“Subhanallah, Mbak Maru cantik sekali.” Puji Pepeng, asistenku. Ia terpaku di depan pintu kamar membawakan siger—mahkota pengantin Sunda—yang akan dipasangkan oleh Gladis, MUA yang bertanggung jawab untuk mendadaniku di hari bahagia ini.
Pipiku menghangat. Bukan hanya Pepeng yang menyematkan pujian dan menyinariku dengan sorot mata yang penuh kekaguman. Ibunda dan semua sanak keluarga yang mengintip ke kamar pengantin mengucapkan kata yang sama.
Gladis lah yang lebih berhak mendapatkan pujian ini, sebab tangan dan kuas ajaibnya lah yang membuatku menjadi luar biasa.
“Gladis jamin, Mas Aru pasti makin cinta sama mbak. Bukan begitu, Peng?” Gladis melirik Pepeng sembari memasangkan mahkota putri Sunda di kepalaku.
“Pasti. Mas Aru bakal tak berkedip lagi melihat Mbak Maru.” Pepeng turut membantu memperbaiki letak mahkota.
Lalu pria gemulai itu berdiri dihadapanku dengan dua jari menopang dagu, matanya begitu teliti mengkoreksi hasil riasan Gladis—teman dekatnya.
“Gimana, Peng?” tanya Gladis, meminta pendapat.
“Perfect.” Katanya menjetikan jari dan memberi dua jempol pada Gladis.
Lalu ia berteriak memanggil Erick, “Rick, Rick, cepat masuk sini.” Ia menarik tangan Erick agar melihat penampilanku.
“Wow, Masya Allah. Pangling lihat Teteh Maru.” Sepertinya Erick kehabisan kata. Matanya berbinar-binar melihatku.
“Mana kameranya, Rick. Aku panggil kamu bukan buat bengong, calon istri orang ini, haram pria lain mengangguminya. Abadikan cepat,” yakin tak ada yang sanggup mendengar kebawelan asistenku ini. Bahkan emak-emak pun kalah level cerewetnya.
“Siap-siap. Tunggu sebentar.” Erick keluar kamar tergesa-gesa, lalu masuk lagi untuk melakukan sesi fotoshoot.
Dreams cometrue. Mimpi yang kurancang selama bertahun-tahun kini berbuah hasil yang ranum. Pesta pernikahan impian sudah di depan mata, beberapa jam lagi momen yang paling sakral itu pun akan segera tiba. Aru, pria pilihan Allah, yang hadir menggenapkan separuh dien-ku, menghapus kegundahanku selama ini dan yang siap meretas samudera hidup bersama-sama dalam biduk yang disebut rumah tangga.
Namun hingga matahari naik ke puncak langit. Arusha dan keluarga besarnya belum juga tiba. Aku masih mencoba untuk berpikir positif, mungkin mereka terjebak macet di jalan protokol Palembang. Tapi masa iya, macetnya sampai berjam-jam.
“Peng. Sudah ada kabar dari Kak Aru belum?” tanyaku gusar, melirik jam klasih model kuno yang bergantung di dinding kamar.
“Belum ada, mbak. Chat WA aku aja nggak dibuka sama Mas Aru.” Sahut Pepeng yang sudah belasan kali mondar-mandir, kamar, ruang tamu, keluar tapi belum ada kabar baik yang kudengar darinya.
Setiap kali mataku bertanya, ia hanya menjawab dengan gelengan serta tatapan sendu.
“Ambilkan gawai saya, Peng.” Cepat-cepat Pepeng menyerahkan benda berlayar 7 inci tersebut padaku.
Tanpa banyak membuang waktu lagi, aku langsung menghubungi nomor Arusha. Namun operator provider nomor tersebut langsung menginformasikan bahwa nomor yang dituju sedang berada di luar jangkauan.
“Ya Allah, ada apa ini sebenarnya, apa yang terjadi?” keluhku, dada perih bagai ada yang mencengkram, tercekat hingga ke kerongkongan.
“Istighfar, Nak. Insya Allah semua akan baik-baik saja,” ibunda mengusap-usap punggungku penuh kehangata, tapi tetap saja kegelisahan itu kian memuncak ketika kuminta Pepeng menghubungi ayahnya Arusa pun tak ada jawaban.
Berbagai macam pikiran buruk mengelabuiku, berbagai bentuk rasa membuat hati semakin tak menentu, desir-desiran aneh berlalu-lalang dalam aliran nadi.
“Teh.” Kepala Theo muncul di muka pintu.
“Ada kabar dari Kak Arusha kah?” kataku menyambar kata lebih dahulu.
“Kak Aru sudah datang, tapi ….” Detak jantungku berhenti mengikuti potongan kalimat Theo.
“Tapi apa?” tanya kami semua bersamaan. Pepeng dan ibunda keluar mendahuluiku. Gladis membantuku untuk berdiri, menuntun berjalan ke depan.
Keluarga Aru datang dikawal oleh orang-orang yang berpakaian seperti astronot, mereka membopong beberapa peti jenazah yang terbuat dari besi yang kokoh.