Bridecov-19

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #8

Chapter 8. Indonesia Positif Corona

“Pada hari ini, Senin, 2 Maret 2020. Bapak Presiden Joko Widodo, mengumumkan langsung dari Istana Kepresidenan, Jakarta. Bahwa saat ini Negara Indonesia telah menjadi salah satu negara yang resmi dinyatakan positif corona atau covid-19.”

Pepeng yang sedang memeriksa hasil jahitan gaun-gaun pengantin yang sudah selesao di jahit, menghentikan pekerjaanya, pindah duduk di depan televisi, mengambil remote dan membesarkan volume televisi hingga membuat konsentrasiku buyar.

“Peng. Kecilin sua—” perkataanku terputus saat mata melihat ke arah televisi.

Aku mendengar pembawa acara berita tersebut menyebut-nyebut tentang covid-19. Pensil di genggaman jari terlepas, konsentrasi buyar dan fokus pun teralihkan.

“Dengar dulu, mbak. Corona masuk ke Jakarta nih.” Seru Pepeng.

Aku langsung meninggalkan pekerjaan, duduk bergabung bersama Pepeng dan Resta yang sudah lebih dahulu mendekatkan diri pada televisi.

“Oh my god.” Seru Resta tegang. 

“Kasus pertama yang terjadi di Tanah Air menimpa dua warga Depok, Jawa Barat. Dua orang itu adalah seorang ibu berusia 64 tahun dan putrinya yang berusia 31 tahun. Keduanya diduga tertular virus corona karena kontak dengan warga negara Jepang yang datang ke Indonesia. Warga Jepang itu terdeteksi corona setelah meninggalkan Indonesia dan tiba di Malaysia ....” Sambung pembaca berita tersebut.

Aku merebut remote di tangan Pepeng, memindahkan program pada chanel yang lain. Sama. Beberapa stasiun televisi lain pun menayangkan berita yang sama.  Aku, Pepeng dan Resta saling melemparkan pandangan.

“Dia sudah masuk ke Indonesia!” seruku yang disahuti Resta dengan anggukan kaku. 

“Semoga dua orang itu bisa segera di atasi, setidaknya mereka harus di karantina agar tak menularkan virus pada yang lain.” Kata Pepeng. Wajahnya tampak begitu tegang.

“Tapi orang Jepang itu baru ketahuan dia positif setelah dia sampai di Malaysia. Bayangkan selama perjalanan dia dari Indonesia ke Malaysia sudah berapa banyak orang yang dia temui? Selama dia di hotel berapa banyak orang yang dia temui? Seram kan?” aku jadi parno sendiri membayangkannya.

Langsung saja bayangan ratusan orang yang jatuh tergeletak di jalan-jalan seperti yang terjadi di Cina berkelebatan dibenakku. Menyeramkan sekali bila itu sampai terjadi di Indonesia.

“Iya juga ya. Bahaya ini.” Sahut Resta.

“Untung kita lagi nggak ada jadwal keluar negeri ya, mbak,” ujar Pepeng melihatku.

“Iya. Kan awal maret ini tidak ada jadwal keluar kota dan luar negeri. Saya mau cuti dulu, pekerjaan kita sekarang tinggal menyelesaikan pesanan yang lama saja.” Kataku sedikit lega, namun masih cemas.

“Oh iya, aku lupa. Semoga saja corona itu tak menyebar di Indonesia jadi kita bisa aman beraktivitas tanpa takut tertular.” Entah kenapa perkataan Pepeng itu malah membuatku makin takut.

“Aamiin.” Sahut kami berdua. 

“Coba sejeka awal pemerintah lebih aware dan sigap menutup pintu masuk dari kedatangan-kedatangan warga asing, mungkin tak akan ada kasus corona di Indonesia.” Ujar Resta mengambil minum di dispenser.

“Sekalian, Res. Tolong.” Kataku. Resta mengangguk, lalu membawakan segelas air minum untuk. “Tapi susah juga, Res. Masalahnya banyak orang Indonesia yang sekolah di luar negeri yang cepat-cepat ingin pulang ke Indonesia agar terhindar dari penularan virus. Harusnya wilayah terdampak itu yang melakukan lockdown,” sambungku.

“Benar, mbak. Kemarin saja ada anak tetanggaku yang kuliah di Jepang, dia telepon orangtuanya, nangis-nangis ketakutan dan ingin pulang ke tanah air. Sementara pihak kampus tidak mengizinkan mereka keluar dari asrama, selama Jepang masih berstatus gawat corona.” Cerita Pepeng semakin membuat kami tegang.

Peristiwa yang terjadi pada Uli kemarin saja sudah cukup membuat aku syok, sekarang di tambah lagi dengan pemberitaan bahwa sudah ada warga Depok yang terkena corona. Seperti biasa, aku kalau berpikir suka kepanjangan.

Jangan-jangan nanti orang itu menyebarkan virus corona di Jakarta.

Jangan-jangan nanti Jakarta bakal kena lockdown juga.

Euh, seram. Aku bergidik membayangkannya, cepat-cepat mematikan televisi dan kembali ke meja kerja.

“Ya, kok dimatiin tivinya, mbak?” rutuk Pepeng hendak mengambil remote tivi yang kugeletakan di meja, namun melihat delikan mataku, ia mengurungkan niatnya.

“Kerja-kerja jangan nonton melulu, mumpung corona belum menyebar di Jakarta cepat kita bereskan pekerjaan kita.” Mendengar perkataanku, ia bersungut-sungut kembali ke meja kerjanya di ikuti sama Resta.

Aku mencoba memusatkan kembali konsentrasi pada kertas gambar, meski sejujurnya pemberitaan barusan membuatku sedikit terganggu. Aku harus segera menyelesaikan rancangan kebaya pengantin pesanan Melsa yang akan menikah sehabis idul adha nanti. Khawatir tak akan sempat bila tidak di kerjakan dari sekarang, soalnya pertengahan bulan Maret ini aku sudah harus cuti.

“Kenapa, Bu Maru. Kok kayak habis melihat hantu gitu mukanya?” tanya Resta yang ternyata memperhatikanku.

Lihat selengkapnya