She’s kinda cute. Dylan bergidik geli seraya menatap gadis itu dari kejauhan. Dylan baru berhenti memandanginya setelah sosoknya menghilang di balik pepohonan rimbun dekat Bow Bridge. Dylan menyandarkan punggungnya dan memeriksa gawai. Beberapa pesan belum terbaca terpampang di layar. Namun pesan yang dinanti-nantikannya tak kunjung berbalas. Diliriknya smartband di pergelangan tangan kanannya yang menunjukkan pukul lima sore waktu New York. Ah, ya! Dia pasti sudah terlelap di belahan bumi lain. Dia akan segera menelponku jika sudah bangun. Dylan mencoba menenangkan dirinya. Dimasukkannya kembali gawai itu ke dalam saku celana sembari mengembuskan napas berat. Belum pernah dia merasa segelisah ini menunggu jawaban dari seseorang. Bukan pesan sembarangan melainkan sebuah amaran penting yang akan menentukan masa depannya.
Dylan lahir dan tumbuh besar di NYC. Setelah lulus sekolah menengah atas, dia memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah karena ingin berkarir sebagai pemain sepak bola. Walaupun orang tuanya tidak pernah mengintimidasi apalagi sampai memaksakan kehendak mereka pada Dylan, sebagaimana para ibu pada umumnya, Mom berharap Dylan bisa menjadi dokter, pengacara, atau bankir. Ya, profesi semacam itu memang kesukaan para wanita. Atau setidaknya Dylan bisa berkuliah di bidang seni, ibunya juga tidak keberatan. Asalkan Dylan tidak menjadi olahragawan yang berisiko minimal cedera ringan atau patah tulang sampai gegar otak.
Beruntung, ayahnya sangat open minded. Sejak kecil Papa mendukung penuh cita-cita Dylan. Seharusnyanya tak ada yang perlu dikeluhkan lagi. Posisinya sebagai gelandang serang di klub sepak bola NYCosmos cukup prospektif meski tak dapat dikatakan bagus. Hanya saja, sepak bola bukanlah olahraga populer di Amerika. Sangat sulit baginya saat ini untuk meniti karir profesional, mengingat klubnya baru saja terdegradasi ke Divisi 2. Sebagai pemain debutan dari klub junior, Dylan sering kali dibangku cadangkan. Apabila hal ini berlangsung semakin lama, dia sangsi masih bisa bertahan dari permintaan ibunya untuk berkuliah. Dylan harus segera membuktikan diri bahwa sepak bola layak diperjuangkan. Itu artinya, dia perlu lebih banyak kesempatan bermain untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya. Sesuatu di dalam dirinya mendambakan lebih, dia ingin menjajaki kompetisi ketat yang dapat mengasah kepiawaiannya mengolah si kulit bundar. Namun tampaknya Amerika tidak menjanjikan hal itu.
Taman tak kunjung sepi padahal cahaya ina perlahan telah menggelingsir ke arah barat daya. Gadis kecil dan sang kakek yang tadinya duduk tak jauh dari Dylan, kini beranjak dari tempatnya. Tak lama, sepasang kekasih menggantikan mereka, duduk merapat satu sama lain sambil sesekali saling melempar tawa. Manik mata Dylan yang sebiru langit cerah di musim gugur menatap sayu, hampir selayu dedaunan maple yang bergelantungan di ranting kering, pasrah menunggu angin menerbangkannya. Dylan menegakkan badan, menatap lurus ke depan, dan membulatkan tekadnya. Apapun yang mungkin terjadi nanti, dia akan terus bermain sepak bola.