Dadaku seakan hendak meledak, mata menghangat dan hati bagai diperas-peras, melihat Uli dan dua ibu-ibu lainnya berjalan berdampingan sambil memeluk foto pasangan mereka masing-masing, berjalan di tengah-tengah lorong yang terbentuk dari senjata laras panjang milik prajurit-prajurit angkatan laut Indonesia, bersama iringan lagu gugur bunga mereka berjalan menuju tempat upacara pemakaman.
Pemakaman kali benar-benar berbeda dengan pemakaman sebelum-sebelumnya. Tak ada peti jenazah yang dibopong oleh prajurit menuju liang lahat, hanya papan nisan yang mereka bawa dalam iring-iringan menuju liang lahat.
Ya, upacara pemakaman kali ini tanpa jenazah. Miris sekali.
Jenazah Damar dan dua sahabatnya dikuburkan di Natuna yang jauh dari pemukiman penduduk. Begitulah kabar yang kudengar dari orangtuanya Damar dan Pembina upacara hari ini dalam pidatonya.
Uli terlihat tampak anggun dan cantik dalam balutan kebaya putih yang ia pesan padaku untuk dikenakan sewaktu akad nikah. Ia terlihat tampak tegar, bibirnya tersenyum samar, sepasang mata pekat tersaput kabut tipis.
Kebaya itu akan ia kenakan untuk acara pedang pora pas setelah prosesi akad nikah. Namun yang terjadi sebaliknya, ia mengenakan kebaya andalannya untuk mengantarkan upacara pemakaman calon suaminya.
Sungguh, aku tak sanggup membendung haru dan pedih yang berbaur menjadi satu. Berulang kali aku menyeka airmata yang bersembunyi dibalik kacamata hitam. Arusha menggenggam tanganku erat-erat, aku merasakan tangannya sedikit dingin dan gemetar, mungkin ia juga menyimpan emosi yang sama sepertiku. Berpura-pura kuat, padahal kami rapuh. Pepeng yang berdiri disebelahku berdekatan dengan Gladis malah lebih parah lagi, keduanya tampak tak bisa mengendalikan isak.
Upacara berlangsung penuh dengan rasa haru dan tangisan. Bunga yang ditabur di atas makan basah oleh airmata. Tangisan anak-anak yang di tinggalkan oleh ayah-ayah mereka jauh lebih memilukan dari pada melihat kondisi Uli.
Duuh, Ya Allah. Aku nggak kuat melihat semua ini. Kasihan sekali anak-anak itu, mereka tak punya ayah lagi. batinku benar-benar terguncang melihat semuanya.
Setelah upacara berakhir, Uli jatuh pingsan di atas makam calon suaminya.
“Allahu Akbar. Uliii—” pekikku dari tempatku berdiri.
Ibunya Damar yang berada disebelah Uli ikut terjatuh karena tak sanggup menahan beratnya duka yang mereka terima. Bahkan hingga kematian tiba, mereka tak bisa lagi melihat wajah Damar untuk terakhir kalinya.
“Uli. Ya Allah, Nak.” Jerit orangtua Uli tak sanggup melihat putrinya.
“Nak. Bangun sayang. Ini ibu, kamu tetap anak ibu walau apapun yang terjadi. Prajurit, tolong anak saya.” Teriak Ibunya Damar dan Ibu Merta berbarengan.
Seorang berpangkat Letnan Dua memerintahkan kepada dua prajurit untuk membantu mengangkat tubuh Uli dan Ibunya Damar.
“Bawa Nona Uli ke rumah sakit Bahana, cepat.” Perintahnya.
“Siap, pak.” Dua prajurit tersebut dengan sigap langsung membopong tubuh Uli ke dalam ambulans dan melarikannya ke rumah sakit.
“Kita ikut, kak.” Pintaku pada Aru.
Kekasihku itu hanya mengangguk, lalu menarik tanganku menuju tempat parkir. Kulihat Pepeng, Gladis dan Resta sudah lebih dulu sampai diparkiran.
“Mbak Uli mau dibawa ke mana?” tanya Gladis padaku.
“Ke rumah sakit Bahana.” Sahutku singkat. Aku buru-buru masuk ke dalam mobil. Aku tak tahu apakah Pepeng, Gladis dan Resta ikut serta atau mereka kembali ke kantor.
Di mobil aku sibuk mengirim pesan pada Sunyi.
Uli pingsan, dibawa ke rumah sakit.
Kalau kamu mau ketemu dengannya langsung ke rumah sakit saja.