BRAD

KH_Marpa
Chapter #12

"Menguji Hati"

Secangkir kopi pahit panas dan jagung manis rebus menjadi temanku malam ini.           

Si-Juni sudah diam saja dari tadi di tempatnya, mungkin kecapaian mengerjakan perintahku sewaktu panen jagung manis–mulai dari pagi sampai menjelang senja–yang menghasilkan jagung siap jual sebanyak 1 karung plastik ukuran 50 kg.           

Kupandangi tiga batang korek api penanda jumlah minggu–terselip di dinding papan–yang mulai kubuat sejak aku memeluknya pada siang hari yang legendaris itu. Tak terasa, tiga minggu berlalu dan aku belum bertemu dengannya lagi. Setiap hari aku teringat padanya, tapi rindu tak kunjung datang. Apakah karena aku pernah berusaha membunuhnya? Entahlah!          

Kawan-kawan pun sudah jarang mengajakku bicara lagi, padahal dulu hampir setiap malam mereka menyapa lalu berbincang tentang hal apa saja yang diketahuinya.           

"Juni–" Aku memanggilnya di depan nyala api yang menari-nari ini, "besok aku datang kepadamu," sambungku seperti berjanji. Aku berharap, dia bisa merasakannya di sana.

--000--           

Pak Mali menerima hasil panen jagungku sambil tertawa.          

"Menanam jagung juga rupanya, Mas?"           

"Ya, Pak. Biar banyak kegiatan. Saya pantang melihat lahan kosong, langsung nafsu mau digarap saja."           

Dia tertawa lagi lalu bertanya, "Temannya mana? kenapa tidak ikut?"           

Ah! Dia masih mengingat Juni rupanya! Aku menjawab dengan tertawa juga, agak sulit untuk menjelaskannya.          

Setelah urusan selesai, aku bergegas ke puskesmas, namun di tengah perjalanan, selera mengajakku untuk singgah ke Warung Pojok demi sepiring mi goreng ayam. Matahari lumayan terik saat aku menuju ke sana, untung saja tadi aku memakai topi rimba.        

"Mi goreng ayamnya satu ya, Mbak–minumnya es teh manis," pesanku sambil memilih tempat duduk di sebelah kanan, menghadap ke tembok terpisah cukup jauh dari tiga orang pengunjung yang ada.          

Baru saja aku melepaskan masker untuk merokok, terdengar suara laki-laki di belakangku.          

"Mau pesan apa, Jun?" Sepertinya dia duduk tepat di belakangku.          

"Bakso urat pakai mi putih–"           

"Suaranya?" Aku urung menyalakan rokok, namun tidak mau menoleh ke belakang karena laki-laki tadi.           

Pelayan datang mengalihkan perhatianku. Dengan perlahan, aku memposisikan pesanan pada jangkauan yang nyaman buatku. Kedua orang yang di belakangku masih terus berbicara, tapi tidak sekeras sebelumnya, samar-samar kudengar. Selera yang tergugah lebih menarik perhatianku sehingga aku mengabaikan suara mereka.           

Tak lama kemudian, mereka tertawa-tawa dan aku semakin yakin bahwa suara perempuan itu memang kukenal. Seketika aku menunda santapan ini karena tertantang untuk membuktikannya. Seteguk air dingin melegakan tenggorokanku, membuat aku lebih siap untuk memutar badan ke arah mereka.           

Kupakai masker dan ... benar, dia Juni! Walaupun agak terhalang oleh laki-laki ini, tapi jelas itu Juni!          

Perasaan tidak nyaman akhirnya merusak seleraku. Perlahan aku menyalakan rokok, 'menarik'nya dengan pelan, kutahan sebentar dan menghamburkan asap dengan satu hembusan panjang.          

"Dia perlu tahu kalau aku ada di sini," pikirku sembari mematikan rokok.           

"Aku duluan, ya, Juni–" kataku saat di hadapannya.           

"Bang Brad?" Dia terperangah dan segera berdiri. Rona wajahnya mengabarkan keterkejutan, bukan ketakutan.           

"Heru, kenalkan ini Bang Brad."           

Ada sedikit rindu, juga rasa senang yang terpancar dari matanya. Tidak sebanyak yang kubayangkan.          

Aku memberi ‘salam kepal’ pada laki-laki yang tampak baik ini, "Brad."          

 "Heru–bergabunglah dengan kami, Bang," ujarnya dengan hangat.          

"Oh, tak usah. Terima kasih. Aku harus pergi sekarang–"           

"Kenapa langsung pergi, Bang?" Juni tidak bisa menerimanya. Dia tampak kecewa–tidak menyangka jawabanku seperti itu.          

"Lanjutkanlah, aku tak perlu ada di sini," batinku pelan, sedangkan pikiran berjuang untuk menemukan jalan keluar yang pas.          

"Aku ada janji dengan pak Mali di pasar–"           

"Mesti sekarang?" Tatapannya menembus hatiku seperti meminta maaf.           

"Tak apa, kau berhak melakukannya, Juni!" batinku membelanya.           

"Iya, Dik. Ini pun aku sudah telat. Tadi mampir ke sini untuk makan sebentar–"           

"Habis itu Abang mau ke mana?" Dia terus mencecarku dengan akrabnya.           

Sekelebat kenangan bersampan bersamanya, membuat aku hampir mengalah.           

"Langsung pulang, ada kerjaan penting!"          

Heru memandang kami berdua dan tampak sibuk dengan pikirannya.          

"Saya tunggu di puskemas nanti, ya, Bang. Penting sekali," pintanya dengan lembut.        

