Bang Brad,
Kalau Abang sayang padaku, datanglah lagi ke rumah. Seandainya Abang tidak sayang–amit-amit! Bisa menangis saya, Bang Brad!) saya berharap, HIDUP tidak mempertemukan kita lagi.
Buat apa kita dipertemukannya kalau hanya untuk melukai kita, 'kan Bang?
Saya akan selalu ingat, tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, yang ada hanyalah ketepatan.
Salam dari yang selalu menantikanmu.
JS.
Aku melipat surat ini dengan perasaan nestapa yang kembali datang setelah kepergian ibu. Sudah 7 kali aku membacanya dan suara Juni selalu terdengar dengan intonasi yang sama!
"Kau minta aku menunggu supaya kau bisa menuliskan surat ini? ah! katakan saja tadi waktu kita di sini, Dik."
Akhirnya, dia memberiku dua pilihan, tapi aku ingin mengambil semuanya. Tak mau memilih salah satunya!
"Kenapa kau melibatkan dia dalam urusanku denganmu, wahai Hidup? kalau memang aku yang kau incar, lampiaskan saja padaku, jangan menyasar ke dia. Salah apa dia di matamu? Singkirkanlah tanganmu dari padanya, jangan mengganggunya lagi!"
Tiba-tiba si-Juni melompat ke pangkuanku di tangga ini.
"Ups! ada apa, Jun?" Aku mendekapnya dengan gemas.
Ia sudah memerhatikan, sejak aku mulai membaca surat ini waktu melewati kebun pisang.
"Aku tak apa-apa," ujarku menjawab salakannya.
"Ada masalah, Brad?"
"Sedikit ... karena surat ini–"
"Kau membuatnya terombang-ambing, Kawan."
"Aku tak bermaksud begitu, tapi seharusnya bisa kucegah–apa kau pernah dengar aku memberinya harapan?"
Bukit Hijau tertawa pelan, "Seingatku di sini tidak ... tapi entahlah kalau di tempat lain–"
"Tidak juga! lalu apa yang harus kubuat, Bukit Hijau?"
"Tanyakan pada hatimu sendiri, Brad. Kalau aku–maksudku kami–maunya kau bahagia di sini, bukan di tempat lain."
"Bahagia seperti apa maksudmu?" Aku melepaskan si-Juni, "kesibukan di sini sudah membuatku bahagia kok!"
"Kau butuh ... kasih sayang, Brad?"
Aku tertawa, "Sejak mengenal Juni ... jadi butuh, tapi ... kalau pas bertemu saja, apalagi setelah kusaksikan bagaimana dia melayaniku makan–seperti ibuku, Kawan."
"Oh, begitu! kusarankan, sebaiknya kau tak menemuinya lagi–"
"Nanti dikiranya pula aku tak sayang! Kau tahu, aku sudah bisa cemburu kalau ada yang mendekatinya, Kawan. Horor, ‘kan?"
Besar kali dia tertawa!
"Sepertinya dia yakin kau akan datang, Brad! Atau dia tetap menunggumu, biarpun banyak yang mendekatinya."
Aku tercenung, "Skenario-mu yang ke dua tadi terlalu kejam, Kawan. Malapetaka itu–"
"Bagaimana kau ini? sudahlah, datangi saja dia!"
Aku terbahak-bahak.
"Aneh kau! mau kau ambil langit dan bumi ini semuanya ... memangnya cuma kau sendirian di dunia ini, Brad? harus kau pilih salah satu, tahu?"
"Harus salah satu?–"
"Harus! itu baru jantan namanya."
Lalu aku bangkit menuju ke belakang dan secepatnya kuambil perlengkapan mandi.
"Cepat kali kau mandi?"
"Aku mau ke rumahnya, Kawan! ‘kan kau bilang harus pilih salah satu."
"Tapi ini sudah sore, Brad!"
"Ah! jantan-lah sedikit, Kawan!"
Bukit Hijau terdiam. Bisa jadi ia sudah lari terbirit-birit!
Jangankan orang lain, aku sendiri pun tak percaya pada penampilanku di senja ini. Setelan mentereng ala Kota Dua dibalut jaket parka army!
Langkahku begitu pasti memasuki rumah Juni yang tampak gelap ini.
"Kenapa belum menyalakan lampu?" pikirku agak bimbang.
