Pagi yang cerah kami jalani bersama di Telaga Sunyi. Aku berjemur-duduk bersandar pada sebongkah batu dengan kaki yang terendam air-seraya menyaksikan si-Juni bermain ke sana-kemari.
"Hewan saja butuh rekreasi," pikirku geli.
Sayup-sayup terdengar suara dari arah pantai, sepertinya sekumpulan orang sedang menuju ke sini. Si-Juni menyalak memberi tanda sambil keluar dari air lalu berlari ke arah pantai. Tak lama, suara jeritan perempuan terdengar, membuatku bangkit dan menyusul Si-Juni ke sana.
"Juni! ke sini!" Aku berteriak mengamankannya. Ada dua perempuan bermasker dan tiga laki-laki yang mengumpul di hadapan si-Juni yang terus menyalak–sepertinya 'orang kota', kecuali laki-laki yang satu itu.
"Sshh! ayo ke sini, Jun!" panggilku lebih pelan. Ia kembali dengan mengibaskan ekornya.
"Pagi, Bang. Pasti Bang Brad, ‘kan?" ujar yang bertopi pandan riang dan ramah. Dia mendekatiku tanpa ragu. Aku berusaha mengenalinya, tapi tak bisa.
"Ya. Kau siapa, Dik?" tanyaku memerhatikannya, tidak kukenal memang.
"Aku Nas, adik Bang Zam, katanya dia yang bikin sumur di rumah Abang waktu itu."
"Oh, Zam aku masih ingat. Di mana dia sekarang? tak pernah kulihat pun," ujarku ramah. Perempuan yang bertopi motif kotak-kotak itu memandangku penuh perhatian, seperti sedang di-briefing.
"Di Kota Dua, Bang. Kerja di sana dia. Ini kawan-kawannya satu kerja, mau ke telaga. Boleh, ‘kan, Bang?"
Aku tertawa, "Bolehlah, telaga itu ‘kan punya masyarakat sini. Aku cuma menjaganya, Nas."
Mereka ikut tertawa, tapi yang satu itu terus memandangku seperti terkagum-kagum, padahal aku sedang bercelana buntung saat ini–atau mungkin dia ada mendengar kisah tentangku di Pulau Apung ini.
"Silahkanlah, Dik. Kami pun mau pulang dulu ini."
"Rumah Abang di sebelah mana?"
"Ikuti saja jalan setapak itu, Nas. Nanti ketemu kok rumah panggungnya." ujarku sambil mengajak si-Juni yang sudah tenang.
"Boleh singgah nanti, ‘kan, Bang? Penasaran aku soalnya karena cerita Bang Zam."
Aku menoleh ke belakang dan bertemu lagi dengan pandangannya.
"Boleh. Datanglah ke pondok kami, tapi tak ada apa-apa di sana ya, Nas!"
"Ah, Abang ini. Melihatnya saja pun sudah senang kok," balasnya tertawa-tawa.
"Sudah, ya. Selamat bersenang-senang di Telaga Sunyi!" kataku meninggalkan mereka.
"Kok Telaga Sunyi? kata Zam namanya Telaga Cinta," ujar perempuan yang tak kutahu entah yang mana.
Aku dan Juni singgah sebentar ke Telaga Sunyi untuk mengambil perlengkapan mandi lalu kembali ke rumah. Menurut jadwal, banyak yang mau kami kerjakan hari ini–kegiatan yang membuat senja datang dengan cepatnya.
--000--
Benang kasur bangunan sudah terpasang di kedua patok pembatas area belakang rumah panggung. Aku sedang memasang benang di kedua patok lainnya–sebagai mal untuk lebar parit yang mau kugali–saat rombongan Kota Dua tiba di sini. Penampilan mereka memang modis bergaya metropolis.
"Bang Braaad," teriak Nas yang berjalan di depan.
Si-Juni langsung bereaksi, tapi sudah tidak se-galak tadi. Aku melambaikan tangan sambil menyelesaikan simpul ikatan yang terakhir.
"Cepat kali selesai?" kataku menyambut mereka.
"Sudah puas berenangnya, Bang," sahut laki-laki yang berkacamata, "perkenalkan, saya Wawan, "sambungnya sambil menurunkan tas ransel yang tampak penuh.
"Saya Rahmat, Bang. Ini Uma–"
"Halo Bang–" Perempuan itu tersenyum ramah.
"Ini Leli ... Bagus sekali tempat ini, ya, Bang."
