Hingga sampai di rumah Aru, aku masih belum bisa menghentikan airmataku. Mama panic melihatku datang dengan muka basah, perempuan berusia 52 tahun tersebut langsung memelukku erat, membawaku masuk ke ruang keluarga dan berusaha menenangkan.
“Masya Allah, apa yang terjadi, Ru? Kenapa dengan Maru? Kamu apakan dia, kalian bertengkar?” pertanyaan mama persis seperti petasan renceng yang meletus secara beruntun.
Aru menarik napas, ia tak langsung menjawab pertanyaan mama, melainkan berjalan ke dapur, tak lama ia ke luar lagi dengan membawa air hangat untukku. Bersamaan dengan munculnya papa dari arah kamar.
“Kenapa Maru menangis?” papa langsung menghampiri, duduk di sofa berseberangan arah denganku.
“Minum dulu sayang.” Aru duduk disamping kiriku sembari menyodorkan gelas ke dekat bibir.
“Pelan-pelan, Nak.” Kata mama yang masih belum mengerti apa yang telah terjadi. Mama menatap Aru menuntut penjelasan.
“Ada apa ini?” desis mama mengulangi pertanyaan.
“Ayahandanya Maru meninggal dunia karena covid, sedang dalam tugas pekerjaan di Singapura.” Kata Aru pelan.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun.” Seru mama dan papa serempak.
“Siapa yang mengabarkan?” tanya papa.
“Pak Priyanto, asisten ayahanda.” Sahut Aru.
“Bagaimana dengan Pak Pri, apa dia kena covid juga?” tanya mama, ia mendekap bahuku erat sekali, namun tetap tak bisa menghentikan airmataku.
“Pak Pri, masih di karantina menunggu hasil tes swab. Hasil tes pertamanya negative. Soalnya pas awal ayahanda kena dan tertular dari rekan kerjanya, ayahanda langsung mengisolasi diri dan menyuruh Pak Pri menjauh, ayahanda sendiri yang menelepon pihak rumah sakit agar dijemput untuk di rawat.” Cerita Aru.
Aku bersyukur dan lega, Aru menutupi cerita tentang istri mudanya ayahanda yang juga tertular, sebenarnya ayahanda bukan tertular dari rekan kerjanya, tetapi tertular dari istrinya sendiri yang saat itu baru pulang dari berjumpa dengan teman-temnnya—para wanita sosialita—yang sedang mengadakan arisan. Idayuna membawa virus tersebut pulang dan menularkannya pada ayahanda. Begitu cerita yang kudengar dari Pak Pri tadi.
“Ya Allah, menyeramkan sekali. Cobalah Pak Elang tuh segera pulang sebelum Singapura terdampak virus. Kan sudah tahu kalau anak gadisnya akan menikah dan butuh wali.” keluhan mama semakin membuatku sedih.
“Mama!” hardik Aru.
“Marumasih punya adik laki-laki yang bisa menggantikan ayahandanya, bila adiknya tak bisa, kan masih ada paman.” Papa turut menyela.
“Iya ya. Seharusnya kalian menikah akhir tahun kemarin sebelum ada corona, pasti nggak akan jadi begini ceritanya,” sambung mama lagi yang terus menerus menyesali keadaan, membuatku semakin merasa tertekan.
“Mama. Sudahlah, kasihan Maru.” Hardik Aru dan papa.
“Apakah tak bisa dibawa pulang jenazahnya?” tanya papa pada Aru.
“Aru akan coba urus, pa. Aru mau tanya pada pihak KBRI dan rumah sakit tempat papa di rawat,” sahutnya.
“Papa ada teman di KBRI, papa coba hubungi ya. Kamu hubungi pihak rumah sakit.” Papa masuk ke kamar dan ke luar lagi dengan membawa ponsel.
“Iya, pa. Sayang, sudah jangan nangis terus, nanti kepalanya pusing. Kakak akan coba usahakan supaya kita bisa membawa jenazah ayahanda pulang.” Bisik Aru, menarik dan meremas tanganku. “Kakak telepon pihak rumah sakit dulu ya,” aku hanya mengangguk.
“Iya, Mar. Tenanglah, sabar ya. Kamu masih punya papa dan Aru. Ibunda sudah diberi tahu?” tanya mama, menyandarkanku di sofa, lalu ia mengambil tisu dan menghapus air yang membasahi pipiku.