Disebuah rumah makan Padang yang cukup megah. Aru diam menyimak cerita-cerita mimpiku. Sesekali ia mengangguk, kadang mata coklatnya melebar dengan mulut terperangah mendengar semua ceritaku. Setelah selesai bercerita, ia menarik tanganku, menggenggamnya erat-erat, menepuk-nepuk punggung tangan seraya menghiburku, senyumnya bagai pil penenang yang sekejap menghapus firasat yang menari-nari eksotis dalam pikiran yang kacau.
“Neng. Jangan putuskan doa-doa ya, Insya Allah semua akan baik-baik saja.” Aku mengangguk, ia melanjutkan lagi ucapannya: “Semoga virus corona di Wuhan itu tak sampai ke Indonesia, supaya acara kita berjalan lancar nanti.”
“Itu juga yang Maru cemaskan kak. Maru takut, bagaimana kalau virus mematikan itu sampai masuk ke Indonesia? Pakaian orang-orang yang membawa jenazah itu mirip APD yang dikenakan oleh medis dan para medis yang ada di Wuhan,” aku menampar jauh pikiran buruk supaya ia tak menghantui tidurku lagi.
“Sudah nggak usah memikirkan itu lagi. Fokus sama pekerjaan kamu dan persiapan pernikahan kita. Kamu harus jaga kesehatan, acara adat nanti akan menguras banyak energy, biar wedding organizer aja yang memikirkan semua detil acara pernikahan kita.” Kata Aru yang begitu sabar menghadapi kebaperanku.
“Iya sih, walaupun kadang-kadang WO masih suka juga buat kita pusing.” Dalihku.
“Kita membayar mereka untuk meringankan beban kita dan sudah tugas mereka kan memuaskan konsumen dengan pelayanan terbaik. Kamu nggak usah pusing, nggak usah baper. Makan dulu yuk, nanti keburu dingin nih,” pria berhidung tinggi ini memasukan sesendok nasi dari piringnya ke dalam mulutku.
Aku menyambutnya malu-malu. Sering kali perlakuan special Arusha membuatku tersipu. Ia sangat memanjakanku, benar-benar memperlakukanku bak seorang ratu. Aku menyambar sendok di tangan Aru sambil menunduk tersipu.
“Maru makan sendiri aja. Malu sudah gede masih di suapin,” bisikku. Tak enak hati dilihatin pengunjung yang lain. Aru hanya tertawa.
Aru memang pandai membuatku melupakan hal-hal yang sering mengganjal di alam pikiran, padahal sebenarnya persoalan itu persoalan kecil yang tak seharusnya kumasukan ke dalam pikiran.
Tetapi begitulah aku. Sosok introvert yang suka berpikir kepanjangan. Mudah baper dan langsung down bila mendapatkan masalah, meski begitu aku bukan tipikal wanita yang suka larut dalam masalah, secepatnya aku harus segera bangit dari keterpurukan, bergerak mencari dan menemukan solusi serta bagaimana caranya agar cepat keluar dari permasalahan apapun itu.
Oya, kenalkan namaku Maru, lengkapnya Aamaru Mahirah Mahranie, seorang perancang busana dan wedding stylist yang memang bekerja khusus untuk membantu mewujudkan pernikahan impian banyak orang. Banyak orang bilang aku seorang gadis yang perfeksionis, smart, mandiri dan berprestasi. Memiliki tinggi tak lebih dari 157 centimeter, kelopak mata yang dalam dengan bola mata bulat seperti warna buah hazelnut, berhidung mancung dengan ujung hidung yang meruncing. Banyak orang yang mengira aku berasal dari India, karena memang wajahku persis sekali dengan gadis-gadis India. Bahkan pada awal perkenalan Aru sendiri mengira aku berdarah Lebanon seperti Luciana Joghby, menurutnya aku mirip sekali dengan musikus berdarah Lebanon-Brazil tersebut.
