Rumah bercat krem muda ini seperti menyambut kedatanganku dengan ramah. Barangkali ia memang menungguku sejak malam berhujan seminggu yang lalu.
Aku membuka pintu gerbang sambil berharap Juni ada di rumah, sekalipun sepeda motornya tidak ada di sini, melainkan sepeda motor yang lain.
"Permisi–" Aku mengetuk pintu sambil menunduk.
"Sebentar-" Suara laki-laki menyahut dari dalam.
"Bapaknya?" Aku menegakkan badan.
"Selamat sore, Pak." Aku mengangguk sopan.
"Sore–" Bapak ini memandangku dengan tanya.
"Siapa itu, Yah? ... Eh, Nak Brad." Ibu menghampiriku sambil tersenyum.
"Iya, Bu–"
"Masuk dulu, Nak ... Juni-nya belum pulang kerja."
"Oh. Kalau begitu–" Aku mulai gugup.
"Ditunggu saja, Nak Brad–"
"Atau kita di teras saja, Brad?" Bapak keluar sambil menyalakan rokok.
"Baik, Pak. Saya sama Bapak, ya, Bu!" Aku mengangguk dan mengikuti bapak ke teras.
"Duduk, Brad."
"Terima kasih, Pak."
Kami terdiam sebentar sembari memandang jalan raya di sore hari.
"Dari mana tadi?"
"Dari Pulau Apung, Pak–"
"Oya, saya sudah lihat foto-fotonya ... hebat kerja kamu itu, Brad."
Aku tersenyum sambil mengeluarkan rokok.
"Biasa saja, Pak ... kegiatan biar tidak suntuk."
"Katanya dulu kamu ke sana dengan Wak Luta, ya?"
"Iya, Pak. Almarhum pamannya Sam, sahabat saya waktu di Kota Dua."
"Iya ... Juni sudah menceritakan semuanya."
"Sudah tahu semua berarti."
"Kamu main catur?" sambungnya mendelik.
"Bisa sedikit, Pak."
"Berarti jago itu!" Beliau tertawa, "jadi penasaran saya."
"Ah, Bapak–" Aku mulai santai.
"Bu, siapkan kopi, ya! ada lawan ini–"
"Main catur, ya, Pak?" Suara Ibu agak cemas.
"Iya, melawan master Pulau Apung." Bapak tertawa pelan.
Ibu datang sambil tertawa riang.
"Bapak jangan diladeni, ya, Nak Brad ... bisa berjam-jam lo?"
Aku tertawa, "Maksud Ibu, Bapak jangan dikasih menang biar mainnya enggak berjam-jam?"
"Waduh! tantangan serius ini, Bu!" Bapak menyusun 'pasukan' putihnya di papan.
"Bapak jago lo–"
"Ibu siapin saja kopinya biar bisa kami mulai," sela Bapak tidak sabaran.
"Beres, Pak ... tapi harus menang, ya!" sahut Ibu sambil berlalu.
Kami tertawa-tawa dengan akrabnya.
Sejurus kemudian, aku dan bapak sudah terlibat peperangan sengit merebut sembilan petak tengah papan catur ini.
"Boleh tahan Beliau ini," pikirku yakin menang.
"Lo? kok kalah, Pak?" Ibu datang membawa kopi dan pisang goreng. Beliau menarik kursi dan bergabung dengan kami.
"Belum ini, Bu ... masih lama."
"Ayo diminum kopinya, Nak."
"Bapak mengalah, Bu ... belum panas–"
"Dia memang jago, Bu–" Bapak tertawa-tawa.
"Nah! itu Juni pulang."
"Syukurlah."
Aku menyusun buah putih di papan sambil menunggu suaranya yang merdu itu.
"Siapa tamu kita ini, Bu?" Suara Juni terdengar dari belakangku di antara bunyi mesin sepeda motor.
"Brad, Ni!"
"Ha? Bang Brad?"
