Bridecov-19

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #14

Chapter 14. Mimpi Yang Menjadi Nyata

Selepas maghrib, Aru pulang dari apartemenku. Akhirnya kami sepakat bahwa pernikahan akan tetap berlangsung sesuai dengan jadwal yang telah kami tentukan dari sejak awal. Tak bergeser sedikit pun, dengan harapan; semoga bila saat itu tiba corona segera berlalu. Kesepakatan yang bukan hanya kami putuskan berdua saja, tetapi juga kami melibatkan orangtua serta meminta pendapat kepada keluarga yang lain.

Selain itu, aku juga berharap ayahanda akan pulih dan bisa menjadi wali dalam pernikahanku. Bagaimana pun sakitnya dikhianati dan ditinggalkan seorang ayah yang menikah lagi dengan wanita selain dari ibu, dia tetaplah ayahandaku. Seperti yang ibunda katakan, aku tidak boleh membencinya.

Mau tak mau aku harus berdamai dengan kenyataan ini, belajar untuk tetap bersikap lebih tenang, meski pada situasi yang paling tidak nyaman sekali pun. Tak mudah, sungguh. Untung saja Aru, ibunda dan para sahabat selalu mendukung dan tak henti memotivasi.

Sejujurnya pikiranku masih disibukan dengan kondisi ayahanda yang belum jelas bagaimana. Tak dapat kupungkiri, rasa takut kehilangan itu ada, kebencian dan kasih sayang tengah bertarung berebut perhatianku. Sehingga aku tertidur dengan membawa kegelisahan bersama sedikit rasa marah, sedikit kekesalan, kekecewaan dan berbagai perasaan yang tak menentu.

Baru saja hendak terlelap, aku mendengar ada yang mengentuk pintu apartemen. Dua kali ketukan lembut, kemudian disusul satu ketukan yang kuat. Setelah itu hening. Kusibakan selimut, turun dari ranjang ke luar kamar, menuju pintu untuk mengintip—melalui lubang khusus dibagian atas pintu—siapa orang yang mengetuk pintu apartemenku tengah malam seperti ini.

Nggak ada siapa-siapa! Mungkin tadi aku sempat tertidur dan bermimpi ada yang mengetuk pintu. Gumamku dalam hati sembari berjalan kembali ke kamar.

Aku memutar tubuh hendak kembali ke kamar, tetapi ketukan itu terdengar lagi. Lebih lembut dan lemah. Setengah takut aku memutar kunci dan menarik tuas pintu perlahan.

Sesosok pria berusia lebih dari separuh baya berdiri dengan wajah pucat dan lemah, mata birunya menatapku dengan linangan airmata. Memakai pakaian serba putih dan serban yang melilit dikepala serta syal berwarna kuning.

“Ayahanda!” desisku. Aku langsung menarik tangannya dengan menyiumi tangan yang dingin tersebut. “Kenapa ayahanda tidak menelepon dulu, kan bisa Maru jemput kalau ayahanda mau menginap di rumah Maru,” cerocosku.

Ayahanda tersenyum samar, ia merapikan syal yang terlepas dari lehernya, namun syal itu melorot lagi. Aku membantunya melipatkan syal ke leher. Syal berwarna kuning gading. Aku ingat, ayahanda pernah meminta untuk dibuatkan syal berwarna kuning gading dari wol yang hangat, lalu aku merajutnya dengan tanganku sendiri.

“Ayahanda datang cuma sebentar, Nak. Ayahanda cuma ingin meminta maaf padamu. Maafkan bila ayahanda tak bisa menjadi wali dalam pernikahanmu dengan Aru nanti. Ayahanda tak sempat lagi, Nak. Waktu yang ayahanda miliki tinggal sedikit lagi. Nak, jaga dirimu baik-baik ya, ayahanda telah menitipkanmu pada Aru. Insya Allah rumah tangga kalian sakinah, mawaddah, warohmah dan penuh mahabbah. Ayahanda restui kalian dan ayahanda ridho kamu dipersunting oleh Arusha. Nak, jadilah istri yang salihah dan setia pada janji sewaktu di alam ruh seperti ibundamu.”