"Lihat nanti, ya, Dik. Rencananya pak Mali mau mengajakku ke tempat pembibitan milik saudaranya. Aku sedang menyiapkan lahan yang baru, Juni." Dalam hati, aku kagum sekaligus malu terhadap narasi spontan ini.           

Juni terdiam sejenak, dia memandangku seperti hendak menjelaskan sesuatu.           

"Baiklah, Bang. Usahakan datang, ya! saya tunggu sampai jam 4," ujarnya tersenyum samar.          

"Aku duluan, ya, Heru!"           

"Ya, Bang. Hati-hati." Dia tersenyum ramah dan mengangguk.           

"Aku pergi, ya, Dik," pamitku dengan senyuman terpaksa sambil beranjak.           

"Hati-Hati, Bang. Datang nanti, ya!" Suaranya terdengar berharap.           

Aku melambaikan tangan dengan senyuman selamat tinggal lalu segera ke kasir.           

"Berapa semuanya dengan yang punya mereka, Mas?" tanyaku pada kasir ini.           

"Sama yang di meja mana?"          

"Jangan lihat mereka. Itu, meja yang ada cowok dan cewek-nya."          

Dia memeriksa catatan yang di atas meja, "Semuanya tujuh puluh lima ribu, Mas."          

Aku segera membayar dan meninggalkan warung tanpa menoleh ke belakang. Waktu melewati tempat parkir, sepintas aku mencari sepeda motor matic milik Juni, tapi tidak ada.   

"Naik apa mereka?" pikirku penasaran dan berbalik menuju ke deretan ruko yang tak jauh dari Warung Pojok. Setibanya aku mencari posisi yang aman untuk memantau lalu menyalakan rokok.         

Tak berapa lama, kulihat mereka keluar dari Warung Pojok lalu menuju ke mobil warna silver metalik itu. Juni yang duluan masuk ke mobil, lalu Heru. Aku menyaksikan mereka pergi dan perasaanku tiba-tiba menjadi dingin.

"Kau beruntung, Juni. Semoga kau menyadarinya, dan tidak menyia-nyiakannya!" batinku pelan lalu pergi menuju ke Pelantar Dua.

Aku harus secepatnya ke Pulau Apung. Harus!

--000--

Entah kenapa, aku ingin sendirian menghabiskan waktu di pantai ini. Tadi si-Juni sudah kusuruh pulang duluan, lumayan capai dibuatnya. Ia tentu sangat heran mendengar suaraku yang meninggi seperti memarahinya, tapi memang aku benar-benar ingin sendirian.

Juni barangkali masih menungguku di sana atau dia sedang bersama Heru–biarlah dia melakukan apa yang membuatnya senang. Aku tidak berhak cemburu, kami bukanlah sepasang kekasih! Kami hanyalah dua anak manusia yang tersentuh oleh kejujuran hati masing-masing. Mungkin dia cuma memberiku empati dan simpatinya, mungkin aku salah menghitung seberapa banyak rindunya yang ada untukku sehingga aku dijebak oleh diriku sendiri.          

Aku dijebak untuk berharap, padahal semestinya aku tahu diri!         

Baiklah, aku hapus saja kenangan bersamanya dan bersikap bahwa aku tidak pernah mengenalnya.         

"Reset, kembali ke nol!" batinku mengumumkannya.      

Angin membelai sekujur tubuhku yang terlentang memandang langit dari celah daun nyiur yang mengangguk-angguk. Di sanalah semua pertanyaan kugantungkan agar sewaktu-waktu, aku selalu dapat melihatnya dan berjuang untuk menemukan jawabannya.

Ketika aku membacanya satu per satu, rasa letih menggerogoti semua persendian, membuatku lunglai dan kegelapan memenjarakan aku di rembang senja ini.

--000--          

Terasa ada yang membelai rambutku, seperti jemari lembut yang meninggalkan jejaknya di ubun-ubunku. Suara si-Juni terdengar semakin jelas, saat aku membuka kelopak mata perlahan-lahan.     

"Aku tertidur?" pikirku menyadari keadaan, "... kemana langit tadi? kenapa ada wajah"  

"Bang Brad." Suaranya membuatku tersentak.     

"Kenapa kau ada di sini, Dik?" tanyaku setengah sadar lalu meraih si-Juni yang tampak mencemaskanku.

"Sama siapa tadi?" Aku bangkit dengan menarik tubuhku.           

Dia sedang bersimpuh dan menatapku sayu.          

"Naik sampan sendirian, Bang."          

Refleks aku mencari sampan itu.       

"Juni, berisiko tindakanmu ini, Dik! dirimu tak perlu sampai begini–"

Aku berdiri dan menuju ke air diikuti si-Juni.        

"Harus pulang sekarang bersamaku!"          

Dia menyusul sambil berkata, "Saya bisa pulang sendirian, Bang. Biarkan saya di sini dulu."

Aku berbalik ke arahnya untuk menarik sampanku ke air.          

"Tidak. Pulang sekarang, Dik," ujarku tanpa melihatnya lalu bergegas mengikatkan tali sampannya agar bergandengan dengan sampanku. Juni masih berdiri di bibir pantai menyaksikan semuanya.           

"Ayo, Jun!" Aku membopong si-Juni kemudian meletakkannya di sampan.           

"Kau duduk manis di sini, ya! kita mau melaut–"          

"Abang marah padaku?" tanyanya tanpa beranjak.          

Aku menghampirinya dengan senyuman samar dan baru menyadari bahwa setelan pakaiannya tidak seperti waktu kami bertemu di Warung Pojok tadi.

"Tentu saja tidak, Juni. Siapa aku memarahimu? Aku hanya mau dirimu pulang bersamaku sekarang. Ayolah." ujarku lembut.           

Lihat selengkapnya