“Maru kenapa?” Aru cepat-cepar menghampiri begitu melihatku terduduk lesu di kursi rotan dengan ponsel yang terjatuh di lantai.
“Maru rugi, kak. Banyak klien yang membatalkan pesanan. Lama-lama rumah busana Maru bisa bangkrut kalau corona masih merajalela di Jakarta.” Aku mengeluhkan rasa takut pada Aru.
“Ya Allah, alasan mereka membatalkan pesanan pasti alasannya hampir mirip dengan apa yang terjadi pada Uli ya?” tanya Aru, memungut ponsel yang jatuh di lantai, lalu duduk disebelahku.
“Iya.” Aku mengangguk dan bersandar di dadanya.
“Sabar ya sayang. Bukan hanya kamu, banyak orang yang mulai merasakan dampak dari corona ini. Tak ada seorang pun yang menginginkan hidup jadi seperti ini. Insya Allah, nanti akan Allah ganti dengan rezeki yang lebih besar lagi.” Katanya menghiburku.
“Aamiin.” Jawabku.
“Kakak kerja dulu ya, Maru istirahat saja dulu di sini.”
“Maru harus ke kantor, kak. Pepeng sudah buat jadwal rapat jam 2 siang ini,”
“Mata bengkak seperti itu mau ke kantor?” katanya sambil mengusap wajah dan mataku yang sembab.
“Iya ya.” Kataku baru menyadari kalau mukaku pasti berantakan. “Cuci muka dulu ah, kompres pakai batu es saja hilang kok.” Kataku melepaskan diri dari rangkulannya dan bergegas masuk ke dalam. Aru mengikuti sambil tertawa.
“Aru, Maru, ayo kita makan siang dulu,” ajak mama ketika aku melewatinya hendak ke kamar mandi.
“Iya, mam, nanti.” Teriakku. Aru menyusulku dan menunggu di depan pintu kamar mandi.
“Ngapain ngikutin Maru ke kamar mandi?” ujarku begitu ke luar.
“Mau ambil air wudhu, mau salat zuhur. Memangnya mau apa coba?” ledeknya.
“Di kamar mandi kamu kan ada kamar mandinya, Ru,” Aru meringis mendengar perkataan mama.
“Oh iya, lupa.” Katanya nyengir. Aku cekikikan.
“Bukannya lupa, memang dasar kamu yang nggak mau jauh dari Maru. sudah sana buruan salat, sudah di tunggu papa tuh untuk makan siang. Maru mau salat juga?” Aru terkekeh tapi tetap masuk ke kamar mandi belakang setelah aku ke luar.
“Iya, ma. Tapi mau kompres muka dulu.” Kataku mengambil es batu di lemari es.
“Ayo, barengan. Berjamaah.” Ajaknya.
“Iya, kak.”
Selepas salat dan makan siang, aku berkemas untuk pergi ke kantor. Apapun yang telah terjadi dalam hidup akhir-akhir ini, tak boleh membuatku berhenti berjalan, hidup harus terus berlanjut. Ada beberapa nyawa yang nasibnya berada dalam tanggung jawabku, mereka juga harus tetap melangsungkan hidupnya. Masa pandemik ini membuat semuanya mulai terasa sulit. Aku harus memutar otak bagaimana caranya agar rumah busana ini tetap berjalan dan bisa memberikan gaji kepada semua karyawan serta penjahit yang sudah bertahun-tahun membantuku membesarkan nama Rumah Busana Maru.
“Kamu nggak usah pulang ke apartemen, Mar. Tinggal di sini saja, mama takut kamu kenapa-kenapa nanti di sana sendirian.” Kata mama tampak cemas.
“Nggak enak nanti dilihat tetangga, ma.” Dalihku.
“Justru lebih nggak enak lagi bila melihat Aru sering ke apartemen kamu dan kalian dua-duaan di sana. Memang mungkin kalian tidak melakukan apa-apa, tapi pandangan orang pasti berbeda. Kalau di sini ka nada mama dan papa yang akan mengawasi kalian berdua,” kata mama.
“Betul. Apalagi situasi kamu masih berduka seperti ini. Sebentar lagi kan kamu mau pulang juga ke Palembang,” sambung papa.