Dylan sudah hampir kehilangan harapan karena pesan terakhir yang dikirimkannya ke Indonesia tidak kunjung berbalas. Sampai pagi ini seseorang yang dikiranya pemberi harapan palsu akhirnya berkabar lagi. Setelah menarik dan mengulur harapan Dylan selama enam bulan, seseorang dari pihak PSSI mengirimkan surel yang berisi sebuah surat undangan resmi untuk mengikuti seleksi pemain tim nasional di bawah usia 19 tahun. Harapan Dylan yang sempat memudar kini kembali mekar.
Pemusatan latihan akan dilakukan di Jakarta, ibu kota Indonesia mulai awal bulan November. Jika Dylan ingin menjajalnya, itu artinya dua minggu lagi dia sudah harus tiba di negara tersebut. Dylan senang bukan kepalang mendapat kabar itu. Ini adalah peluang emas yang mungkin mengantarkannya lebih dekat kepada mimpinya. Masalah baru yang harus dihadapi sekarang adalah bagaimana meyakinkan ibunya agar mengijinkannya berangkat ke Indonesia.
Sebagai wanita Amerika, ibunya termasuk konservatif. Bahkan jauh lebih parah dibandingkan ayahnya yang orang Indonesia. Jangankan Dylan yang baru menginjak usia delapan belas tahun bahkan kakaknya yang usianya tujuh tahun lebih tua masih diatur olehnya. Jika umumnya anak Amerika yang berumur delapan belas tahun sudah mandiri, kakaknya baru keluar rumah beberapa bulan yang lalu setelah mendapat gelar dokter spesialis dan bekerja di New Jersey. Ibunya sangat posesif. Mungkin karena latar belakangnya yang yatim piatu, dia selalu khawatir berlebihan tentang apapun yang berkaitan dengan keluarga.
Dylan meneruskan email itu kepada ayahnya setelah kereta tiba di stasiun Riverside dengan tambahan informasi bahwa dia akan menjelaskan lebih detil sepulang latihan. Dia juga mengirimkan pesan singkat pada Lizzy agar tidak menunggunya siang ini. Dylan tidak bisa tenang sebelum membicarakan berbagai kemungkinan soal undangan dari Indonesia ini dengan orang tuanya. Dia akan menceritakannya pada Lizzy setelah semuanya mencapai kata sepakat.
***
“You said that this is his dream? Okay, fine. I’ll let him play soccer. But not in that third world country. I can’t see it in any kind of future.” Ibu Dylan kelihatan sangat emosional.
“Excuse me! That’s where I come from. You cannot mentioned it like it’s a hopeless place. You have no idea how big my country is.” Ayah Dylan yang merasa terpojok mulai defensif.
“Itu masalah terbesarnya, Daru. Jika dia berhasil lolos seleksi itu, dia akan selamanya menjadi orang Indonesia. Itu sama sekali tidak terdengar baik bagiku.” Amarah Laura semakin menjadi-jadi.
Dylan yang baru pulang mematung di ambang pintu, dia dapat menangkap sumber perdebatan berasal di ruang keluarga. Saking panasnya topik pembahasan itu, mereka sampai tak mendengar Dylan datang. Dylan mematung di situ menyaksikan kedua orang tuanya saling berbantahan mengenai dirinya.
“Menjadi pemain sepak bola di Indonesia. Itu mimpi Dylan atau obsesimu?” tuduh ibu Dylan.
Ayah Dylan terdiam. Ya, istrinya ada benarnya. Jangan-jangan dia sedang menuntut anaknya untuk mencapai cita-citanya yang dulu pernah patah. Dia sempat menjadi pemain tim nasional Indonesia U-19 sebelum akhirnya gantung sepatu dini karena harus melanjutkan studi di Amerika. Orang tuanya yang pengusaha menginginkan anaknya meraih gelar sarjana bisnis dari universitas ternama untuk melanjutkan bisnis mereka. Daru tidak mau mengulangi pengalaman itu pada Dylan. Dia tidak ingin menghalangi Dylan meraih mimpinya dan melakukan hal yang disukainya. Orang tua seharusnya mendukung penuh cita-cita anaknya bukan malah mematahkannya.