sini."
"Nanti orang terganggu tidak, Bang?" Dia sudah tepat di sampingku.
"Tidak. Sepi di sini kalau sudah sore." Aku begitu dekat dengannya saat ini dan dia pun tampak tidak keberatan.
"Aku belum pernah memerhatikan laut se-sore ini–"
"Di Pulau Apung?"
"Tidak juga," sahutku pelan, "setiap sore kami di sekitar rumah saja, apalagi aku tak suka memancing, jadinya di darat saja terus."
Dia menoleh, "Bagaimana kabar kembaran-ku itu, Bang?" Senyumnya terlihat getir.
"Jangan bilang begitu lagi, ya!" Aku tersenyum memandangnya, "atau namanya kuganti saja–"
"Tidak, tidak ... biarkan tetap Juni." Tangannya hampir saja menyentuhku.
Aku tertawa melihat dia mengurungkannya.
"Jujur, ya, Bang. Saya cemburu padanya–"
"Dia anjing jantan lo, Dik?"
Juni tertawa, "Benar, tapi semua perhatian Abang ke dia, ‘kan?"
"Wajar, ‘kan cuma dia temanku di sana."
"Sederhana saja pikiranku, Bang Brad–"
"Apa? mau ‘menyiksa’ lagi?"
"Juni lebih beruntung dariku, padahal nama kami sama!" Dia mengerling manja.
Meledak tawaku di sore menjelang senja ini. Kalau tak berpikir sedetik tadi, sudah kuucek-ucek rambutnya karena gemas.
"Shakespeare[1] salah besar! nama itu sangat berarti," sambungnya yakin.
Aku diam memandang Pulau Apung di sana.
"Apa saja kegiatan kalian di sana, Bang?" tanyanya mengikuti pandanganku.
"Apa pun yang menyenangkan hati–"
"Oh. Bisa senang di sana?" Agak sinis kedengarannya.
"Bisa-lah! jangan kira kesendirian bukan suatu kesenangan," ujarku lirih, "asal mau menerima dan tidak mempersoalkannya."
Dia terdiam seperti merenungkannya.
"Banyak yang kupertanyakan kepada Hidup, sebelum aku memutuskan ke sana, Juni."
Dia masih diam menunggu kelanjutannya.
"Bahkan hendak menggugatnya–"
"Barangkali semua orang mengalaminya, ya, Bang?"
"Bisa jadi. Terkadang memang rasanya tidak adil," ujarku sambil berdiri dan termangu.
"Oke-lah tak semua seperti yang diharapkan, tapi maunya janganlah terjadi yang paling berat untuk ditanggung, ‘kan?"
Dia masih sabar menungguku dan aku menyukai sikapnya ini.
"Hidup pasti tahu … Ibu adalah harta tak ternilai bagiku. Dia juga pasti tahu, Citra sangat berarti. Aku berjuang untuk melepaskan yang sangat berarti, demi ibuku … tapi hidup tega mengambil kedua-nya dari tanganku!"
Juni bangkit perlahan-lahan, menemaniku berdiri.
"Semua itu tak bisa kuterima dengan alasan apa pun, membuatku hampa," ujarku sambil mengambil rokok, "boleh?"
Dia mengizinkan dengan isyarat tangan.
"Kalau sudah hampa, semuanya jadi melayang!" Aku menghembuskan asap ke depan, tapi angin membawanya ke Juni.
"Maaf, Dik!" pintaku dan menjentikkan batang rokok ke laut.
"Tak apa, Bang–" Dia maklum itu bukan kusengaja.
"Dibuang saja. Asap rokok memang suka mengejar orang yang tidak merokok."
Dia tertawa, "Bisa pakai masker kok, Bang."
Aku mengabaikannya.
"Jika aku tetap bersama mereka dalam kondisi melayang, itu pasti menyusahkan mereka karena mereka memang peduli padaku. Daripada begitu, lebih baik aku menyingkir … dan Hidup menyetujuinya. Kalau tidak ada Telaga Sunyi, Pulau Apung, tak ada Wak Luta dan tak ada Sam … aku pasti masih di Kota Dua bersama mereka."
Dia menoleh dan menatapku dengan iba.
“Jangan pandang aku seperti itu!”
"Aku tak mau, apalagi sampai meminta dikasihani karena aku memang baik-baik saja di sana. Biar saja orang bilang aku sudah gila … asal dirimu jangan ikut-ikutan–"
"Ah! Tidak, Bang!" tolaknya cepat, "sekarang saya tahu Abang senang di sana."
"Terima kasih, Juni."
"Yakin bisa senang selamanya di sana?"
Aku tersenyum sinis. Pertanyaannya seperti meremehkan kekuatanku.
"Cuma Hidup yang bisa menjawabnya, bukan aku."
"Tapi yang menjalaninya–"
"Benar, aku yang menjalaninya, tapi hidup yang mengizinkannya."
Dia tersenyum samar seperti menyembunyikan sesuatu.
"Pernah terbayang ada yang mau bersama Abang di sana?"
"Sampai saat ini, belum terbayang sama sekali, entahlah suatu saat nanti."
Juni kembali duduk dan aku mengikutinya.
"Kita habiskan senja di sini saja, ya!" ujarku memandangnya.
Juni menatapku dengan cara yang sangat berbeda. Rona wajahnya berubah, menyenangkan hatiku.
"Di mana pun boleh … asal bersama Abang," ujarnya lirih dengan berhati-hati.
"Menurutmu, mengapa hidup mempertemukan kita, Juni?"
Tersentak dia mendengarnya sampai beringsut menjauhiku.
