Minggu keempat Januari 2020.
“Saya terima nikahnya, Sunyi Larassatrie binti Muhammad Afandi dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai." Ucap Imran, tegas dan lugas.
“Sah.” Teriak para saksi dan undangan.
“Alhamdulillah.” Seru pengantin berikut semua yang hadir. Lega.
“Barokallahulakuma wa baroka alaika wa jama’ah baina khuma fi khoiri.”
Aku yang duduk dibarisan paling depan tersenyum lega sekaligus haru. Akhirnya Sunyi menemukan tambatan hatinya, tanpa proses taaruf, apalagi pacaran. Semua terjadi begitu saja tanpa rencana dan drama panjang seperti yang aku dan Uli alami. Drama pernikahan yang membuat kami nyaris kehilangan kewarasan, untung saja pasangan kami bisa memahami dan selalu bisa menenangkan.
Alahamdulillah pula kebaya yang dipakai Sunyi hari ini cocok dan pas di badannya. Awalnya aku sempat takut kebaya itu akan kekecilan atau bisa jadi kebesaran sebab aku hanya menerka-nerka ukuran badan Sunyi, Pepeng gagal menemukan catatan ukuran badan Sunyi hingga membuatku cukup pusing memikirkannya.
Aku harus bergadang selama tiga malam untuk menyelesaikan kebaya buat Sunyi supaya bisa dipakai pada waktu akad nikah yang telah ditentukan. Alhamdulillah, dibantu oleh Nea—penjahitku—dan Pepeng, kami berhasil menyelesaikan tepat waktu.
Pernikahan yang sederhana dilangsungkan disebuah desa kecil diperbatasan kota Palembang. Tak banyak pula yang hadir, hanya keluarga dekat dan teman-teman dekat saja. Cukup saklar dan berlangsung khidmat.
Aru yang duduk disebelah kanannya menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat, menarik punggungnya dan bersandar kembali pada kursi.
“Tegang banget, Kak Aru!” bisikku pada Aru yang kembali membuang napas untuk kedua kalinya.
“Iya, kakak ikutan tegang nih. Tadi Imran terlihat tegang dan gugup banget, sekarang lihat deh wajahnya sudah biasa lagi. Kakak pikir bukan cuma Imran yang gugup ketika akan mengucapkan ijab Kabul, semua pria pasti akan gugup pada saat akad nikah dan berhadapan serta berjabat tangan dengan bapak mertua. Karena yang sakral dari pernikahan itu bukan pestanya, tetapi ijab kabul pas akad nikahnya. Nanti kita akan merasakan sendiri bagaimana rasanya,” katanya berbisik-bisik denganku.
“Iyakah?” Aku melirik Aru yang mengerling menggodaku.
“Iya benar. Apalagi acara adat, akan lebih sakral lagi.” Bisiknya.
Aku mengangguk-angguk saja, tak menyahuti lagi perkataan Aru karena Pak Ustadz sedang memberikan tausiyah tentang hikmah pernikahan. Khusyuk sekali kami menyimak tausiyah yang disampaikan. Pada sesi pembacaan doa dengan suara keras Aru mengaminkan doa yang dipanjatkan di akhir acara akad nikah.
“Selamat ya, Sun. Akhirnya kamu yang duluan menikah. Oya, ada salam dari Uli. Dia minta maaf karena nggak bisa datang,” kataku memberikan selamat padanya setelah akad nikah berlangsung.
“Terima kasih, Mar. Nggak apa-apa kok, aku paham. Dia juga sudah telepon aku tai pagi. Kamu nginep sini kan?” pintanya sambil memegangi tanganku, aku tak melihat raut wajah bahagia darinya.
“Maaf, Sun. Kami langsung pulang karena kamu tahu sendiri pekerjaanku banyak sekali, Kak Aru juga lagi banyak kerja. Tapi kami mau ke Palembang dulu lihat Ibunda. Maaf ya, Sunyi.” Ucapku pelan. Menggenggam tangannya dan melanjutkan kata: “Hei, jadi pengantin harus bahagia, jangan cemberut gitu,”
Ia tertawa menerima perkataanku, melengos menyembunyikan butiran bening yang menggantung disudut matanya. Aku tak paham, apakah ia tengah terharu, menyesal atau ungkapan kebahagiaan.
“Aku berharap ini adalah keputusanmu yang terbaik dan kamu tak akan pernah menyesalinya sedikit pun.” Sambungku, berbisik di telinga kanannya sbelum aku keluar dari ruang tamu rumahnya.
Tak ada pelaminan, hanya ruang tamu sederhana yang di permanis dengan sedikit dekorasi ala kadarnya layaknya orang-orang desa. Aku berusaha memahami kenyataan sebagai bagian dari ketetapan-Nya, bukan sebagai kemauan Sunyi atau orangtuanya melainkan sebagai kemauan Allah untuk Sunyi dan pasangannya.
Setelah akad nikah tak ada acara lain, semua tamu langsung pulang. Pepeng, Gladis dan beberapa teman lainnya pun langsung kembali ke Jakarta dengan mengendarai mobil pribadi. Sementara aku dan Aru—menggunakan mobil travel—mampir dulu ke Palembang untuk melihat dan melepaskan rindu pada ibunda. Baru besoknya kami pulang lagi ke Jakarta.
Pukul 09.00 pagi, aku dan Aru sudah sampai di bandara Soekarno-Hatta.
“Kita naik taksi atau gimana ini, kak?” tanyaku mengikuti langkah Aru menuju pintu keluar bandara.
“Kakak sudah telepon Pepeng supaya menjemput kita. Nah itu Pepeng! Woy, Peng.” Aru melambaikan tangannya pada pemuda bertubuh tegap, tapi berjalan dengan gemulainya menghampiri kami.
“Aku nggak bisa masuk, makanya aku menunggu di sini.” Katanya, menggiring menuju parkiran.
“Kenapa, Peng, mukamu kok tegang sekali kelihatannya?” tanya Aru sambil membukakan pintu belakang mobil buatku.
“Kakak atau aku yang bawa mobil?” ia malah balik bertanya pada Aru.
“Kamu saja. Ada apa sih, Peng?” ulang Aru penasaran dan duduk disebelah Pepeng.
“Mbak Uli belum cerita ya sama Mbak Maru?” Pepeng melihatku.
“Pepeng ini bagaimana sih, ditanya malah balik tanya terus!” rutuk Aru menoleh ke belakang, memandangku, kedua alisnya yang berantakan itu terangkat seolah ia tengah bertanya padaku.
Aku menggeleng bingung, tak paham apa yang tengah terjadi. Bertanya pada Pepeng: “Memangnya apa yang terjadi dengan Uli?”