Warga New York City sangat bergantung pada moda transportasi umum. Mereka lebih memilih naik kereta bawah tanah atau kereta komuter daripada membawa kendaraan pribadi. New York’s traffic is extremely bad. Dylan melintas dengan berjalan kaki di sekitar Franklin Street sebelum melanjutkan dengan subway menuju markas klub di Riverside. Kalau kemarin dia ke sana hanya karena tidak punya tujuan, hari ini dia memang ada jadwal latihan. Meskipun liga baru akan bergulir setelah musim dingin nanti, Dylan tetap harus giat berlatih. Pilihannya saat ini cuma bertahan di NYCosmos dan menampilkan performa terbaiknya. Dia tidak boleh terlena atau lengah karena itu bisa saja menurunkan staminanya. Contohnya pagi ini dia bangun dengan kepala pening dan badan nyeri padahal hanya kehujanan sebentar saja.
Dylan tak terburu-buru, latihan baru akan dimulai dua jam lagi. Dia hanya perlu waktu satu jam untuk sampai di markas klub, sudah termasuk berjalan kaki ke stasiun transit. Dia bermaksud untuk mampir dulu ke toko serba ada untuk membeli multivitamin. Sebelum kondisi tubuhnya yang kurang fit menjelma demam tinggi. Dylan harus segera mengenyahkannya dengan mengonsumsi suplemen untuk menjaga imunitas.
Gawainya berdenting, dia segera mengambilnya dari saku celana. Berita yang dinanti-nantikan akhirnya masuk ke kotak masuk emailnya. Dylan berhenti melangkah, mencoba memahami isi pesan berbahasa Indonesia itu. Serangkaian kalimat klise yang bermakna ganda, tidak jernih apakah ingin membunuh harapan ataukah memperpanjangnya. Intinya, si pengirim pesan meminta Dylan untuk bersabar menunggu kabar selanjutnya.
Dylan menatap nanar pada layar gawai. Antara merasa kecewa karena balasan itu tidak sesuai prediksinya namun di saat yang sama juga lega, setidaknya itu bukan penolakan. Artinya, meski peluangnya kecil, dia masih punya secercah harapan. Dylan segera mengetik pesan untuk membalasnya, kakinya mengayun dengan langkah pendek-pendek. Dia baru berhenti ketika terdengar seruan panjang dan melengking.
***
Dengan langkah tergesa, Lizzy menyusuri trotoar jalan yang agak basah akibat hujan semalam. Dia berencana untuk menyempurnakan tugasnya di kampus. Itu sebabnya dia pergi pagi-pagi sekali. Diterawangnya gedung NYAA dari kejauhan, pelataran bangunan tinggi bercat kelabu itu masih tampak lengang.
Lizzy yang merasa perutnya meronta minta diisi, memperlambat langkah sambil merogoh tasnya dan mengeluarkan kantong kertas berisi cupcake yang tadi sempat dibelinya di Billy’s Bakery. Namun karena kurang hati-hati, map berisi tugasnya ikut terambil lalu terjatuh. Saat dia berjongkok untuk memungutnya, map yang terbuka itu terinjak oleh seseorang. Hasil kerjanya jadi berantakan. She’s been burning the midnight oil, instead. Selain gambar kakek dan cucunya di bawah pohon maple, kini ada cap sneakers di kertas setengah basah itu.
“Nooooo!” seru Lizzy putus asa.
“I’m sorry. I didn’t see it.” Suara dengan nada menyesal itu terdengar familiar di telinga Lizzy. Orang itu ikut berjongkok di hadapan Lizzy.
“You ruined it!” geram Lizzy sambil melotot padanya. Lizzy seperti tersetrum dan tak dapat mengalihkan pandangannya saat menemukan sepasang mata dengan manik berwarna biru terang. Seolah ada aliran listrik yang mengaliri tubuh Lizzy dan membuat jantungnya tersentak, berdetak tidak beraturan. Angannya sontak membawanya kembali ke hari kemarin. Terbayang siluet yang sama menawannya baik saat ditimpa kemilau mentari maupun diterpa hujan lari. Lizzy tidak mungkin melupakannya.