"Menurutku?–"
"Ya, bilang saja. Ini bukan ujian kok, Dik."
Dia berpikir sejenak sambil menarik sudut bibirnya.
"Menurutku … jangan ketawa, ya, Bang! … karena kita berjodoh." Dia duluan yang tertawa. Dengan refleks aku memberikan tangan, mengajaknya bersalaman. Tak kuduga dia menyambutnya, masih dengan tawa yang menyatu dengan tawaku.
"Kurasa kita memang berjodoh, Juni!" ujarku menahan genggamannya, "tapi kita tak sadar," sambungku dan melepaskan tangannya.
“Kau terpancing, Brad!”
Dengan tenangnya dia menjawab, "Tahu … tapi tidak sadar, ya!"
"Sekarang, boleh aku bertanya?–" Aku menatapnya penuh rasa.
"Sebentar dulu, Bang. Saya belum sadar, ini."
Tertawa lagi aku jadinya.
"Nah, sudah … silahkan, Bang Brad," ujarnya mengerling.
"Pertanyaan pertama–"
"Memangnya ada berapa?"
"Cuma satu–"
"Ah, pasti sulit menjawabnya, Bang … bikin tiga pertanyaan saja, tapi gampang dijawab," ujarnya tersenyum.
"Memang ada satu saja–"
"Kenapa cuma satu–"
"’Kan berjodoh?" jawabku sekenanya. Dia tertawa riang.
"Kalau berjodoh … tak perlu banyak bertanya, cukup satu saja, ‘kan?"
"Iya, Bang Brad. Ampun!" katanya memohon, "jadi makin sadar saya, Bang!"
Tawaku terbang berkeliling. Oh, betapa indahnya sore ini! Siapa pun yang melihat kami saat ini, pasti mengira kami adalah dua orang bersahabat yang sedang mencari cinta.
"Sudah bisa, Dik?"
"Pelan-pelan menanyakannya, Bang."
Kami saling berpandangan lagi.
"Menurutmu, aku ini orangnya seperti apa?"
"’Kan? sulit!"
"Bilang saja yang dirimu rasa, Dik. Jangan yang kata orang," ujarku tenang dan aman. Kami sekarang sama-sama memandang ke laut. Semburat jingga bermain di riaknya laut, seperti memanggil burung camar yang dari tadi berputar-putar di sana.
"Abang … orang yang super sensitif …,"
"Benar!"
"… tega menyiksa diri demi membunuh hasrat yang menurut Abang bertepuk sebelah tangan," ujarnya dengan kematangan yang mengejutkanku.
"Abang punya berjuta ide yang bisa mengubah hujan jadi terik … membuat tangis menjadi tawa … demi menyenangkan orang lain–" Dia terdiam sejenak, seperti agak ragu mengatakan yang berikutnya, tapi aku sabar menunggunya.
"Abang punya cinta … yang berjuta warnanya untuk seseorang yang mencintai Abang juga … tapi begitu berakhir, cinta Abang itu jadi tinggal satu warnanya … hitam …, "
"Kau tahu?"
" … karena sudah hitam, butuh waktu yang panjang untuk menghadirkan warna-warninya."
"Abang bisa berteman baik dengan siapa saja … sepanjang orang itu tidak sombong dan bukan pembohong."
"Sampai ini pun kau tahu?" Aku jadi tak sanggup mendengar yang seterusnya. Dia sedang ‘menguliti’-ku dengan lembutnya!
"Tidak tersinggung, ‘kan, Bang?" tanyanya ragu.
"Tidak, teruskanlah."
"Menurutku … Abang orang yang hangat … romantis … bertanggung jawab … melindungi–"
"Dirimu berlebihan, Juni!"
"Makanya saya sangat kesal–"
"Kok–" Aku tidak mengerti maksudnya.
"Kesal-lah! … kenapa Abang sembunyi di sana?” Suaranya seperti jeritan pilu.
"Aku senang di sana–"
"Aku yakin Abang 100% senang … tapi tidak mungkin bisa bahagia. Abang berhak untuk bahagia, tapi menolaknya!" Suaranya pelan dalam ketegasannya. Aku terkesiap, terkesima!
"Teruskan."
"Sayang sekali Abang di sana. Cinta itu bukan cuma satu, Bang!"
“Taap!!! telak Abang kena, Juni!”
"Berapa?"
"Tak tahu … sebanyak yang disediakan oleh Hidup-lah–"
"Kalau Hidup cuma menyediakan satu?"
"Mustahil cuma satu! Hidup itu hakikatnya keadilan, Bang."
Aku termenung. Dia lebih bijak dari yang kuduga.
"Lihat saja … ada yang datang, ada yang pergi; ada yang patah, ada yang tumbuh–"
"Lalu hubungannya?"
"Jangan keraskan hatimu, Bang Brad! … ambil hakmu untuk berbahagia. Itu memang hak Abang!"
Aku tertawa melihat caranya mengajariku.
"Saya serius lo, Bang Brad!" tegasnya seperti tersinggung.
"Dirimu pernah–"
"Patah hati pernah … bahagia belum, Bang," selanya cepat lalu tertawa.
"Oya?" Hampir tadi aku melompat ke laut ini.
"Bercanda, Bang Brad. Saya belum pernah meng-iyakan isi hati seseorang kepadaku."
"Kau terlalu memilih, Juni."
"Biar saja dibilang jomblo–daripada menipu diri sendiri?!"
"Berapa usiamu sekarang?"
"Pertanyaan Abang terlalu jauh!" jawabnya ketus.
Aku tertawa lepas. Dia pun tertawa.
"Dua lima jalan dua enam, Bang."