Bridecov-19

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #11

Chapter 11. Jakarta Sebelum Lockdown

Aku baru saja sampai di pelataran parkir kantor ketika Mbak Nadisa menelepon. Langsung saja kuterima teleponnya, tanpa ke luar lebih dahulu dari mobil. Harap-harap cemas, semoga saja Mbak Nadisa bisa membantuku mewujudkan mimpi ini jauh lebih cepat dari tanggal yang telah ditetapkan pada saat acara lamaran berlangsung beberapa bulan yang lalu.

Lagi-lagi. Kenyataan tak pernah mau seiring sejalan dengan impian dan harapan. Ternyata sulitmya mencari hari yang pas untuk momen pernikahan tidak hanya dihitung berdasarkan hitungan-hitungan nama, weton dan sebagainya seperti yang dilakukan para sesepuh, tetapi pasangan pengantin dan orangtua juga harus memperhitungan biaya dan waktu para vendor yang cocok dan serasi dengan biaya dan waktu yang dipunyai oleh pasangan pengantin.

Apalagi awal-awal tahun seperti ini, bisa dikatakan ini memasuki musim nikah, musim pembentukan peradaban baru, musim menikah ini musim yang cukup panjang, bisa berakhir hingga Idul Fitri nanti. Tetapi hampir setiap hari, setiap minggu tanggal disepanjang musim telah terisi janji. Seperti aku, di awal-awal tahun seperti ini, lebih banyak yang memesan gaun dan kebaya penganti dari pada gaun-gaun lainnya. Setiap hari ada saja yang datang untuk memesan atau mengambil pesanannya. Jadi benar, sungguh sulit mencari waktu kosong yang tidak terikat janji sama klien.

“Maaf, Mar. Kalau untuk akhir bulan Maret ini benar-benar nggak bisa, dari awal Maret sampai tanggal hari ini sudah full semua hingga bulan Juni nanti, apalagi di hari raya nanti, nyaris tak ada waktu kosong lagi. Kalau memang harus, kita terpaksa cari vendor yang lain dan itu akan lebih sulit lagi karena belum tentu cocok dengan konsep yang Maru dan Aru inginkan.” Kata Mbak Nadisa menyampaikan hasil dari meetingnya bersama para vendor.

“Nggak bisa ya kalau untuk minggu terakhir bulan ini?” kataku sedikit kecewa.

“Nggak bisa sudah penuh semua dan mepet juga waktunya. Apalagi untuk seni Karawitan Sunda, kemarin saya tanya pada pengasuhnya, Pak Aceng, mereka sudah disewa untuk acara pernikahan adat Sunda sudah dari satu tahun yang lalu, Maru termasuk beruntung masih bisa booking mereka untuk bulan Mei nanti, banyak orang yang mau sewa mereka tapi nggak bisa lagi.”

“Kalau bulan April bisa nggak, mbak?” aku masih berusaha mencari waktu tercepat untuk penyelenggaraan pernikahan agar tak jadi ribet karena corona.

“Bulan April, sebentar saya coba cocokan dengan vendor dulu, nanti saya telepon lagi Maru ya.” Kata Mbak Nadisa.

“Baiklah, mbak. Maru tunggu kabar baiknya ya,” kataku, lalu menutup telepon, ke luar dari mobil dan melenggang menuju gedung kantor yang berada tak jauh dari kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Gedung kantorku yang bersebelahan dengan salonnya Sunyi yang kini kosong karena Sunyi memutuskan untuk pindah ke kampungnya.

Untung ada Mbak Nadisa. Aku benar-benar sangat berterima kasih dengannya, berkat bantuannya, sehingga aku tak perlu pusing-pusing mempersiapkan pernikahan. Mbak Nadisa adalah teman ibunda. Beliau pemilik wedding organizer Nadisa Bride, setiap kali ada klien yang memakai jasanya, Mbak Nadisa selalu melibatkan ibunda untuk jasa cateringnya. Ibundaku memang mempunyai usaha catering yang telah berjalan selama kurang lebih 20 tahun ini.

Di depan pintu rumah busana, kulihat Revy—security—tengah menenteng sebuah ember besar yang ada keran air dibawahnya bersama sabun cair, ia meletakan ember dan sabun tersebut itu pada sebuah meja kayu yang telah dipersiapkannya dari sejak kemarin.

“Assalamualaikum. Selamat pagi, Bu Maru.” Sapanya ramah dibersamai sikap yang penuh kehormatan.

“Wa’alaikumussalam. Selamat pagi, Pak Revy. Jadi sekarang sudah mengikuti anjuran pemerintah ya, menyiapkan tempat untuk mencuci tangan di depan kantor?” kataku memperhatikan hasil kerjanya.

“Betul, bu. Di dekat pintu masuk dan pada beberapa tempat juga telah kami siapkan hand sanitizer untuk para pelanggan atau siapa saja yang hendak belanja. Cari aman saja, bu.” Katanya lagi menjelaskan kepadaku segala yang telah kuperintahkan dalam rapat kemarin.

“Bagus. Kalian juga jangan lupa gunakan masker ya, nanti kita akan memproduksi banyak masker buat persiapan. Jadi bila ada pengunjung yang tak bermasker bisa kita berikan.” Kataku melangkah masuk.

Revy membukakan pintu untukku. Di dalam tampak Siti, Arda, Irwan tengah sibuk membersihkan ruangan.

“Selamat Pagi, Bu Maru.” Sapa mereka bersamaan.

“Selamat pagi. Jangan lupa pakai maskernya. Ehm, mungkin rumah busana kita perlu menambah tenaga office girl dan office boy biar pekerjaan kalian nggak terlalu repot, selain itu kasihan juga Pak Jojon kerja sendirian membersihkan gedung ini,” kataku berputar-putar di lantai bawah untuk memeriksa hasil pekerjaan pegawai-pegawaiku.

“Jadi mau buka lowongan kerja baru ya, bu?” tanya Siti tampak antusias.

“Iya, bu, lebih baik begitu. Kasihan Pak Jojon membersihkan tiga lantai sendirian kalau nggak kami bantuin.” Timpal Iwan yang terlihat senang saat aku mengatakan untuk mencari office girl dan boy.

“Iya. Nanti kita bicarakan lagi ya. Silahkan lanjut kerjanya. Pepeng dan Resta sudah datang?” tanyaku di depan pintu lif menunggu lift terbuka.

“Ibu Resta sudah, Mas Pepeng belum.” Kata Arda. Aku mengangguk dan langsung masuk ke dalam lift.

Saat lift akan tertutup, sebuah teriakan membuat jari telunjukku menahan tombol supaya lift tak tetutup.

“Mbak Maru, tungguuu!!” Pepeng berlari dengan langkah panjang mengejarku.

Lihat selengkapnya