Aku sedang bergelut dengan gantungan baju yang bertumpuk di gudang ketika Baby masuk melalui pintu depan, diiringi bunyi lonceng yang aku gantung di atas pintu. Dengan bunyi lonceng itu, kami bisa tahu ketika pelanggan atau tamu masuk ke butik. Ternyata yang masuk adalah Baby. Dia masuk dengan keadaan yang tidak seperti biasanya, agak kusam, kucel, dan seperti belum mandi. Aku menyipitkan mata. Bukan karena aku sedang tidak memakai kacamata, melainkan karena kelakuan aneh Baby. She’s so ... gloomy.
Aku memandangnya dari balik kacamataku dengan sedikit curiga. Kepalaku yang muncul dari dalam gudang mengikuti langkah Baby. Sepertinya, ia pun menyadari apa yang aku lakukan. Namun, Baby hanya merespons dengan lambaian tangan yang sedikit malas kepadaku.
Baby berjalan menuju meja kasir. Entah apa yang diinginkannya, tetapi terlihat ia sedang mengubek-ubek lemari yang terletak tepat di bawah meja kasir. Aku kembali memasukkan kepalaku ke gudang untuk membereskan gantungan baju yang banyaknya melebihi tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir, yang rasanya sedari tadi tidak juga beres dan rapi.
Pagi tadi begitu datang, aku mengecek barang-barang di gudang besar dan merapikannya sedikit. Aku hampir saja mengamuk ketika membuka salah satu pintu gudang kecil yang tepat bersebelahan dengan gudang besar dan mendapati semua gantungan baju berhamburan seperti salju yang langsung mengubur kakiku. Aku bertanya kepada salah seorang pegawaiku yang kebetulan memang masuk pagi ini, Dini, tetapi ia tidak tahu-menahu mengenai keadaan ini. Sesudah itu, aku tidak bisa bertanya kepada siapa pun karena memang tidak ada orang yang bisa ditanyai. Mau tak mau aku harus membereskannya. Great, kerjaan bertambah.
Pada usia yang ke-28 tahun ini, sebenarnya aku merasa sangat beruntung. Ketika aku hendak membebaskan diri dari jam kantor yang membuat otak serasa beku dan buntu, serta membuat efek keterbelakangan mental karena bos egois yang bisa mengubah perintah dan delegasi tugas dalam hitungan detik, Baby, adik sepupuku yang hanya beda umur dalam hitungan bulan, memberikan pencerahan bagaikan matahari yang bersinar pada malam hari.
Akhirnya, sebuah butik yang dua tahun lalu aku dirikan bersama Baby cukup membuat bangga dan lega karena bisa terlepas dari atmosfer kerja nine to five yang membosankan. Bermodalkan tempat yang lumayan strategis di daerah Kemang, kemampuan Baby dalam desain grafis dan kecintaannya pada fashion menjadi nilai tambah berkali-kali lipat untuk mewujudkan keinginanku dan Baby: mendirikan butik impian kami.
*
Selesai membereskan gantungan baju, aku kembali menengok ke meja kasir, tetapi tidak mendapati sosok Baby di sana. Aku mulai mencarinya, tapi yang aku lihat hanyalah dua pegawaiku yang sedang bersiap untuk membuka butik. Aku naik ke Lantai 2 di bagian pakaian dalam, tas, sepatu, dan aksesori. Di sana terdapat sofa merah yang besar dan empuk yang biasanya menjadi tempat mengusir lelah dan bersantai. Tempat ini pulalah yang menjadi tempat beristirahat buat aku dan Baby untuk mengobrol setelah butik tutup pada malam hari. Obrolan kami beragam, mulai dari urusan butik, urusan gaul, hingga urusan pria.
Benar saja, aku mendapati Baby sedang terduduk lesu. Ia menggenggam ponsel kesayangannya yang bersarung hijau terang dan seperti sedang mengetik sesuatu, tetapi mulutnya manyun. Aku mengempaskan diri di sebelahnya dan menyebabkan badan Baby sedikit terguncang. Dia cuma melirikku sesaat, lalu kembali asyik dengan ponselnya.
Aku diam dan menunggu. Jam yang terpasang di dinding sudah menunjukkan pukul 8.30 pagi. Aku tetap menunggu Baby berbicara. Kakiku bergoyang-goyang mengikuti irama lagu Rihanna yang terdengar sayup-sayup dari bawah. Biasanya untuk sepagi ini, musik memang tidak terpasang hingga ke lantai atas.
Sekarang posisi duduk Baby semakin merosot. Ia melempar ponselnya ke dalam tas yang tergeletak di bawah kakinya.
