Bagi seorang anak, yang paling bisa dipercaya di dunia ini seharusnya adalah orang tua. Mungkin yang di urutan pertama bisa Mama atau Papa. Namun bagi Enzo yang sejak kecil hanya mengenal dan memiliki seorang Mama, jadi hanya Mama yang selalu bisa dipercaya dan diandalkan hingga sekarang. Meskipun tak pernah ada sosok Papa yang hadir, tapi Enzo tak begitu mempermasalahkan selama masih ada Mama di sisinya.
Sejak dulu, Mama yang selalu mengatur segala jadwal kegiatannya sepanjang hari dan setiap hari tanpa terkecuali. Dari porsi dan jenis makanan yang akan dimakan. Mode dan warna pakaian serta alas kaki yang harus dikenakan. Berapa lama waktu untuk tidur dan istirahat. Sampai gaya potongan rambut dan berbagai hal lainnya merupakan keputusan Mama yang tak pernah bisa diganggu gugat. Sejak kecil, Enzo masih menerima itu semua. Baginya hanya Mama seorang yang selalu mengurus, menjaga, dan merawatnya tanpa bantuan siapa pun.
Namun saat mulai beranjak remaja, Enzo semakin merasa risi dan aneh dengan sikap Mama. Dirinya tak lagi merasa diperlakukan sebagai anak kandung, tapi lebih seperti boneka hidup yang terus diatur dan dikendalikan setiap saat. Tak bisa menentukan pilihan dan keinginan. Tak boleh protes atau membantah perintah. Tak punya andil dan wewenang sedikit pun pada diri dan hidupnya sendiri.
Berulang kali, Enzo terus mempertanyakan arti dan tujuan hidupnya akan seperti apa di masa depan kalau terus di bawah pengaruh dan kuasa sang Mama. Memang ada istilah surga di bawah telapak kaki Ibu. Sebagai anak harus berbakti kepada orang tua, tapi dirinya bukan anak kecil lagi yang semuanya harus serba diatur dan dikendalikan orang lain, meskipun oleh mamanya sendiri. Tapi tetap saja, dirinya hanya seorang manusia biasa yang juga berhak punya kendali dan keputusan atas hidupnya.
“Masih duduk santai saja jam segini?”
Suara dari arah belakang, sontak menghentikan Enzo dari lamunan panjangnya. Ia tersenyum canggung melihat ekspresi wajah mamanya yang kini tampak lebih galak dari biasanya.
“Maaf, Ma. Enzo ingin duduk sambil istirahat sebentar saja. Di sini udaranya lebih sejuk dan pemandangan alamnya juga bagus.”
Melihat jam tangan berlapis emas yang baru dibelinya, Nungky kaget saat tahu jadwal kerja Enzo sudah terlambat belasan menit yang lalu. “Di saat jam sibuk seperti sekarang, kamu masih mau santai istirahat dan lupa bekerja? Mau jadi apa nanti kalau terus jadi anak pemalas?”
Wajah Enzo tertunduk lemas. Rasanya masih begitu lelah karena kemarin pulang lewat tengah malam, selesaikan tugas sekolah, kurang tidur, lalu harus bangun pagi sekali untuk bersiap sekolah, dan pulang sekolah harus langsung pergi syuting sinetron terbaru. Tak ada jeda sama sekali. Tapi hanya duduk sebentar untuk melepas lelah saat waktu jam istirahat, kenapa masih dianggap sebagai anak pemalas oleh mamanya?
“Maaf, Ma,” jawab Enzo pasrah. Meskipun ingin membantah pernyataan mamanya yang keliru, tapi kali ini ia tak ingin berdebat. Pasti akan buang banyak waktu lagi dan hasilnya akan tetap sama saja.
Nungky mengamati ekspresi dan tingkah anak lelakinya sembari bertolak pinggang. “Tunggu apa lagi di sini? Cepat pergi ke ruang ganti untuk bersiap syuting adegan selanjutnya. Rasa malas jangan terus dibiarkan. Tolong jangan bikin beban hidup Mama tambah berat untuk bayar ganti rugi. Jadi anak lelaki harus nurut dan berbakti. Orang tua kamu itu hanya Mama.”
Enzo menghela napas berat. Apa hidupnya akan terus seperti ini hingga tua nanti?