Lizzy mendelik. “Dylan, you’re kinda weird. For real!” Suaranya meninggi. Dylan baru saja menyebutnya manis sambil tersenyum namun bagi Lizzy kalimat tadi lebih mengarah kepada penghinaan dibandingkan pujian.
Dylan makin tergelak. “I’m a half Indonesian,” ujarnya.
Dahi Lizzy mengerut karena merasa heran. Dia tidak menanyakan apapun pada Dylan tapi pemuda itu tiba-tiba mengatakan bahwa dia berasal dari suatu negara yang belum pernah Lizzy dengar sebelumnya. “Indonesian?” Lizzy bertanya dengan raut wajah kebingungan.
“Asian.” Dylan memperjelas.
“Oh!” Lizzy teringat akan rasa penasarannya tentang kekontrasan penampilan fisik Dylan saat mereka bertemu di Central Park. Mata biru dan kulit berwarna beige itu bukan perpaduan yang biasa dijumpai di Amerika. “I knew it. That’s why….” Lizzy hampir saja menyebut Dylan sangat rupawan meski dalam cara yang aneh.
“That’s why I’m dashing.”
“Bisakah kamu berhenti memuji dirimu sendiri? Kamu tidak setampan itu, tahu!” Lizzy mengingkari kata hatinya barusan.
Dylan mengangkat bahu. “Kalaupun kamu tidak mau mengakuinya itu tetap fakta yang tak terbantahkan.” Dia suka ekspresi Lizzy saat mendebatnya.
“Whatever,” komentar Lizzy ogah-ogahan.
“Aku tidak terlihat seperti New Yorker karena aku berdarah Indonesia. Kamu tahu, di negara ayahku, orang-orang saling membantu meskipun mereka tidak saling mengenal. Kamu akan menemukan banyak sekali orang yang tersenyum padamu setiap hari. Mereka bilang, senyum itu ibadah.”
Lizzy hanya mengangguk-angguk walaupun tak sepenuhnya mengerti penjelasan Dylan. Namun dia mulai bisa memahami mengapa Dylan bersikap sangat berbeda dengan semua pria yang pernah ditemuinya. Dylan kelewat ramah dan terlalu hangat untuk ukuran laki-laki Amerika. Sebuah sikap yang sangat jarang ditemui di kota segemerlap NYC. Di sini, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing sampai-sampai tak sempat menyapa tetangga sebelah flat yang setiap hari mereka lewati.