Bridecov-19

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #4

Chapter 4. Sindrom Bridezilla Sunyi

Selalu begini setiap kali membicarakan tentang pernikahan impian pasti obrolan akan berakhir dengan kekakuan. Aku benci suasana ini.

“Bila ia tak punya mimpi, harusnya ia tak perlu menyudutkan mimpi orang lain. Perkara akan terwujud atau tidak, bukan urusannya. Toh tak merugikan ia juga,” rutuk Uli, orang Medan yang parasnya seperti orang Jawa, menurutku.

Kulihat Uli menekuk wajahnya, tampak sekali kesebalan diparasnya yang manis, bibir sensualnya mengkerucut, kelopak matanya tenggelam oleh kekesalan.

“Mungkin dia lagi kena syndrome bridezilla, Mbak. Kan dia mau menikah,” ujar Pepeng mengemukakan hasil analisanya.

Aku sepakat dengan apa yang dikatakan Pepeng barusan, pernikahan yang tiba-tiba bisa saja membuatnya menjadi stress dan langsung terserang syndrome pengantin tersebut. Aku sering menemui klien yang seperti ini. Emosinya jadi tak stabil, naik dan turun secara dratis, drama cemburu yang berlebihan, ketakutan yang tak beralasan dan malah ada klien yang mencoba ingin bunuh diri.

“Kurasa ia belum siap untuk menikah, seperti terpaksa gitu ekspresinya,” kataku berdasarkan hasil pengamatan barusan.

“Aku tadi sudah bilang ke dia, jangan memaksakan hati kalau memang belum siap. Kan bisa minta waktu dulu, tapi alasannya kalau kita berdua sudah menikah, nanti dia nggak ada teman. Jadi lebih baik dia menikah juga, kok pernikahan jadi kayak balapan-balapan aja,” aku tertawa kecil mendengar cerita Uli.

Baik aku atau pun Uli sama sekali tak ada yang tahu perihal kedekatan Sunyi dengan Imran, pemuda yang ia kenal melalui social media Facebook. Mereka memang sudah lama berteman, tapi tak tahu kalau ternyata ada hubungan khusus.

Kupikir terlalu cepat Sunyi memutuskan untuk menikah. Tapi ya, soal jodoh memang misterius. Tak ada seorang pun yang benar-benar paham akan jalannya takdir dan jodoh. Ada yang menjalani hubungan bertahun-tahun, namun akhirnya kandas dan malah menikah dengan pria lain yang baru di kenal. Ada yang tak pernah saling kenal, lalu tiba-tiba menikah. Ada yang butuh waktu bertahun-tahun untuk mencari belahan jiwanya, melewati lika-liku kehidupan serta rumitnya soal ujian, akhirnya bertemu dan menikah, seperti aku dan Aru. Ada pula yang seperti Uli, pacaran bertahun-tahun dan akhirnya jadi menikah.

“Sudahlah, mungkin memang sudah jodohnya dia dengan Imran. Kita doakan saja semoga pria itu memang yang terbaik buatnya,” kataku tak ingin membahas terlalu jauh hubungan Sunyi dan Imran.

Aku berjalan menuju dispenser untuk mengambil air minum. Pepeng dan Uli masih melanjutkan obrolan tentang Sunyi yang mendadak akan menikah.

“Kudengar tadi katanya dia mau menetap di kampungnya ya, Mbak Uli?” tanya Pepeng.

“Iya. Dia mau menutup salonnya di sini dan pindah ke sana. Sayang ya, kan salonnya baru saja mau berkembang,” timpal Uli.

“Masa sih, Li?” tanyaku, kembali ke tempat duduk.

Uli mengangguk dan menyahuti dengan suara samar, “iya. Di jalan tadi dia bercerita seperti itu padaku. Makanya aku menyesalkan semua keputusannya yang terlalu terburu-buru itu.”

“Sudah menjadi pilihan hidupnya seperti itu, kita bisa apa, kita hanya sahabat yang memiliki hak ikut campur lebih dalam urusan pribadinya,” pungkasku, menghabiskan air di gelas.

Aku tak ingin lagi menggunjingkan sahabat sendiri, jujur saja aku juga penasaran dan ingin tahu apa yang membuat Sunyi sampai senekat itu. Bagaimana bisa dia mempersiapkan pernikahan hanya dalam waktu satu minggu? Aku yang sudah dari berapa bulan ini saja belum rampung-rampung persiapan pernikahannya.

“Mbak Uli. Gaunnya sudah jadi nih, mau dicoba sekarang?” Aku menarik napas lega karena Pepeng mengalihkan obrolan. Kurasa ia bisa membaca pikiran bosnya.

Pepeng berjalan menunjukan gaun pengantin berwarna putih dengan detil bordir yang diberi payet-payet dari batu swaroski yang terpajang di tubuh manekin, di sudut kantorku yang di dominasi dengan dinding yang diberi wallpaper dengan nuansa alam. Sengaja biar aku tak bosan dan mata lebih segar. Aku berada satu ruangan dengan Pepeng dan Resta—sekretarisku.

Wajah sedih dan kesal Uli seketika langsung berubah ceria begitu melihat gaunnya. Ia berdiri dan segera menghampiri Pepeng yang berdiri disebelah manekin, aku mengikutinya setelah meneguk sisa air minum.

“Wow, bagusnya.” Uli memeluk gaunnya dengan ekspresi mata berbinar-binar.

“Di coba dulu, Li. Kalau ada yang kurang nanti aku perbaiki. Peng, lepasin bajunya dari manekin itu, tolong ya,” Pepeng langsung saja melepaskan gaun tersebut dari manekin dan memberikannya kepada Uli.

“Ini Mbak.” Uli menerimanya dengan bahagia. Matanya langsung mencari ruang ganti.

“Ruang gantinya pindah ke sebelah,” kataku sambil menggandeng lengannya menuju ruang sebelah.

“Bu Maru,” cegat Resta di pintu masuk ruang ganti.

“Ada apa, Res?” tanyaku urung menemani Uli mencoba gaun pengantinnya.

“Ada Mbak Femi dibawah, mau nyobain gaun pengantin sekaligus mau mencari pakaian untuk fotoshoot prewedding,” katanya sambil menyerahkan beberapa berkas untuk kutanda tangani. Aku membacanya sekilas saja.

“Oh iya. Tolong kamu temani Mbak Uli mencoba gaun pengantinya ya, berkas ini tolong letakan di meja saya, mau dibaca dulu.” Aku memberikan kembali map kepada Resta.

“Iya, Bu.” Jawabnya.

Lihat selengkapnya