“Ayahanda, kenapa ayahanda bicara seperti itu. Ayahanda tak perlu meminta maaf, Maru telah memaafkan semuanya. Ayahanda pasti sembuh, berjanjilah pada Maru, ayahanda akan datang,” kataku memohon.

Ayahanda tersenyum dibersamai dengan gelengan halus.

“Tak ada seorang pun yang dapat menahan apa yang telah menjadi ketetapan-Nya dan tak ada seorang pun yang bisa menolak segala apa yang telah Allah putuskan. Jangan menangis, Nak. Iringi ayahanda dengan doa ya, maafkan ayahanda telah mengkhianati kalian, mengkhianati ibundamu. Sungguh cinta ini sangat dalam untuk ibundamu, untukmu dan adikmu. Ayahanda pamit ya, Nak. Assalamualaikum.” Ayahanda mengusap tetesan air di pipiku, mengusap kepalaku beberapa kali, berdoa panjang, lalu pergi bersama purnanya fajar kizib di ufuk timur.

“Wa’alaikumussalam. Ayahanda, jangan tinggalkan Maru, Maru mau ikut ayahanda. Ikuut, yah. Ayahanda jangan pergi, ayahaandaaa—” aku berlari menerobos koridor apartemen yang temaram, mencoba mengejar ayahanda, namun tak terkejar lagi. Azan subuh telah menjemput langkahnya yang melayang bagai angin selatan.

“Ayahandaaaa—” pekikku. Langsung terduduk dengan napas terengah-engah.

“Astaghfirullahal’azhiim. Ternyata hanya mimpi.” Kudorong punggung pada dinding ranjang sembari mengatur napas.

Pelan-pelan kuraba nakas kecil disamping ranjang mencari ponsel untuk melihat jam. Pukul 05.00 Wib. Pas waktu subuh, suara azan dari masjid di lingkungan apartemen pun terdengar sayup-sayup. Aku turun untuk menghidupkan lampu kamar.

Tak langsung ke kamar mandi, aku sempat menghabiskan segelas air putih yang kusiapkan di nakas samping tempat tidur. Mengingat-ingat peristiwa yang baru terjadi tadi, seperti nyata. Ayahanda datang, mengetuk pintu apartemen dan aku membukakannya.

Kupikir tidak sedang bermimpi, tapi itu mimpi. Nyatanya ayahanda tak pernah datang lagi ke apartemenku. Terakhir ayahanda datang dan menginap di sini enam bulan yang lalu, sebelum ia berangkat ke Singapura. Saat ayahanda menginap di sini, ia mengajak Aru menginap di sini juga. Mereka berdua bercakap-cakap sampai lewat tengah malam, tak tahu apa yang dibahas oleh mertua dan menantu itu, keduanya tampak sangat asyik sekali.

Setelah itu, ayahanda tak pernah datang lagi.

Aku bergegas menuju kamar mandi untuk mensucikan diri sebelum melaksanakan ibadah salat subuh. Lama aku duduk di atas sajadah, pada subuh yang gerimis ini, aku berdialog dengan Allah, dialog satu arah. Aku mendoakan ayahanda, mendoakannya agar ia berpisah dari wanita bernama Idayuna itu dan memohon kepada Allah untuk kesehatan ayahanda, ibunda dan kedua calon mertua, aku memohon supaya Allah mengembalikan ayahanda kepada kami. Setelah itu aku mendoakan Aru dan diriku sendiri juga semua saudara serta sahabat-sahabat agar terhindar dari wabah penyakit.

Katanya doa dikala gerimis datang adalah saat yang tepat untuk di ijabah. Maka aku melengkapi doa dengan membaca Al-Qur’an. Aku merasakan seperti ada yang menyiramkan setetes embun di atas kepala dan rasanya menenangkan.

Lihat selengkapnya