"Salam kenal, Bang Brad," ujarnya tersipu-sipu, entah kenapa.
"Selamat datang di Pulau Apung, ya!" sahutku ramah.
"Siapa lagi itu, Kawan?" Bukit Hijau mulai mengawasi kami.
"Orang Kota Dua, temannya si Zam yang membuat sumurku ini dulu."
"Ah, bakal panjang ceritanya ini, Brad."
"Biar sajalah, Kawan. Semakin ramai yang berkunjung ke sini, kita semakin terkenal, ‘kan?"
Benar-benar sendirian di sini, ya, Bang?" Rahmat mencurigaiku begitu memandang semua kebun.
"Ya, lebih enak sendirian ... kalau ada teman, mana bisa jadi yang seperti ini–"
"Malah jadi cerita-cerita melulu, kan, Bang?" Leli mengikuti pikiranku.
Aku tertawa lalu membawa mereka berkeliling kebun.
"Bang Zam kagum sekali sama Abang. Dia bilang, Abang sudah gila karena berani tinggal di sini."
"Sudah berapa lama, Bang?" Leli memandangku, parasnya yang elok, bisa sekali menarik hati banyak lelaki.
"Setahun lebih. Tak terasa memang. Kalian kerja di mana, Dik?"
"Di bidang ekspedisi, Bang. Kami di bagian office, Zam bagian lapangan. Waktu tahu kami mau weekend ke Desa Damai, dia bilang, kalian singgahkan ke Pulau Apung–"
"Telaga Cinta-nya bagus, romantis, terus ... penghuninya cuma satu, tampan, tapi kalau Abang itu masih ada ya. Ternyata Abang masih ada ... dan memang tampan!" ujar Wawan dari sampingku.
Aku tertawa memandang mereka.
"Kalian semua tinggal di Kota Dua? Aku orang Kota Dua, lo?" kataku mengejutkan mereka.
"Kami kira penduduk di sini, Bang. Di mana Abang di Kota Dua?" tanya Leli bersemangat.
"Jalan Melinjo, Komplek Pandu." Perasaan tidak nyaman mendatangiku. Seperti apa rumah kami itu sekarang? Siapa–
"Oh, tahu, Bang ... saya di Panglima Polem," jawab Leli dengan riang.
"Panglima Polem? Daerah rumahnya Citra," pikirku mulai awas.
"Panglima Polem nomor berapa, Dik?" tanyaku bergaya basa-basi.
Kami berhenti di kebun kacang, sedangkan yang lain menuju ke kebun cabai ditemani oleh si-Juni.
"Nomor 17–"
"Tujuh belas?? rumah Citra itu. Alamak!" batinku risau.
"Sudah lama tinggal di sana?"
"Baru ... lima bulan. Itu rumah paman saya, Bang. Kalau orang tua di Merangir. Ada yang Abang kenal di Panglima Polem?" selidiknya hati-hati.
"Ah, tidak ada, Dik, tapi dulu aku sering lewat dari situ–"
"Saya kira ada yang Abang kenal di sana. Pertanyaannya detail sih."
Aku segera tertawa menyembunyikan keterkejutanku.
"Habis aku, Bukit Hijau! Leli ini sepupunya Citra!"
"Waduh! Brad ... Brad. Kenapa tepat sekali kebetulan ini, ya?"
"Nasib apa lagi yang akan kuterima ini?"
"Tenang saja dulu, Kawan ... yang penting jangan sampai dia tahu–"
"Lel, bawa Bang Brad ke sini, biar berfoto kita," teriak Rahmat tak sabar lagi.
Maka kami pun berjalan santai mendatangi mereka. Tidak ada firasat yang aneh, waktu dia mengajakku berpindah tempat.
Tiba-tiba Leli berkata lirih di dekat telingaku, "Mbak Citra titip salam untuk Abang."
"Aaaa ...." pikiranku menjerit panjang, napasku nyaris putus.
"Kenapa, Brad?" tanya Bukit Hijau cemas.
"Ternyata dia tahu siapa aku. Matilah aku, Bukit Hijau–"
"Waktu saya minta izin mau ke sini, Mbak Citra berpesan, kalau kamu ketemu dengan Brad, sampaikan salamku, ya."
Aku membeku seketika. Wajahnya kembali terpampang di batinku. Wajah yang harus kuhapus berkali-kali, baru bisa sirna.
"Dari mana dia tahu aku di sini? Apakah Sam yang memberitahunya? atau Jodi?" batinku galau.
"Abang terima salam–"