Sebagai seorang perancang busana dan wedding stylist, aku tidak bekerja sendirian tetapi di dampingi oleh seorang asisten, bernama Pepeng. Pepeng seorang pria bertubuh tegap tetapi berjiwa gemulai, ia sangat patuh dan setia padaku, kuat memegang amanah. Pepeng adalah tetangga sebelah rumah Aru, dari Pepeng lah aku mengenal Aru.
Aku mempunyai dua orang sahabat karib bernama Uli dan Sunyi yang ku kenal dari semenjak kami sama-sama duduk di sekolah dasar ketika masih tinggal bersama orangtua kami masing-masing di Palembang. Selepas SMA, aku bersama Uli dan Sunyi bertekad meninggalkan kota Palembang untuk melanjutkan kuliah di Jakarta.
Rosita Mardauli Nasution, dipanggil Uli. Tubuhnya tinggi, ramping, memiliki sepasang kaki indah yang jenjang, rambutnya panjang bergelombang di cat warna coklat dan berkulit eksotis di tunjang dengan wajah yang manis adalah seorang foto model nasional yang cukup banyak memiliki jam terbang. Wanita berdarah Medan-Palembang itu sering menjadi model baju rancangan ku.
Sementara Sunyilarassatri, gadis asli Palembang bermata kecil seperti mata gajah, berkulit putih pucat dan berjilbab sepertiku. Dia memilih menjadi penata rias pengantin dan membuka salon kecantikan di kawasan Menteng bersebelahan dengan rumah busana milikku. Seorang gadis yang pasif dan tak mempunyai keinginan yang kuat, hidup mengalir bagai air.
Aku dan Uli, semenjak kecil kami berdua sudah mempunyai wedding dream yang sempurna. Pernikahan impian yang kami tuliskan secara detil dalam sebuah buku yang berjudul wedding dream. Buku yang berisikan konsep pernikahan, baju pengantin impian, design undangan, fotoshoot hingga souvenir pernikahan. Semua kami rencanakan dengan sangat teliti dan detil sekali. Bahkan aku merancang gaun serta kebaya pengantin untuk ku kenakan di hari bahagia nanti. Mimpi-mimpi itulah yang kemudian mengantarkanku menjadi seorang designer dan wedding stylist.
Berbeda dengan Sunyi, sahabatku yang satu itu justru tak punya mimpi sama sekali, ia tak pernah punya wedding dream, hidupnya mengalir begitu saja mengikuti alur. Ia tak mau hidupnya di repotkan oleh standar-standar mimpi yang rumit. Hidup Sunyi lurus seperti tanpa keinginan dan terlalu pasrah. Ia juga tak terlalu mempermasalahkan perkembangan usaha salonnya yang lambat, yang penting baginya tetap jalan meski untung sedikit. Entahlah, apa yang ada di dalam pikiran Sunyi.
Setelah mengantarkanku ke kantor, Aru langsung pamit hendak kembali ke kliniknya yang berada di wilayah Tanggerang.
Sampai di kantor, Sunyi dan Uli sudah menunggu. Paras keduanya sangat kontras, Uli yang terlihat sangat tegang dan cemas, sementara Sunyi tampak aneh, ada kebahagiaan yang tanggung dibumbui kesedihan yang tak jelas.
“Ada apa dengan kalian?” tanyaku heran memperhatikan keduanya dari ujung kepala hingga kaki.
“Aku mau pamit, Mar.” Kata Sunyi bersama wajah tanpa ekspresi.
“Mau ke mana? Mau kuliah lagi?” Aku ingat beberapa bulan lalu Sunyi pernah cerita kalau ia ingin mengambil kuliah lagi di bidang seni.
Sunyi menggeleng, lalu berkata pelan: “Sepertinya, aku nggak jadi deh kuliah lagi. Kalian saja yang melanjutkan kuliah, aku tidak.”
“Loh?” aku memandangnya bingung. Sungguh membingungkan hidup Sunyi, seperti tanpa tujuan, seperti daun yang diterbangkan angin tak jelas ingin jatuh di mana.