Sultan Arusha Permana Alam, pria keturunan bangsawan Sunda dan Pagaruyung, berunsur tanah dan memiliki hari lahir yang sama sepertiku itu terlihat sedang berkonsentrasi penuh memberikan vaksin dan imunisasi kepada bayi-bayi Egyptian Mau Cat yang baru berusia satu minggu. Pembawaannya sangat tenang dan penyayang terhadap sesame, termasuk kepada hewan-hewan, terlebih kepada kucing. Sepertiku, selain menyukai kucing, kami berdua sama-sama suka traveling dan berburu kuliner khas pada setiap tempat yang kami kunjungi.
Ia seorang dokter hewan yang mempunyai klinik sendiri di Jakarta Selatan, bersebelahan tempat kediamannya, klinik yang dilengkapi dengan rumah kucing yang bisa menampung ratusan kucing liar dan ras-ras kucing yang harganya selangit.
Sudah lebih dari setengah jam, aku menunggunya sambil bermain-main dengan kucing ras Bengal yang baru berusia tujuh bulan, namun ia belum juga selesai memberikan vaksin dan imunisasi pada bayi-bayi kucing tersebut. Aku menghempaskan napas, lalu membanting bokong tepat di bangku depan tempatnya duduk. Begitulah Aru, kalau sudah bekerja suka lupa segalanya, bahkan sering mengabaikanku.
“Kak,” kataku, mulai mencari perhatiannya.
“Iya.” Sahutnya singkat, tanpa menoleh. Ia malah mengambil satu bayi lagi dari dalam kandang, mengelus-elusnya, mengajaknya berbicara dan mulai menyuntikan obat kepada bayi tersebut.
“Kakaaak.” Kataku lebih kencang.
“Apa sayang. Kakak-kakak melulu dari tadi. Mau ngomong apa, ngomong aja nggak usah ragu.” Katanya masih tanpa menoleh kepadaku. “Tinggal satu lagi, jangan nangis ya, Nak. Di suntik itu nggak sakit kok,” katanya pada bayi tersebut, perlakuan yang melebihi dari dia memperlakukanku.
“Lihat Maru dulu,” pindah duduk di depannya berharap dia memandangku, tapi ia masih fokus pada anak-anak bulu belang yang baru lahiran.
“Iya sayang. Sebentar ya, tinggal vaksin si Enzo dulu. Kasihan yang punyanya sudah nunggu dari tadi.” Katanya melihatku, mengedipkan mata dan melemparkan seutas senyum.
Aku manyun, kesal mendorong tubuh ke sandaran kursi. Beberapa menit kemudian aku bangkit sambil menggendong Bubu—kucing jenis Himalayan berbulu lebat—pulang ke rumah Aru yang berada persis disebelah klinik.
Di ruang keluarga Mamanya Aru tengah menonton televisi. Melihatku masuk mama langsung memanggilku.
“Sini, Mar, duduk sini.” Katanya menarik tanganku untuk duduk disebelahnya.
“Nonton apa, ma?” tanyaku, Bubu tampak nyaman dalam pelukanku.
“Lagi nonton berita. Maru sudah dengar belum, ada orang Depok yang sudah kena corona?” pertanyaan mama menerbitkan kembali rasa cemasku.
“Sudah, ma. Tadi pagi Maru lihat beritanya hampir ada di semua chanel tivi.” Suaraku agak sedikit tersekat di tenggorokan.
“Mama khawatir, Mar. Corona akan menggagalkan acara pernikahan kalian,” jantung seakan langsung berhenti berdetak mendengar ucapan mama.
Apa yang mama khawatirkan, sebenarnya juga menjadi kekhawatiranku. Bagaimana tidak khawatir bila virus ini bisa merenggut ratusan nyawa dalam waktu sekejap saja. Beberapa negara mengalami kolaps, seluruh aktivitas terhenti, tak ada yang boleh ke luar rumah, setiap hari harus mengenakan masker dan rajin cuci tangan serta berbagai protokol kesehatan yang harus dipatuhi bila ingin selamat.
Belum lama ini, sahabatku sendiri harus kehilangan calon suaminya juga gara-gara corona. Di negara-negara lain, banyak pernikahan yang tertunda gara-gara corona.
Beberapa menit aku hanya memandangi wajah mama, kelihatan sekali ada kecemasan yang tak dapat disembunyikan oleh senyumnya, begitu pula aku.
“Mar, bagaimana kalau dibicarakan lagi dengan Aru, dengan orangtuamu juga biar akad nikah kalian dipercepat saja.” Ucap mama pelan-pelan, tangannya menyentuh lenganku seolah ia meminta aku untuk memperhatikannya.
“Iya, ma. Maru ke sini juga mau bicara itu, tapi Kak Aru masih sangat sibuk sekali dengan pasien-pasiennya.” Aku juga nyaris kehilangan ketenangan hati.
Lagi-lagi, kabar tentang adanya orang Depok yang terinfeksi corona itu mengacaukan suasana hati. Kepalaku tak henti berpikir, bagaimana caranya agar semua rencana ini dapat terselenggara sesuai dengan keinginan dan impian.
“Ada apa ini, serius banget ngobrolnya?” tanya Aru yang masuk tiba-tiba, langsung mengambil posisi duduk disebelahku.
“Ngomongin orang Depok yang katanya positif corona, mama ngeri, Ru.” Sahut mama bersama mimik wajah yang benar-benar tak dapat menyembunyikan ketakutan.
Seperti biasa, Aru terlihat tetap tenang dan cuek. Ia malah memandangiku sambil senyum-senyum menggoda.
“Kamu kenapa sih cantik, dari tadi cemberut saja?” katanya menjawil hidungku.
“Ich, tangan kotor bekas pegang kucing langsung jawil-jawil hidung Maru. Ada virusnya tangan kakak tuh,” kataku protes sambil menutup hidung dengan ujung jilbab, menghindari jubitannya.
“Sudah bersih dong, sudah cuci tangan pakai sabun, sudah pakai hand sanitizer juga.” Katanya membela diri.