"Iya sayang! kok lama kali pulangnya?"
"Halo, Dik," sapaku tersenyum padanya.
Dia membalas senyumanku dengan mata berbinar-binar.
"Lama nunggu-nya, Bang?" Dia berdiri di sampingku.
"Kalau tadi kamu ada, mana Bapak tahu kalau dia jago main catur, Ni!"
"Jadi Bapak kalah?" Juni menyentuh bahuku dengan lembut.
"Mengalah ... kata Brad tadi, Ni," sahut Ibu sambil berdiri.
Juni tertawa dengan riangnya.
"Saya baru tahu Bang Brad pintar main catur, Pak!"
"Lagi beruntung saja, Dik," ujarku sambil me-rokade panjang.
"Kita ke dalam saja, Ni ... biarkan mereka asyik berduaan di sini."
"Ya, Bu-sebentar, ya, Bang!" ujarnya menekan pundakku.
"Ya, Dik!" Aku tersenyum memandangnya lalu melangkahkan kuda ke posisi 'mengunci'.
Setelah itu kami lanjut ke partai berikutnya dalam suasana yang akrab. Bapak berkali-kali 'menyesali' langkah buah caturnya dan ketika Juni datang, kami mengakhiri permainan.
"Lain kali kita sambung, ya, Brad. Bapak mau keluar dengan Ibu sebentar."
"Siap, Pak!" sahutku menyambut jabat tangan beliau dengan hormat.
"Sebentar, ya, sayang." Bisik Juni membereskan meja ini.
"Jangan lama-lama, aku rindu."
Dia tersenyum manis sambil menyentuh pipiku dengan mesra lalu masuk ke rumah.
"Terima kasih, wahai Hidup!" batinku haru, "akhirnya rindu bisa kurasakan lagi."
"Nanti makan dulu sebelum pulang, ya, Nak." Ibu dan Bapak memandangku dengan hangat.
"Mereka menerimaku?"
"Terima kasih, Bu." Aku bangkit mendekati mereka.
"Kami pergi dulu, Brad. Ingat yang Bapak bilang tadi, ya!"
Aku dan Juni mengikuti beliau ke gerbang sambil tertawa.
"Bapak bilang apa, Bang?" tanya Juni setelah orang tuanya pergi.
"Soal catur-aku jadi lapar karena main catur tadi, Dik."
"Oh! ayolah, Bang. Saya pun sudah rindu kali–" sahutnya menggandengku sambil tertawa.
Sebenarnya aku belum lapar, tapi aku ingin sekali merasakan perhatian Juni yang mendamaikan hati saat menemaniku makan. Dia melayaniku dengan mesra–lebih dari yang kuharapkan–dan ketulusannya sangat terasa di hatiku. Sikapnya membuatku jadi laki-laki yang paling beruntung se-nusantara ini.
"Terima kasih, Dik. Sorry jadi merepotkan-"
"Kewajiban ini, Bang ...," dia tersenyum," ... dan memang hak Abang untuk menerimanya."
Aku terpukau dalam haru yang aneh–belum pernah kurasakan.
"Seperti inikah yang kau maksudkan dahulu, Bu?"
Kusentuh jemarinya yang sedang membereskan meja makan di depanku.
"Jangan bilang begitu lagi, ya!" Aku meresapi kehangatan telapak tangan kanannya.
"Jadi ingin aku melamar-mu dibuatnya."
Dia terperanjat senang.
"Semoga kita tidak sedang mendongeng, ya, Sayangku–"
"Ini nyata, Sayang ... duduklah biar dirimu sadar," ujarku sambil meminggirkan peralatan makan ini.
Senyumannya membuatku 'terbang'.
"Juni Sartika, maukah dirimu menjadi hidupku?"
Kedua jemari tanganku memeluk erat kedua jemari tangannya di atas meja ini.
"Apa ini, Brad?"
"Brad, dengan sepenuh jiwa, aku mau."
