BRAD

KH_Marpa
Chapter #14

"Menembus Jiwa-KU"

Melewati Balai Desa, membuatku teringat padanya.           

Lama kupandangi jalan ini, yang sudah berkali-kali kami lewati bersama sepeda motor matic-nya. Aku kadang bingung menempatkan diriku terhadapnya. Perasaanku memang senang jika bersama Juni, tapi bila tidak bertemu dengannya, terasa biasa saja, tidak sampai membuat hati merindu.           

Dengan ragu, aku menyimpang ke arah kanan.           

"Mengopi dulu biar semangat," pikirku menuju ke Kedai Kopi Langganan.           

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara perempuan dari arah belakang.           

"Mau ke mana pagi-pagi, Sayangku?"           

"Ha? Juni?" batinku senang.           

Aku segera berhenti dan memegang setang sepeda motornya.           

"Lagi luntang-lantung, Dik." Aku tertawa, "Apa kabar, Juni?"           

"Berawan, Bang." Dia mematikan sepeda motor lalu turun.          

"Ayo, Bang! antar saya ke puskesmas, habis itu Abang saya antar ke pelantar, ya!" ujarnya lagi sambil melepaskan helm dan memberikannya padaku.          

"Kalian boleh ambil cuti mendadak, Dik?" Aku menaiki sepeda motor dan menunggunya.

"Kalau urusan keluarga, boleh–sebenarnya boleh saja, Bang," katanya ragu lalu duduk dengan melingkarkan tangan kanannya ke pinggangku, "tumben Abang bertanya?"         

"Ambil cutilah, Dik. Bilang urusan berkeluarga, ya!" Kontan dia mencubit pinggangku.   

"Ampun, sayang!" Aku tersentak dan refleks menangkap tangannya. Dia tertawa riang.     

"Abang sadar tidak? seperti kita ini-lah, yang namanya hubungan tak jelas," ujarnya tertawa, "dibilang kekasih, bukan; dibilang sekadar berteman, amit-amit–benar-benar tak jelas!"        

Lepaslah tawaku mengejar pagi.          

"Biarpun tak jelas, tapi kita senang dibuatnya, ‘kan? justru yang jelas itulah terkadang menyebalkan. Setuju tidak?"         

"Kalau tak jelas terus, kapan bisa punya anaknya, Bang Brad? Memangnya Abang tak ingin berketurunan? Hayo!" balasnya membungkamku. Aku terperangah dan tertawa.          

"Tak usahlah memancing di air keruh, Dik. Ikannya kecil-kecil semua."          

"Makanya kita harus pandai-pandai meniti buih ini, Bang ... biar selamat kita sampai ke seberang." Masih juga dia membalas sambil tertawa.          

"Baiklah, bagaimana caranya supaya jelas, Dik?"          

"Kurang pas membicarakannya di atas sepeda motor, Bang." Dia tertawa pelan. "Kita cari tempat, ya–"

"Tapi mau ke puskesmas," balasku keberatan.          

"Aku ambil cuti saja–"          

"Jangan, Dik. Cutinya besok atau lusa saja, biar kita ke Pulau Apung. Nanti kujemput ke rumah. Bagaimana?"          

Dia terdiam dan lingkar tangannya pada pinggangku mengendur.          

"Abang bukan sedang bercanda dalam badai, ‘kan?"          

"Bukan! Serius ini, tapi terserahmu, ya, Dik. Tidak harus." Dia membisu cukup lama.      

Sebentar lagi kami akan tiba di pertigaan menjelang puskesmas. Aku sengaja memperlambat kecepatan sepeda motor agar sempat mendengar bicaranya.          

"Kenapa jadi diam, Dik?"          

"Tak apa-apa, Bang ... nanti Abang tunggu sebentar, saya mau isi absen dulu, ya."          

"Oke, Juni," sahutku bertanya-tanya. Sepertinya ada yang tidak mengena di hatinya.       

"Apakah karena usulanku tadi?" pikirku sambil melewati gerbang puskesmas.          

"Sebentar, ya, Bang." Dia bergegas turun dan menuju ke gedung.          

Sepeninggal Juni, aku kembali memikirkan 'diamnya' tadi.           