Aku melirik sepeda motor yang membuatku jadi sedikit tenang.
"Semoga saja–" batinku sambil mengetuk pintu dengan lambat. Tiga ketukan, berhenti sebentar ... tiga ketukan lagi–
"Permisi .... " Belum juga ada tanda-tanda.
Aku mengulanginya sampai tiga kali ... dan tetap sepi!
"Ah! memang sudah bukan waktuku!" pikirku lemas.
Dengan tabah aku melangkah pergi tanpa melihat ke belakang lagi.
"Sudah kubilang: jangan! tapi kau keras kepala–"
"Aku hanya berusaha–"
"Boleh-boleh saja, tapi kau harus tahu diri–"
"Siapa?"
"Itu suaranya!" Aku langsung berhenti, menunggu apakah benar yang kudengar barusan.
Tiba-tiba lampu teras menyala dan kunci pintu seperti sedang dibuka. Aku tetap mematung, tak berani menoleh ke belakang.
Pintu sedang dibuka, "Cari siapa, ya?"
"Juni?" Aku berputar perlahan-lahan.
"Bang Brad?!"
"Masih ada waktu ternyata."
Aku tersenyum lega memandang keterkejutannya lalu dia berlari menghampiriku!
"Kenapa terus pergi, Bang?" tanyanya secepat kilat sembari memegang tanganku.
"Kukira tidak ada orang–"
"’Kan ada sepeda motor–" Dia membawaku ke dalam rumah dengan senyum indahnya.
"Ibu sama bapak lagi keluar sebentar–aduh! saya mandi dulu, ya, Bang!" ujarnya sambil menyalakan lampu.
"Abang sudah makan?" sambungnya seperti panik memandangku.
"Sudah ... tadi pagi di sini, Dik–"
"Ah! Bang Braaaad! Bang Brad!" Tawanya sungguh menggemaskan.
"Tak usah repot, Juni–"
"Jadi mau minum dulu? ... tapi nanti ... tak selera makan, Bang–air putih saja dulu, ya!"
Aku menangkap tatapannya.
"Aku kemari mau bertemu denganmu, Dik–"
"Iya, dong! masa mau ketemu Ibu, Bang?" Dia mulai sadar dan menjadi tenang.
"Mantap, Sayang!" ujarnya mengacungkan jempol kanan dengan riangnya memandangku.
"Ya, ampun! itu gaya ibu kalau memujiku."
"Ah! kok baru bilang sekarang, Dik?" Aku tertawa mengagumi senyumnya.
"Selama ini cuma dalam hati, Bang–saya mandi saja dulu, ya! jadi minder lihat Abang se–"
"Di sini sajalah dulu, Dik ... langka lo bisa melihatmu baru bangun tidur begini."
"Jelek, ya, Bang?" tanyanya ragu.
"Jangan menghina, Juni! tersinggung aku."
Dia tertawa lepas sambil memandangku dengan mesra.
"Rasanya seperti bermimpi melihat Abang tadi ... langsung datang Jagoannya!"
"Sebaiknya mandi saja dulu, ya, Dik. Kemalaman nanti." Aku tersenyum memintanya.
"Oh! Baik, Bang. Aku ambil air putih dulu, ya!" Dia beranjak ke dapur dengan gesitnya. Sebentar dia sudah di depanku.
"Saya mandi dulu, ya, Bang."
"Aku di teras saja, ya, Dik."
"Mau merokok?–"
"Kurang pas saja kalau aku di sini," aku bangkit sambil mengambil minuman, tapi dia mencegahku dengan lembut.
"Biar saya saja, Bang."
"Aduh!"
"Terima kasih, Juni."
Sesampainya di teras, aku duduk menjauhi pintu.
"Tunggu sebentar, ya, Bang." Dia bergegas ke dalam.
Sambil melamun, aku memandang malam di Desa Damai ini. Kendaraan cukup sering melintas di depan rumah, membuat lamunanku sering terputus.
"Dari mana nanti aku memulainya supaya dia tidak tersinggung?" Aku menyalakan rokok dengan setengah hati.
"Semakin sering bertemu, aku semakin menyukaimu, Juni. Banyak sikapmu yang mengingatkanku pada ibu–Oh, tidak!"