Tatapan matanya dengan secepat kilat merekonstruksi semua perjalanan hidup yang sudah kulalui sebelum ini. Perlahan-lahan aku menarik kedua tanganku, menekuknya untuk meraba cincin di jari kelingking kiri ini dan melepaskannya.
Juni terus menatap mataku. Dia tidak berkedip sedikit pun.
"Ini punya Ibu, Sayang ... semoga hatimu damai, Cintaku."
Cincin ini melingkar dengan pas pada jari manis kanannya.
"Brad, cintaku ... kemarilah, Sayang." Suaranya bergetar hebat.
Aku bangkit menuju ke ujung meja, tapi Juni pun melakukannya, membuat kami bertemu di ujung meja. Dia menubrukku dengan tangan terbuka dan aku menyambutnya dengan pelukan mesra nan gemas.
"Brad, hidupku." Dia terisak di dadaku.
"Oh! Brad! Kau sudah menemukannya!-"
"Ucapkanlah selamat-"
"Selamat, Brad!"
"Jangan menangis, Juni. Kau hidupku selamanya."
Lalu semuanya terasa seperti mimpi indah yang menahan tidur agar tidak terjaga. Kami menyatu dengan syahdunya di dapur ini.
"Bang Brad–"
"Panggil aku Mas, Dik," bisikku pelan.
"Mas tidak keberatan ... kalau kuberi hand phone, ‘kan?" suaranya agak cemas, "saya bisa sakit jiwa merindukanmu, Mas kalau seperti ini,"sambungnya lirih.
Aku menatap wajahnya yang sedang merasa bersalah di pelukanku. Perlahan-lahan aku mengecup keningnya.
"Boleh, Cintaku ... kita tidak akan menyiksa diri lagi sejak saat ini."
Dia tertawa senang lalu mengecup pipi kiriku.
"Cuma nomor-ku yang boleh ada di–"
"Tentu saja, Cintaku ... tapi nomor Ita pun perlu, Sayang."
"Tak usah, Mas–"
"Biar aku tahu kapan giliran urut kacang kita–"
"Ah! Cintaku ini." Dia tertawa manja mencubit pipiku.
"Bagaimanapun, kita harus bahagia, 'kan?"
"Harus, sayangku. Itu hak kita!"
Kami tertawa dalam dekapan cinta yang menghidupkan harapan.
Tiba-tiba suara klakson motor menyadarkan kami.
"Bapak, pulang." Juni masih dalam pelukanku.
"Kita ke depan–"
"Tak usah, kita di sini saja seperti ini, Mas–"
"Janganlah–"
"Biar mereka tahu menentukan hari-H nya, Sayangku."
Aku tertawa pelan dengan gemasnya. Kemudian Juni ke depan, sedangkan aku dimintanya tetap duduk di meja makan ini.
"Bagaimana makannya, Nak Brad?" tanya Ibu yang datang bersama Bapak dan Juni.
"Terima kasih, Bu ... nikmat sekali."
"Itu masakan Ibu, lo?! bukan Juni–"
"Masakan saya lebih nikmat lagi, Bang!" Juni tertawa sambil duduk di sampingku.
Aku tersenyum, "Tapi belajarnya dari Ibu, 'kan?"
Ibu tertawa sambil mengambil tempat di depan kami berdua bersama Bapak.
"Seperti rapat keluarga–"
"Tanaman apa lagi yang nambah di sana, Nak Brad?"
"Ada Nanas sama–"
"Aduh! ini sudah mau malam, Bang! nanti–" Juni teringat sesuatu.
"Oh, iya, Nak ... pulang sekarang saja, nanti kamu kemalaman lo?"
"Sudah mau gelap rupanya. Iyalah, Bu, Pak ... saya pamit dulu, ya!" Aku bangkit lalu menyalam mereka.
"Hati-hati, ya, Nak!" Ibu tersenyum padaku.