"Apa dia kira aku mendiktenya? ‘kan sudah kubilang itu cuma usulan, tidak mesti diterima–"

"Halo Bang Brad. Apa kabarnya?"          

Aku menoleh, "Baik, Dik. Ke mana saja selama ini?" Tiba-tiba Ciku datang bersama Juni, suaranya selalu terdengar riang.          

"Terbalik. Abang yang selama ini ke mana saja," balasnya menyentuh lenganku, "kalian mau ke mana, Bang?"          

Aku tertawa melihat gayanya.         

"Cuma mau ke pelantar, Dik. Habis itu Juni kembali ke sini kok."          

"Oh, jadi kalian sedang main antar-antaran nih ceritanya, ya, Bang?"          

"Ita mana, Ci?" Aku coba mengalihkan pikirannya waktu Juni mengambil tempat di belakangku.          

"Belum datang, Bang. Mungkin sebentar lagi–tunggu, aku foto dulu kalian, ya? bagus kulihat–"

"Apa pula ini, Dik?" tanyaku kaget, "masa bermasker difoto?"          

"Ya dilepas dululah, Bang ... biar bisa dibaca, berjodoh apa tidak," katanya tanpa beban.          

Ciku tampak sibuk dengan ponsel-nya. Juni masih no comment, tapi dia mau ikut melepaskan maskernya.          

"Kalian terlalu jauh, Bang. Macam musuhan jadinya."          

Aku dan Juni tertawa bersama. Tanpa kuduga, Juni merapat padaku, membuatku jadi risi.

"Harusnya aku yang mendekat," pikirku merasa bersalah.          

Sebelum Ciku berkata lagi, dengan perlahan aku merangkul pundak Juni dan dia membiarkannya.          

"Aa, so sweet, Bang Brad! iri hati aku," katanya sambil mengatur bidikannya. Dua kali 'klek' terdengar.          

"Oke ... ampuuun, serasi banget kalian rupanya, Bang. Nih, lihatlah–"          

"Mana?–"          

"Coba lihat, Bang." Juni meminta dengan lembut lalu kami berdua melihatnya.          

Benar kata Ciku, kami berdua tersenyum dan tertawa dengan tulusnya! Siapa pun yang ditanya, pasti setuju bahwa ini adalah foto sepasang kekasih yang sehati.          

"Jangan share sama yang lain, ya, Ci," pinta Juni berhati-hati.          

"Baik, tenang saja, Jun. Cuma sama-mu saja–"         

"Aku pun jangan!"          

Ciku terkesiap. Aku pun terkejut mendengarnya, tapi segera kusembunyikan.          

"Jadi maumu bagaimana, Jun? Aku tak mau men-delete-nya ... rugi besar aku!"          

"Kau cetak dulu–" Juni senyum-senyum.          

"Hah! Kau ini–" Ciku terbelalak, siap membalas.          

"Full color, glossy paper"          

"Kucubitlah kau nanti–" Ciku tampak geram sekali.           

"Habis itu, baru kau share ke seluruh dunia, ya!" Juni tertawa panjang dengan senangnya, biarpun Ciku sedang mencubit pipinya dengan gemas.         

Di halaman depan puskesmas ini, kami melukis tawa dan jeritan manja dengan warna-warni yang sungguh indah.          

Setelah Ciku pergi, Juni menatapku.          

"Saya cutinya hari ini, Bang. Kita ke rumah dulu, habis itu ke Kota Dua pun boleh," ujarnya dengan tenang.          

Aku terhenyak, tak berani menatapnya lagi.          

"Aduh! mati lalat ijo!" pikirku gusar.          

"Abang mendengarku?"          

"Ya, Juni. Aku mau ke rumahmu."          

Aku menatapnya yang sedang tersenyum indah di hadapanku. Perasaan haru merambat ke sekujur tubuhku dan kehangatannya menenangkan.         

Kemudian, kami kembali berkendara, menyusuri jalan tanpa berbicara dan menuju ke rumahnya–tempat yang seharusnya sudah kudatangi, bila rindu ada di hatiku–.           

"Mari masuk, Bang." Juni mengajak dengan ramahnya. Suasana rumah yang asri ini terlihat sepi.   