Tiba-tiba aku jadi teringat kata-kata Ibu: kau tidak akan bahagia bersama Citra, Brad. Carilah yang lain–
"Apa karena Citra? ... aduh! ... dia memang dominan orangnya ... tipe wanita karier berselera tinggi dan ambisius, tapi dia menyayangiku dan–"
"Sebentar ‘kan, Bang?" Juni muncul dengan wajah yang cerah dan menawan.
Aku beringsut pelan, "Ya, Dik. Mantap!" ujarku menirukan gayanya tadi.
"Saya cuma mengimbangi penampilan Abang lo?" balasnya tertawa riang.
"Kalau sudah serasi begini, tandanya mau ke luar, ‘kan?" Aku tersenyum ingin memeluknya.
"Anggun kali kau, Juni!"
"Abang maunya kita ke mana?"
"Tergantung kepulangan Bapak sama Ibu, Dik–"
"Oh! Kami punya kunci rumah masing-masing, Bang–"
"Jangan, Juni ... kita pasrahkan sama orang tua saja. Kalau mereka mengizinkan kita, pasti sebentar lagi mereka pulang–"
"Abang lucu! masa jatuhnya ke orang tua sih!"
"Bersyukurlah masih punya orang tua, Dik–"
"Maksudku bukan itu, Bang," bujuknya dengan sungguh.
"Aku mau berkenalan dengan Bapak."
Wajahnya merona, manis sekali!
"Waktu melihat foto-foto kita, Bapak bilang Abang orang yang penyayang lo? Ibu pun bilang begitu."
"Saking sayangnya-lah, aku membebaskanmu, Juni!"
"Bawaan lahir, Dik–"
Dia tertawa menatapku.
"Tapi tak ada yang mau benar-benar menyayangiku. Hanya sekadar sayang–"
"Yang benar-benar seperti apa?" Dia serius menunggu jawabanku.
Aku terdiam sebentar.
"Mustahil ada, Brad! Sadarlah kau."
"Sudah kubilang ini usaha!"
Ponselnya berbunyi nada panggilan.
"Sebentar, Bang ... Heru–"
"Kenapa tidak diangkat, Juni?"
"Biar saja, Bang ... nanti berhenti sendiri–" sahutnya ketus sambil meletakkan ponsel ke atas meja.
"Tapi dia temanmu, 'kan? Terimalah–"
Juni memutar tubuhnya menghadapku, "Abang datang ke sini karena sayang atau karena kasihan?" ujarnya menahan emosi.
Aku terkesiap! Pukulan ini merobohkanku sejadi-jadinya.
"Menurutmu?" Aku menatapnya pasrah.
"Kasihan!" Matanya berkaca-kaca.
"Terima kasih, Juni," sahutku lirih lalu berdiri, "permisi, Dik."
Aku meninggalkan rumah ini dengan langkah panjang yang cepat ... dan dia membiarkannya.
"Masih keras kepala juga?"
"Baiklah, kau yang menang!"
Jalan yang kupilih ini, lebih jauh dari jalan yang biasa kulewati untuk ke Pelantar Dua. Aku sengajakan untuk menghindari Juni–kalau-kalau dia menyusulku dengan sepeda motornya–. Saat ini perasaanku sedang membeku dan mati rasa. Tidak ada kesedihan, tidak ada kegembiraan! Hampa!
Lalu sekonyong-konyong gerimis turun, menemaniku berjalan. Aku terus berjalan ke pelantar.
"Satu belokan lagi," kataku lirih menelusuri jalan tanah berwarna kuning ini. Tiba-tiba gerimis menjadi hujan yang deras bertiupkan angin sehingga aku memasang penutup kepala parka.
"Kayaknya belum jam sembilan ini," pikirku membayangkan si-Juni.
"Bingo! Pelantar Dua!"
Aku berlari kecil memasuki gang pelantar yang sepi. Cahaya lampu pada tiang di sepanjang pelantar berpendar di antara butiran hujan.
Aku hendak turun ke tangga saat terdengar teriakan suara perempuan dari belakang.
"Bang Braaad!"
Dua orang bermantel dan berpayung sedang berdiri di sana.
"Makhluk apa lagi ini?" pikirku heran.
Si-Mantel warna kuning berlari ke arahku, disusul oleh yang memakai payung.
"Baang!" teriaknya melawan suara hujan.
"Juni?" Aku segera menyongsongnya dengan cemas.