“Banyak orang yang cuma bisa berkata-kata dengan sangat bijaksana, menyamakan keadaan hanya dengan apa yang ada pada dirinya, tetapi tak bisa merasakan apa yang orang rasakan.” ~NRS~
Aku duduk mematung di muka cermin, menatap jauh ke dalam sana dengan perasaan gamang. Serupa istana pasir yang kubangun dengan susah payah, akhirnya hancur diterjang ombak yang menggulung, menyapu bersih pesisir pantai. Tak menyisakan secuil asa pun kecuali butiran kekecewaan yang berantakan.
Laksana zombie. Sosok kurus di dalam cermin menatapku sangar, penuh kebencian, senyumnya miring mengejekku, bibir tipis melengkung bagai gandewa berdesis mengalirkan lelehan darah kental dari sela-sela giginya yang putih berbaris rapi. Wajahnya seputih salju, dingin dan kaku, bola mata coklat yang kehilangan cahaya bersembunyi dalam rongga mata yang cekung berhiaskan lingkaran hitam yang menyempurnakan kekelaman hati. Tangannya terulur ke arahku siap mencekik dan mematahkan batang leher, kuku di jari-jari tangannya yang runcing itu seolah hendak merobek jantung, mengambil dan memakannya.
“Aahh, tidak! Jangaaan!” seruku tertahan. Serentak berdiri, hingga bangku meja rias terjungkal dan roboh. Tak kuperdulikan, papil mataku menantang takut pada sosok zombie di dalam cermin, sembari menyeret kaki untuk mundur lima langkah.
Belum hilang rasa kaget, tiba-tiba zombie di dalam cermin sana berubah menjadi seekor makhluk purba yang bertubuh tinggi besar, buntutnya panjang dan duri-duri tajam disepanjang punggung sampai ke ekornya, giginya runcing dan hembusan napas sangar yang mengeluarkan hujan api. Makhluk yang menyerupai Godzilla atau mungkin tiranosaurus rex itu menggerakan tangannya, menembus lapisan cermin hias, ia hendak mencengkram dan melumat tubuh mungilku.
“Hiaaahh ….” Kugenggam dada erat-erat menyembunyikan degupan jantung, setapak demi setapak mundur, menjauh, menghindari serangan Godzilla yang saat ini berada di luar cermin.
Aku menyambar gawai yang tergeletak di tempat tidur dan melemparkannya ke arah cermin, lalu berlari menuju meja kerja meraih vas bunga dan melemparkannya lagi ke arah cermin, aku meraih apa saja yang masih bisa kuraih untuk mengusir Godzilla yang sudah berubah wujud lagi menjadi zombie.
Praaang, prang, prang, prang ….
Ramai suara lemparan yang disusul dengan jatuhnya kepingan-kepingan cermin meja rias, kemudian hancur. Serpihannya berhamburan di lantai kamar. Namun zombie itu belum juga mau enyah, bukan hanya lemparan benda keras, puluhan untaian doa dipanjatkan tetap saja siluman mayat hidup itu bertahan dan makin nekat.
“Jangan, jangan bunuh aku,” pekikku, menangis histeris. Rasa takut ini melumpuhkan logika serta syaraf-syaraf motorik dan sensorik tubuhku.
Aku semakin kalap, melawan semampuku, melemparkan apa saja yang bisa dilemparkan, hingga aku kelelahan dan terduduk, tersudut di kamar pengantin yang temaram. Aku merangkak mendekati tumpukan kardus berisi ratusan undangan yang siap untuk dikirimkan. Membuka paksa kardus tersebut dan menghambur-hamburkan isinya, berharap lemparan kertas undangan dapat menyemarkan penglihatan zombie hingga tak jadi menelanku.
Bukannya berhenti, zombie tersebut menjadi marah, mengamuk dan memuntahkan ribuan makhluk halus berbetuk bola-bola yang memiliki banyak tanduk seperti tanduk hewan bulu babi yang bergulung-gulung mengepungku, memancing kemarahanku.
“Pergi, jangan dekati aku! Pergi!” Godzilla itu datang lagi bersama kemarahan, ia tertawa terbahak-bahak, mentertawakan kepanikanku menghadapi makhluk halus yang mirip buah rambutan tersebut.
Kedua kakiku lemas, aku tak sanggup berdiri. Aku hanya bisa mengibas-ngibaskan tangan menghindari serangan makhluk-makhluk aneh yang datang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.