"Ibu .... Bu." Juni memanggil ibunya dengan suara mengayun.          

Pintu terbuka dan seorang ibu yang sebagian rambutnya sudah memutih sedang memandangku penuh tanya.          

"Lo, tak kerja Ni?"           

"Ayo masuk, Bang ... cuti, Bu ... ada urusan penting."          

"Selamat pagi, Bu .... " sapaku dengan hormat.           

"Pagi, Nak–"           

"Ini Bang, Brad, Bu ... temannya keponakan Wak Luta." Juni terdengar begitu percaya diri.

"Oh, iya? temannya Ita?"          

"Bukan, Bu. Temannya Bang Sam yang di Kota Dua. Duduk dulu ya, Bang–" Juni meninggalkanku.          

"Silahkan duduk, Nak."           

"Terima kasih, Bu."           

"Tinggal di mana?" Ibu ini memandangku dengan ramah.          

"Dibuka saja maskernya sebentar, biar Ibu tahu wajahnya, Nak Brad."          

Aku tersenyum begitu melepaskan masker.         

"Oh! sudah Ibu lihat," sambungnya tampak puas.          

"Saya tinggal di Pulau Apung, Bu," sahutku dengan tenang. Pertanyaan berikutnya sudah bisa kubayangkan.         

"Oh, Pulau Apung ... Nak Brad ini yang diceritakan Adi dulu, ya, Ni?"          

"Ya, Bu!" sahut Juni dari dalam kamar.          

"Hm, benar-benar terkesan rupanya si Adi, sampai aku diceritakannya kepada keluarganya ini."          

"Bagaimana kabar Adi, Bu?" tanyaku mengakrabkan suasana.          

"Baik, dia di Kota Tujuh, kuliah di sana ... kamu memang sendirian di Pulau Apung, Nak?"          

"Ya, Bu. Sementara begitu dulu, sudah berjalan setahun lebih–"          

"Wah! Lama itu, Nak. Kenapa bisa ke sana?" Wajahnya sangat bertanya-tanya.          

Juni keluar dari kamar dengan setelan pakaian bergaya kasual. Dia terus menuju ke belakang.

"Sebentar, ya, Bang. Pasti belum sarapan, ‘kan?" Senyumnya indah dan akrab, membuatku nyaman.          

"Tak usah repot-repot, Dik–"          

"Biar saja, Nak. Dia memang suka masak."          

Ibu tersenyum ramah, "pertanyaan saya tadi belum dijawab," sambungnya mengingatkan.          

"Oh ... saya ke sana mencari ketenangan saja, Bu–"          

"Keluarga mengizinkan?" selidiknya penuh perhatian.          

"Tidak meminta izin, Bu. Setelah kepergian Ibu, saya tinggal sendirian–"          

"Saudara lainnya?"          

"Saya anak tunggal, ada dua saudara dekat di Kota Dua, Bu ... saya cuma permisi mau berkelana jauh, tapi tidak minta izin."         

"Oh, begitu. Apa tidak sayang kamu meninggalkan Kota Dua, Nak?" tanyanya prihatin, "menyendiri di Pulau Apung sana, tentu sesuatu yang sangat aneh menurut orang, ‘kan?"          

Aku tersenyum getir memakluminya.          

"Saya kurang begitu peduli dengan pendapat orang, Bu ... nyatanya di sana saya menemukan apa yang saya cari-cari selama ini."         

"Oya? saya kok jadi ingin ke sana membuktikannya." Dia menatapku ramah.          

"Boleh–"          

"Ayo kita sarapan dulu, Bang." Juni datang menyelamatkanku.          

"Sarapanlah dulu, Nak Brad."          

"Terima kasih, Bu," sahutku dengan hormat dan mengikuti Juni.          

Begitu tiba di dapur, aku terkesima melihat yang disediakan Juni untukku. Ini bukan menu sarapan, melainkan menu makan siang.          

"Makan buahnya dulu ya, Bang ... biar rezekinya lancar." Dia tersenyum mengerlingku dan membuatku tertawa pelan.          

"Kopi tawarnya yang terakhir–"          

"Biar?" Aku menarik kursi di hadapannya.         

Lihat selengkapnya