Hati Dylan tengah mendua. Pikirannya pun bercabang ganda. Sekarang bukan hanya satu pesan yang menunggu jawaban melainkan dua sekaligus. Seseorang di Indonesia menghilang setelah mengumpan harapan. Sementara gadis bernama Elizabeth yang minta dipanggil Lizzy itu tak kunjung berkabar. Menurut Dylan, gadis itu seharusnya meneleponnya lebih dulu untuk mengabari situasinya setelah mengumpulkan tugas sketsa itu. Atau setidaknya mengucapkan terima kasih lewat pesan singkat jika dia mendapat nilai A atau minimal B. Tapi dia malah tak menghubungi sama sekali. Apa dia menanggapi serius lelucon soal kencan? Sungguh membosankan hidupnya jika tidak bisa membedakan gurauan dengan pernyataan. Kalaupun dia merasa itu serius, Dylan dapat memahaminya. Gadis mana yang bisa menolak pesona Dylan? None! Tapi gadis itu ketus, bisa jadi dia memang tak tertarik untuk bertemu lagi dengan Dylan. Padahal Dylan benar-benar iba padanya. Tampak jelas, dia berusaha keras melukis tapi tak memiliki kemampuan memadai. Melakukan sesuatu yang bukan keahlian kita tentu sangat menyesakkan dada. Dylan pernah mengalaminya. Itu sebabnya Dylan ingin membantu gadis itu. Lagipula, caranya tersenyum saat Dylan memanggilnya Elizabeth itu terlalu mengesankan untuk dilupakan.
Dylan baru saja menyeberang di persimpangan jalan antara Franklin St dengan W Broadway saat menemukan pemandangan punggung seseorang yang berjarak beberapa meter di depannya. Perempuan berambut pirang sebahu dan bergelombang itu menenteng totebag besar. Riped jeans yang dipadukan dengan trench coat krem itu terlihat tidak asing. Dari cara berjalannya yang selalu tampak tergesa, Dylan semakin yakin bahwa dia mengenal sosok itu. Dylan memperlambat langkah kakinya, menimbang-nimbang untuk mendatanginya atau tidak.
***
Sudah seminggu sejak pertemuan terakhirnya dengan si pelukis yang terjebak di tubuh olahragawan itu namun Lizzy belum juga menghubunginya. Kertas sketsa yang lusuh itu masih dia simpan, diamatinya nomor ponsel yang tertera di situ. Etika yang benar adalah dia harus meneleponnya untuk berterima kasih atau mentraktirnya minum kopi sebagai gantinya. Berkat pemuda itu, Lizzy tidak perlu mengulang kelas Figure Drawing I pada semester depan. Semua mata kuliahnya di fall semester – year one berhasil lulus. Itu sebuah bantuan yang sangat krusial bagi Lizzy. Sudah sepatutnya pemuda itu menerima lebih daripada sekedar cupcake. Secangkir kopi dan beberapa kalimat pujian layak untuknya. Namun Lizzy bersikeras dengan harga dirinya. Pemuda itu terlalu percaya diri, dia akan mengira bahwa itu ajakan kencan. Lizzy belum seputus asa itu untuk menghubunginya duluan dan membuatnya jadi bahan candaan garing si sok tampan itu. Lizzy menyelipkan kembali kertas itu ke dalam buku sketsa. Pemuda itu agak berbahaya bagi kesehatan jantung Lizzy. Sebaiknya dia menghindari interaksi dengan mata biru elektrik itu.
Lizzy belum terlalu jauh dari gedung NYAA ketika seseorang menyejajarkan diri di sebelahnya. Sebelum dia menoleh, suara di sampingnya lebih dahulu menyapa. “You owe me a call!”
Lizzy menjengit, kaget dan sedikit kesal. Dia baru saja memikirkannya dan tiba-tiba pemuda itu sudah ada di sampingnya. “Did I?” Lizzy menanggapi dengan datar. “You didn’t wait for it, don’t you?”
“Sebagai orang yang harinya terselamatkan, kamu sangat apatis.” Dylan mengatakan kalimat tuduhan itu dengan raut wajah santai.
“Aku sudah bilang terima kasih dan memberikan cupcake kesukaanku. Mungkin kamu lupa, kamu yang menginjak kertas sketsa itu. Artinya sudah sewajarnya kamu bertanggung jawab, bukan begitu?”
Dylan menggeleng pelan, menyadari betapa keras kepalanya gadis di hadapannya. “Woman is always right. So, let’s turn right. Ada kafe bagus di ujung jalan sana.” Dylan menelengkan kepala, mengajak Lizzy untuk mengikutinya.
Lizzy tidak bereaksi. Hatinya mengiyakan ajakan itu tapi di saat yang sama logikanya menyuruh sebaliknya.
Sebelum gadis itu membuka mulut untuk menolaknya, Dylan lebih dulu menegaskan. “Anggap saja sebagai permohonan maaf atas sketsamu yang rusak.”