Minggu di bulan Februari ini adalah minggu-minggu terberat buat Uli. Ia menjelma bagai katak yang tenggelam di lautan airmata. Hari-harinya dihiasi dengan gerimis yang tak pernah bertemu musim semi, tubuh seksinya susut secara drastis, mata panda mengganti hiasan eyeliner, bibir pucat dan senyum manisnya tenggelam di dasar penyesalan.
Separah inikah sindrom yang di alami Uli hingga ia kehilangan cahaya. Batinku setiap kali datang membesuknya.
Kondisi Uli semakin memburuk tatkala calon suaminya dinyatakan positif terinfeksi covid-19 dan harus menjalani perawatan intensif di ruang isolasi kapal rumah sakit, bersiap untuk dibawa ke rumah sakit rujukan.
Namun sayang, laut tidak dapat diprediksi. Pelayaran yang harusnya bisa sampai lebih cepat itu malah terhambat karena faktor cuaca dan faktor-faktor lain terkait konflik antara dua negara.
Aku selalu menyempatkan diri untuk mengunjunginya, meski tak banyak bisa membantu tetapi setidaknya dia tak merasa sendiri. Aku tahu ini pasti tak mudah untuknya, pernikahan impian yang telah ia dan Damar persiapkan secara matang harus hancur seketika karena serangan makhluk yang tak kasat mata ini.
Pada akhir pekan di minggu ketiga bulan Februari, saat aku datang ke rumahnya di Bogor—yang baru ia dan Damar beli untuk mereka tempati setelah menikah nanti—ia sedang meringkuk di sudut kamar sambil memeluk kedua kakinya, kamarnya basah oleh duka yang mendalam. Sebuah buku agenda dan ponsel merk ternama tergeletak tepat di ujung ibujari kakinya.
Aku tidak datang sendiri, ditemani oleh Aru, asistenku dan Gladis. Aru dan Pepeng menunggu di luar kamar, sementara aku dan Gladis melangkah pelan-pelan mendekatinya di antar oleh Ibu Merta Harahap.
“Kata dokter, dia mengalami depresi. Berhari-hari hanya duduk melamun, menangis, marah-marah dan ketakutan yang nggak jelas. Ibu ajak dia balik ke Jakarta saja atau kita kembali ke Palembang, kalau di sini dia bakal ingat terus dengan Damar. Tapi ia tak mau. Jawabnya, ia akan tetap di sini sampai menunggu Damar pulang,” ujar Ibu Merta, merunduk menyembunyikan kesedihannya.
“Apakah sudah ada kabar dari Mas Damar, bu?” tanyaku setengah berbisik.
“Damar dan dua rekannya dalam kondisi kritis. Bapaknya Uli sedang berusaha agar Damar di rujuk saja ke rumah sakit Jakarta, tetapi banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Karena ini bukan penyakit biasa melainkan virus yang berbahaya dan kemampuan penularannya sangat cepat. Cuma alat di rumah sakit kapal itu cukup memadai kok,” papar Ibu Merta.
“Semoga ada keajaiban.” Bisik Gladis.
“Aamiin.” Sahutku.
Aku menghampiri Uli dan duduk dihadapannya tanpa menyapanya, namun ia bagai seonggok patung kayu. Tak ada reaksi dan suara apapun saat aku menyentuh lengannya. Ia bergeming, tetap menunduk menyembunyikan mata pandanya.
Beberapa acara yang terjadwal di buku agendanya, ia batalkan. Beberapa deadline terkait untuk pernikahannya pun ia cancel dan telah di coret dari buku agenda. Foto ia dan Damar yang tergeletak sebagai pembatas buku tampak basah.
Aku mengurut dada menyaksikan semua ini. Gladis membuat wajahnya, mungkin ia mengira aku tak akan melihat Kristal bening yang telah jatuh di sudut matanya.
“Uli.” Sapaku. Ia masih bungkam.
“Tolong semangati dia, Nak Maru.” bisik Bu Merta. Aku mengangguk, meski aku sendiri baper melihatnya.
“Li. Ini aku, Maru.” Bisikku. Masih bergeming. Aku bingung harus bagaimana.
Aru menyusul masuk dan berkata dengan berbisik: “Coba bacakan dia ayat-ayat Al-Qur’an. Biar hatinya tenang.”
Kubacakan surat Kahfi untuknya, awalnya masih tanpa reaksi, tapi lama-lama ia mengangkat kepalanya, matanya yang berkaca-kaca itu menatapku kosong. Ia langsung memelukku sambil sesenggukan.
“Mar. Aku takut. Mas Damar kritis.” Katanya dalam pelukanku.