Setelah aksi kejar-kejaran yang menegangkan, Lizzy dan Dora akhirnya selamat setelah menyelinap di antara gang sempit di daerah Tambora. Setelah membayar jasa si tukang ojek, mereka bergegas kembali ke wilayah Senayan, menuju The Sultan Hotel menggunakan taksi online. Tak lupa, Lizzy menambahkan tips dalam jumlah besar dan berpesan agar lelaki tua itu membeli dua helm baru. Satu untuk mengganti helmnya yang sudah tidak layak pakai itu dan satu lagi untuk penumpangnya.
Waktu yang tersisa kurang dari 48 jam untuk bertemu Dylan, karena besok lusa Lizzy harus kembali ke New York untuk persiapan ujian masuk The Juilliard School di awal pekan. Ini hal ternekat yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Melintasi separuh bumi hanya untuk menghabiskan tiga hari dan dua malam di belahan bumi lain yang tidak pernah dia singgahi. Semua dia putuskan dalam waktu sangat singkat. Mendadak terbit keberanian dalam dirinya untuk menyusul Dylan beberapa hari sebelum ujian masuk Juilliard digelar. Lizzy langsung membeli tiket pesawat saat itu juga sebelum dia berubah pikiran dan keberaniannya sirna. Ketika jiwa penakutnya kembali mengambil alih, semua sudah terlambat, Lizzy sudah duduk di kursi penumpang American Airlines.
Hotel dimana Dylan menginap tak kalah megah dengan The Plaza Hotel di New York. Berlokasi di sebelah timur Stadion Utama Gelora Bung Karno, The Sultan Hotel & Residence merupakan salah satu hotel bintang lima dengan pelayan terbaik di Indonesia. Terdapat empat gedung berlantai tujuh belas yang saling terhubung di sisi utara dan dua gedung menara residensi di bagian selatan hotel. Fasilitas olahraga dan hiburan yang lengkap memanjakan para tamu untuk berlama-lama menghabiskan waktu di sana. Lizzy masuk ke lobi hotel berdesain modern dengan sentuhan etnik khas Indonesia yang didominasi warna kayu dan krem. Lampu kristal besar tergantung di tengah ruangan, berkerlap-kerlip di pantulan lantai marmer mahal yang membentang sepanjang lobi. Dia menghampiri meja resepsionis dan menanyakan kamar Dylan.
“Oh! Dylan Bachir? We are really sorry, Miss. The players couldn’t be visited without permission from Head Coach.” Wanita dengan seragam bermotif batik itu bicara dengan sangat sopan.
“I really need to meet Dylan. Do I suppose to meet his Coach first? I will,” pinta Lizzy dengan mimik memohon.
“Tolongin dong, Kak. Temen gue ini dateng jauh-jauh dari Amrik. Dia pacarnya Dylan.” Dora ikut angkat bicara.
“Beneran dia pacar Dylan yang ganteng itu?” Wanita semampai dengan make up on itu memandangi Lizzy dengan tatapan penasaran.
“Ih si Kakak malah kepo.” Dora terkikik.
“Key-pow?” Lizzy ikut geli mendengarnya. Kata unik itu selalu sukses membuatnya tertawa.
“Kenapa dia ikutan ketawa? Memangnya dia ngerti bahasa Indonesia?” tanya si resepsionis.
“Eh, Bucin! Loe kenapa ikut ngikik? Ngerti kepo loe?”
“Kepo means mind other people’s business, right?”
“Set dah. Si bule cinta ngerti kepo.” Dora tertawa sendiri. “Hayo loe, kak. Jangan-jangan dia juga ngerti tadi kakak genitin pacarnya.” Dora menakut-nakuti wanita di depannya.
“Genit apaan? Nggak ada!” Resepsionis itu membela diri.
“Lah tadi kakak bilang gini, loh.” Dora merapikan poninya sejenak. “Dylan yang ganteng itu?” Dora menirukan ekspresi resepsionis itu dengan gaya dilebih-lebihkan.