Bridecov-19

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #12

Chapter 12. Kabar Buruk

Aku memutar kembali kursi kerja membelakangi jendela dan menghadapi Pepeng yang berdiri sembari menggenggam telepon kantor, bertanya padanya dengan isyarat mata dan kedua alis yang terangkat ke atas. Asisten setia itu paham bahasa isyaratku.

Dia menyerahkan telepon padaku seraya berucap lirih: “Mbak Femi mau bicara.”

“Sini.” Kataku langsung mengambil telepon kantor tanpa kabel tersebut.

“Assalamualaikum, Mbak Maru ....”

Wanita diseberang sana menyapaku duluan, suaranya terdengar sengau seperti habis menangis, atau mungkin sedang menahan tangis, bisa jadi ia sedang flu. Entahlah. Pikiranku sibuk menerka-nerka, apa yang telah terjadi padanya.

“Wa'alaikumussalam. Ada apa, Mbak Femi?” tanyaku cemas karena suara sengau yang tertangkap di telingaku telah berubah menjadi tangis yang kehabisan udara.

Intuisiku mulai menangkap hal yang tidak beres, Femi terdengar kesulitan berbicara, berkali-kali ia menarik napas yang terdengar sangat berat sekali.

“Mbak Femi sedang sakit ya?” tanyaku pelan-pelan.

Degup jantungku makin tak terkontrol, aku sedang mempersiapkan mental untuk sebuah kabar yang mungkin saja tak jauh berbeda dengan kabar sebelumnya yang aku terima.

“Iya, mbak. saya—” perkataannya terpenggal oleh suara batuk kering yang berulang-ulang membuat dadaku ikut nyeri mendengarnya.

Aku bangkit berjalan ke arah dispenser untuk mengambil air minum, menghilangkan kekeringan di dada. Kubawa segelas air tersebut menuju sofa dan duduk memeluk bantalan kursi, punggung tegak tanpa bersandar.

“Minum dulu, mbak.” Saranku. Femi tak menyahut, aku hanya mendengar kucuran air disusul dengan tegukan yang terburu-buru dan terpecah oleh batuk kering.

“Maaf, mbak. Saya cuma mau memberitahu ….” Lagi. Untuk kedua kalinya batuk itu menahan cerita Femi. Perasaanku semakin feel bad.

“Eheem, Ya Allah. Mbak Femi kelelahan mungkin, jadi terserang flu,” kataku setelah menghabiskan segelas air putih.

“Iya, mbak Maru. Flu inilah yang membuat seluruh rencana kami hancur berantakan.” Perkataan Femi barusan membuat tubuhku lemas.

“Maksudnya?” tanyaku berdebar—debar.

“Kami tidak jadi menikah, mbak ....” kemudian terdengar isak yang menderas bagai hujan. Jantungku seperti merosot jatuh ke paru-paru hingga membuat oksigen di paru-paru menjadi menipis.

“Astaghfirullahal'azhiim. Kenapa? Apa yang terjadi?” Femi menjawab pertanyaanku dengan suara rintihan yang mengingatkanku pada ratapan yang sama yang pernah kudengar dari Uli tempo hari.

“Saya ... Sa ... ya—” tangisnya pecah lagi. Aku semakin tak tega mendengarnya.

“Tenang dulu, mbak. Tarik napas dalam-dalam, hebuskan. Sekarang coba minum dulu pelan-pelan.” Aku tak tahu apakah Femi melakukan yang aku sarankan atau tidak.

Tiga menit aku menunggunya, akhirnya ia bicara lagi, masih dengan sedu sedan yang memilukan hati serta napas yang terdengar pendek-pendek dan cepat.

“Saya ... Ke … na ... Saya kena corona, mbak. Positif dan sekarang saya harus di karantina di rumah sakit.” Pengakuannya membuatku tersandar lemas di sofa.

“Astaghfirullah. Innalillahi. Sejak kapan?” desisku menahan nyeri yang menyekat di tenggorokan dan rongga dada.

“Sudah empat hari ini. Baru saja saya menerima hasil swab yang ternyata positif, keluarga saya, calon suami dan keluarga calon suami juga di karantina, mereka ... juga sedang menunggu hasil swab.” Suara Femi menghilang berganti dengan batuk kering yang berkali-kali dan tarikan udara pada hidung yang tersumbat.

Aku memeluk erat bantal kursi erat-erat, ngeri sekali mendengar batuk dan pilek Femi yang sepertinya membuat ia kesulitan bernapas. Kini bukan hanya jantungku yang merosot turun, paru-paru pun ikut merosot jatuh ke lambung, membuat lambung menjadi sebah tak menentu.

“Ya Allah. Kok bisa kena?”

Lihat selengkapnya