Baru saja hendak menelepon Dewo—adik—yang tinggal di Cirebon, tetapi ia sudah mendahului meneleponku. Menceritakan perihal yang juga ingin aku ceritakan padanya. Rupanya perempuan itu juga menelepon Dewo dan mengatakan hal yang sama persis. Dewo ternyata sudah mengumpulkan bukti-bukti yang kuat tentang perselingkuhan ayahanda dengan pelakor bernama Idayuna itu.
“Teteh sudah buka WA adik?” tanyanya.
“Iya sudah. Kamu dapat foto-foto itu dari mana, Dik?” tanyaku. Menahan amarah yang telah terpantik sejak tadi.
“Dari Mang Edi dan Mang Asep.”
“Ibunda sudah tahu?”
“Justru adik tahu ceritanya dari ibunda, sebenarnya ibunda dan ayahanda telah bercerai dari sejak dua tahun yang lalu, karena ibunda tak mau di madu. Ibunda sengaja menyembunyikan semua ini dari kita, khususnya dari tetah karena ibunda tak mau buat teteh sedih dan marah. Ibunda sengaja merahasiakannya agar kita tak membenci ayahanda yang telah menikah lagi.” Tubuhku lemas seketika mendengar cerita Dewo.
Betapa tangguh dan kuatnya hati ibunda menyimpan semua rahasia itu dari anak-anaknya, demi supaya kami tak membenci suaminya yang dari benihnya kami hidup, tumbuh dan berkembang dengan penuh kasih.
“Astaghfirullahal’azhiim. Yang seharusnya menikah itu teteh, bukannya ayahanda. Keterlaluan sekali,” desisku penuh kekecewaan.
“Itulah yang buat adik marah, Teh. Bahkan teteh akan menikah pun, ayahanda seolah tak perduli, dia sibuk dengan wanita itu saja.”
Aku meremas tangan kiri. Ingin rasanya kulayangkan tinju pada perempuan yang telah menghancurkan rumah tangga orangtuaku itu. Ingin juga rasanya kuluapkan segala kekesalan ini kepada ayahanda yang telah mengkhianati wanita baik dan salihah yang teramat kami cintai. Tega sekali ayahanda menceraikan wanita sebaik ibunda.
“Kata ibunda, nggak usah dipermasalahkan lagi, Teh. Kalau perempuan itu minta warisan diamkan saja, sebab ayahanda sudah membuat surat wasiat buat kita berdua yang ayahanda titipkan di ibunda. Teteh nggak usah marah dan kesal, jangan jadi pikiran, teteh fokus saja sama pernikahan teteh dan Kak Aru. Ibun sudah telepon Kak Aru kok,”
“Teteh kecewa, Dik, sangat kecewa dengan ayahanda, tega sekali dia kepada ibunda dan kita berdua. Terus apa benar ayahanda sedang sakit dan kena covid?”
“Kalau itu adik nggak tahu, Teh. Adik dan Kak Aru juga sedang mencari tahu tentang hal itu. Lagian ayahanda juga susah buat dihubungi. Sudahlah, teteh jangan banyak pikiran, jaga kesehatan. Urusan ayahanda biar adik yang urus sama Kak Aru. Teteh tenang saja ya,”
Aku menarik napas dan menjawab singkat saja, meski sebenarnya banyak yang ingin aku katakan pada Dewo, namun entah kenapa, energiku terasa terkuras, tubuh terasa lemas sekali.
“Iya, Dik.”
“Teteh belum cuti?”
“Akhir bulan Maret ini teteh pulang ke Palembang, Jakarta mulai nggak nyaman sejak ada corona dan kabar-kabarnya Jakarta akan di lockdown untuk sementara waktu hingga penyebaran corona berkurang.”
“Sebelum Jakarta lockdown, teteh pulang saja ke Palembang, istirahat dan persiapkan diri buat pernikahan teteh nanti.”
“Iya. Rencananya juga seperti itu.”
“Adik kerja dulu ya, teh. Nanti adik kabari kalau ada perkembangan kabar dari ayahanda. Kalau perempuan itu telepon atau chat lagi, diamkan saja nggak usah di angkat, nggak usah juga dibalas. Dia cuma mau mengacaukan keluarga kita. Dia juga pasti sudah dapat warisan dari ayahanda, kan kita nggak tahu. Ya sudah, Teh. Wassalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Ya Allah, ujian apalagi ini? Kenapa jadi seperti ini? keluhku dalam hati.
Kututup mata rapat-rapat, menarik napas panjang beberapa kali, memenuhi paru-paru yang kekeringan akan kadar oksigen murni. Ingin rasanya menangis menjerit-jerit di depan ayahanda, betapa ia tak mempunyai perasaan. Bukan hanya satu wanita yang telah ia sakiti, tetapi juga aku. Ia telah mematahkan cinta pertamaku tanpa kata pamit lagi.
Aku kehilangan gairah bekerja, untung saja seluruh sketsa rancangan busana telah kuselesaikan dan kuserahkan pada penjahit. Tubuhku lemas, energi terasa terkuras.
Ibunda meneleponku pada waktu hampir mendekati pukul 14.00 Wib, ketika Aru sudah berada di kantorku untuk menjemput makan siang.
“Ibunda telepon.” Kataku melihat Aru yang masih terlihat tenang dan sabar.
“Angkat dulu.” Katanya, duduk lagi disebelahku.
“Assalamualaikum, Nak.”
“Wa’alaikumussalam, Bun. Adik Dewo tadi telepon Maru—”
“Iya, ibunda tahu. Ibunda yang menyuruh sebab tadi ibunda sedang menyelesaikan urusan dengan pengacara. Mar, kamu yang sabar ya. Ayahandamu sekarang sedang kritis di rumah sakit, asistennya tadi yang memberitahu ibunda. Perkara ayahanda menikah lagi, tak usah kamu permasalahkan lagi ya, biarlah itu sudah menjadi takdirnya. Ibunda sudah ikhlas melepaskannya asalkan ia masih mempunyai tanggung jawab kepadamu, adikmu dan juga Akillah, cucunya.”
“Kenapa ibunda tak cerita dari dulu?” cericitku lirih.