“Kusam amat, sih, lo,” sapaku sambil tetap mengikuti irama lagu Rihanna dengan melodi yang sedikit mengentak. Baby melirikku malas. “Daripada lo. Udah kayak abis tidur dua hari di gudang.”
Aku segera berkaca pada salah satu cermin besar yang kebetulan terpasang di sana. Benar yang dikatakan Baby. Aku mengusap keningku yang agak lebar dengan tisu dari kantong celana jeans, juga pipiku yang ada freckles cokelat samar yang berminyak. Aku lihat juga ada sedikit noda debu di daguku yang dihiasi tahi lalat kecil. Aku turut menghapusnya. Rambutku yang sebahu berpotongan shaggy sudah terikat acak, dan aku tidak berminat untuk menyisirnya sampai detik ini. I’m a mess.
Baiklah, jangan berharap setelah berjam-jam di gudang, penampilan masih akan tetap rapi. Namun, aku tidak peduli. Aku memang tidak terlalu memedulikan penampilanku.
Kebalikan dari aku, Baby sangat girly, mungkin sejak dia baru lahir. Bisa saja begitu keluar dari kandungan ibunya, dia sudah memakai lipstik, atau sewaktu hamil Baby, ibunya mengidam lipstik. Secara natural, dia memang terlahir sebagai seorang perempuan yang feminin. Dia adalah tipe perempuan yang sebagian besar pria akan bersedia menjadi pacarnya dan akan jatuh cinta sejak kali pertama melihatnya. Rambut panjangnya ikal sempurna, riasan selalu menempel di wajah, dan ratusan sepatu dengan hak minimal lima sentimeter yang menemani langkah kakinya secara bergantian selalu terawat dengan baik di setiap transparant box.
“Urusan gue udah beres di gudang, berikutnya giliran lo. Gue udah capek bergelut dengan gantungan baju.”
“Emang kenapa gantungannya?”
“Gantungan baju berantakan sekali. Begitu gue buka pintu gudang baju-baju itu langsung jatuh,” ungkapku dengan napas berat.
Baby mengangkat bahunya. “Iya, gue tahu. Semalam gue malas beresinnya.”
Akhirnya, aku tahu siapa yang membuat gantungan baju tersebut berantakan. “Oh, jadi lo yang membuat gantungan-gantungan itu berantakan?” kataku sambil mendengus sedikit kesal.
“Ada urusan yang lebih penting ketimbang ngurusin gantungan baju. Hidup gue aja seruwet gantungan baju itu,” oceh Baby asal. Tak seperti biasanya. Pasti Baby sedang ada masalah.
“Lo kenapa, sih? Bete amat.”
“Hidup itu memang penuh kebetean, hidup bete!” sahutnya sewot.
Aku tertawa mendengarnya. Aku pun mengubah posisi duduk menghadap kanan sehingga bisa berhadapan dengan sepupuku yang lagi suntuk ini. Aku mengacak-acak rambutnya hingga membuatnya belingsatan, “Jangan dong, Cha ….”
“Makanya, kalau hangout, jam dua harus pulang, tidur dan istirahat. Biarpun bete, bisa seger lagi dan selanjutnya bisa berpikir yang jernih.”
“Kayak nenek-nenek nasihatnya. Perasaan dulu Oma enggak sebawel lo, deh,” gerutunya asal.
“Dinasihati malah begitu,” gerutuku. Baby hendak berdiri, tetapi aku menahannya hingga ia terjatuh lagi di sofa.
“Apa-apaan sih, Cha?” omel Baby dengan mata mendelik.
“Cerita dulu, kenapa lo bisa sampai begini? Hangout, enggak pulang, dan datang ke sini dalam keadaan berantakan?”
Baby mengaduk-aduk tasnya dan menemukan sebuah ikat rambut, kemudian mengikat rambutnya membentuk cepol di puncak kepala. “Males, Cha, ceritanya.”
“Tumben,” sahutku dengan santai. “Biasanya lo enggak ditanya juga cerita kayak ember bocor.”
Yang membuatku heran, Baby tidak tertawa ataupun marah, ia malah menggigiti kukunya perlahan. Pandangannya menerawang, mungkin kembali lagi ke tempat hangout-nya semalam. Aku memperhatikannya dengan saksama. Matanya yang menerawang mulai berkaca-kaca. Aku panik.
“Hei, ada apa, sih?” tanyaku, kali ini dengan serius karena sepertinya Baby bakalan menangis kencang.
Baby menggeleng, berusaha menghapus air matanya yang mulai mengambang di pelupuk mata dengan mengedipkan matanya. Namun, sepertinya tidak berhasil. Dugaanku benar. Air mata mulai turun di pipinya.