Aku tak tahu perasaan apa ini namanya. Jantungku seperti diremas-remas dan hati yang bagai tercacah-cacah pisau. Kecewa dan sakit yang hampir sulit kubedakan rasanya. Si hitam disebelah kiri memprovokasi pikiran untuk membalas pesan tersebut dengan makian serta kemarahan, namun si putih membela, ada baiknya agar aku bertabbayun [1] dulu sebelum meluapkan segala emosi agar prasangka tidak membabi buta, menjadi fitnah atau bisa jadi malah akan memperlakukanku.
“Maru, ada apa?” untuk kedua kalinya pria disampingku ini mengajukan pertanyaan yang sama, tapi masih belum aku jawab.
Pikiranku masih sibuk menerka-nerka tentang perempuan bernama Idayuna yang mengaku sebagai istri dari ayahanda. Mataku membaca ulang pesan yang tertulis di layar smartphone yang dalam kondisi aktif, mungkin saja aku salah baca. Bisa jadi Idayuna itu nama teman kerja ayahanda atau nama salah satu relasinya.
Tapi tidak. Aku tidak salah baca, benar yang perempuan itu tulis, bahwa dia istri dari Bapak Elang Didi Natadiningrat. Seketika uap panas mengalir hingga kepala, mata pun ikut terasa panas.
“Hei, ada apa sayang?” ulang Aru lagi, persis di lampu merah ia menekan rem pelan-pelan, lalu menepuk lembut tanganku.
Mataku berkabut, tangan gemetar dan suara bagai disekat oleh sembilu hingga pita suara tak mampu mengeluarkan suara, bahkan sebuah isak kecil sekali pun. Sakitnya bukan main. Aku menyerah ponsel pada Aru. Pria berkumis tipi situ tampak terkejut melihat barisan kata pada kolom chat.
“Ayahanda punya istri lagi?” tanyanya lirih. Aku mengangguk.
“Maru baru tahu barusan ini dari pesan yang dikirim perempuan itu.” Kataku dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Tunggu dulu. Kita jangan percaya dulu dengan kabar dari perempuan ini dan jangan percaya juga kalau dia benar istrinya ayahanda. Kita cari tahu dulu kebenarannya, nanti pulang dari tempat Mbak Nadisa, kita telepon ibunda dan adik, mungkin adik tahu semua ini. Pesannya juga jangan dibalas dulu, lebih baik kita telepon langsung saja nanti.” Kata Aru berusaha menenangkanku, lalu mengembalikan ponsel padaku.
“Jadi Maru mesti bagaimana, kak?” tanyaku dengan suara serak dan tatapan sendu.
“Diam kan saja,”
“Kalau dia chat lagi?”
“Selagi kita belum tahu kebenarannya seperti apa jangan ditanggapi dulu pesannya. Takutnya dia cuma mau mengacaukan rencana kita dengan mengaku-ngaku menjadi istri ayahanda,”
Aku memangguk paham. Apa yang dipikirkan Aru juga terlintas dibenakku. Bisa jadi perempuan ini hanya ingin memanfaatkan situasi untuk mengacaukan rencana pernikahan kami dan memecah belah keluarga kami. Kemudian, aku sengaja membisukan notifikasi pesan dari perempuan bernama Idayuna itu agar tak mengganggu. Mengabaikan segala macam firasat serta perasaan, mencoba berpikir positif.
“Maru senyapkan saja notifikasinya, kak, biar nggak mengganggu.”
Aru mengangguk dan mengusap kepalaku, lalu ia berujar pelan: “Coba kamu telepon ayahanda, Mar. Tanya bagaimana kabar ayahanda dan ceritakan pada ayahanda kalau rencana pernikahan kita di majukan, bisakah ayahanda pulang lebih cepat,”
Aku menuruti sarannya, tetapi sampai tiga kali dial nomor telepon ayahanda tak ada jawaban. Entah sedang apa lelaki berusia 67 tahun tersebut, sesibuk itukah pekerjaannya sehingga tak sempat lagi menjawab telepon dari putri sulungnya. Sesibuk apakah pekerjaannya sehingga tak sempat mengurusi pernikahan putri yang katanya sangat ia sayangi, malah menyerahkan segala urusan kepada jasa wedding organizer dan baru akan pulang ke tanah air pada saat hari akad nikah akan diselenggarakan.
Kadang tak habis pikir juga dengan ayahanda yang membiarkan ibunda mengurusi sendiri segala urusan rumah tangga sementara ia sibuk bekerja dan hanya pulang sesekali dalam hitungan banyak bulan, kadang hanya satu tahun sekali. Tapi pergi melancong ke luar negeri yang lain selalu sempat dan itu tanpa ibunda. Sebetulnya sudah lama aku curiga, tetapi ibunda selalu bilang, tak baik berprasangka, ayahanda pergi ke mana-mana bukan sekadar melancong, tapi untuk mengembangkan bisnis keluarga. Sekarang kecurigaan itu semakin berkembang, apalagi diperkuat dengan pesan yang barusan masuk.
“Uuh, ayahanda ke mana sih? Kok teleponnya nggak di angkat!” aku menekan tombol merah dengan kasar dan menghempaskan napas dan punggung ke jok mobil.
“Nggak di angkat?” tanya Aru.
“Iya. Bikin jengkel saja.” Rutukku sebal.
“Sabar. Mungkin ayahanda lagi sibuk. Nanti lagi, kita sudah hampir sampai ini.” Aru memutar setir mobil untuk berbelok ke arah kiri menuju komplek alamat rumah anaknya Mbak Nadisa.
Sialan. Kabar tentang warga Depok yang positif corona itu benar-benar bikin mood jadi buruk banget, aku merasa seperti sedang di mata-matai oleh makhluk yang tak kasat mata, mungkin serupa dengan jin, tetapi jauh lebih ganas dan merusak dari pada jin. Saking dahsyatnya daya rusak makhluk berukuran 150 nanometer itu, negara sekuat dan sebesar Cina pun dibikin lemah tak berdaya, system perekonomian Cina yang tangguh pun bisa luluh lantak dibuatnya.
Menyeramkan bukan?
Lalu bagaimana dengan Indonesia?