Central Park, New York City.
Menjelang sore.
“Oh! Wow!” Lizzy mengangkat pensilnya dari atas buku sketsa. Sehelai daun maple berwarna kemerahan jatuh menimpa kertas yang nyaris kosong itu. Fokusnya teralihkan dari kegiatan menggambar menjadi kesibukan lain yang kurang berarti, memandangi daun maple sambil tersenyum seorang diri. Musim gugur tahun ini seolah datang terlalu cepat. Langit di atasnya masih membiru cerah dan bernoda kilau matahari. Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang gadis kecil menggesek biolanya memainkan Ode to Joy Beethoven di hadapan seorang lelaki tua berambut perak. Lizzy sudah sering melihat mereka namun selalu iri melihat kehangatan yang terpancar di mata kakek dan cucu itu. Mereka sama sekali tak terusik oleh musim gugur yang menyelinap diam-diam di balik dedaunan maple.
Lizzy teringat akan kakeknya, Dylan Harold Winslow, salah satu pelukis impresionis yang cukup disegani di New York. Mereka sangat dekat karena kakek adalah satu-satunya grandparents Lizzy yang masih ada. Di antara bangunan pencakar langit dan hiruk pikuk Manhattan, taman ini adalah tempat favorit mereka. Terutama saat musim gugur, mereka sering duduk berdua di bawah pohon maple dekat danau sambil menikmati semilir angin sejuk yang beraroma bunga krisan. Sama seperti gadis kecil itu, dengan gitar akustiknya, Lizzy juga kerap memainkan lagu untuk kakeknya. Meski terkadang petikan gitar Lizzy terdengar out of tone, kakek selalu bertepuk tangan untuknya. Granpa Winslow is her number one supporter. Lagu terakhir yang dimainkan Lizzy adalah Pachelbel’s Canon yang bermelodi sangat indah dan fenomenal, musim gugur tahun lalu, di pesta kelulusan High School. Pada waktu yang sama saat kakeknya ditemukan meninggal dunia karena serangan jantung di halaman belakang rumah. Dan sejak itu Lizzy tak pernah lagi menyentuh gitar.
Sudah dua jam dia berada di sini namun tak ada satu pun obyek yang berhasil digambarnya. Lizzy membuka satu per satu lembaran kertas di buku sketsanya dan menghembuskan nafas dengan kesal. “Huh! Aku bahkan tidak bisa menggambar, bagaimana mungkin aku akan melukis?”
Diamatinya coretan-coretan kasar tak berbentuk itu dan dia jadi semakin sebal. Sesungguhnya, Lizzy tidak berminat menekuni bidang seni lukis, orang tuanya yang menyuruh Lizzy untuk kuliah di New York Academy of Art jurusan seni lukis. Dia menerima saja keputusan itu karena setelah kepergian kakeknya, Lizzy merasa limbung dan bingung, benar-benar tak tahu apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Seperti kakeknya, ayah Lizzy juga seorang pelukis, tetapi lukisan karya ayahnya beraliran abstraksi. Sementara Ibunya mengelola galeri lukisan milik keluarga yang terletak di 5th Avenue. Terlahir sebagai anak tunggal di keluarga pelukis merupakan kutukan bagi Lizzy. Semua orang mengharapkannya untuk menjadi pelukis hebat sebagaimana ayah dan kakeknya. Stigma itu sangat membebaninya. Lizzy sadar betul bahwa dia tidak mewarisi bakat ayah dan kakeknya. Dia khawatir tidak dapat mewujudkan ekpektasi warga kota New York dan pada akhirnya mengecewakan orang tuanya.