Kegalauan yang membelenggu Dylan sejak pagi tadi membawanya beredar tak tentu arah mulai dari markas klubnya di Riverside lalu ke Central Park dan berakhir basah kuyup di wilayah Upper West Side. Saat musim gugur, hujan kerap kali mengguyur kota New York. Terkadang tidak diawali gerimis terlebih dahulu melainkan langsung turun dengan derasnya. And now, it’s raining cats and dogs. Pejalan kaki yang tidak mengenakan mantel berbahan anti air atau lupa membawa payung, tak punya pilihan selain berteduh di pelataran bangunan terdekat atau sekalian masuk ke dalamnya untuk menghangatkan diri.
Dylan bukannya tidak punya teman hang out. Dengan sifatnya yang kelewat ramah, dia bisa dengan mudah bergaul dengan siapapun. Tapi hari ini pengecualian. Dia hanya ingin bepergian seorang diri. Benaknya dibebani oleh berbagai macam hal dan dia tidak mau orang lain ikut memikirkannya. Pertama, semakin jamak orang yang mengetahui permasalahannya maka kian kompleks juga penyelesaiannya. Kedua, belum tentu mereka memiliki sudut pandang yang sama dengan Dylan. Itu akan menambah problem baru karena mereka akan sibuk beradu argumen. Cukup ibunya saja yang skeptis tentang impian Dylan, dia tidak membutuhkan tambahan komentar lain yang bersifat menentang atau merendahkan.
Dylan menyeberangi jalan dengan langkah setengah berlari. Dia tergoda untuk mampir di salah satu gerai kopi waralaba terbesar di dunia. Cahaya redup yang berpendar dari dalam gedung memungkinkanya untuk melihat bahwa kafe itu sedang ramai pengunjung. Dylan merapatkan kemeja flanel-nya, sedikit menyesal mengapa tadi pagi dia lebih memilih kemeja dibandingkan bomber jacket. Tak menyangka bahwa hari akan hujan, tidak pula merencanakan untuk luntang-lantung seharian tanpa tujuan yang jelas. Hasilnya, dia menggigil kedinginan sekarang, tak sejengkal pun bagian tubuhnya yang masih kering. Pun demikian, dia merasa tak perlu tergesa, Dylan bergerak perlahan melewati kafe, semerbak kopi yang sedang di-roasting menguar dari dalam. Sebenarnya, Dylan sudah lumayan puas hanya dengan menghidu aromanya tanpa perlu benar-benar menenggaknya. Meskipun tak ada larangan tertulis, profesi yang dia geluti menahannya untuk tidak sering-sering mengonsumsi kafein. Lagipula, tubuh Dylan punya reaksi yang sangat ganjil terhadap kopi. Jangankan secangkir espresso, bahkan seteguk cappuccino saja dapat membuatnya terjaga sepanjang malam. Hal itu pasti mengakibatkan masalah di keesokan harinya. Bangun kesiangan dan melewatkan sesi latihan. Don’t put yourself into another mess, you’re already have one. Dylan mengingatkan dirinya. Pesepak bola profesional pantang mangkir dari jadwal yang sudah ditetapkan oleh klub. Pelatih tidak akan segan-segan untuk mencoret pemain indisipliner dari daftar skuad.